x

Mark Zuckerberg kelahiran 14/5/1984 ini adalah seorang programmer komputer dan ia juga yang menciptakan situs jejaring sosial \x22Facebook\x22 yang didirikan pada tahun 2004. Dalam usia yang masih muda ia dapat menghasilkan uang yang begitu banyak dari situs Facebook yang ia ciptakan. skotgat.com

Iklan

Suryagama Harinthabima

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Juli 2022

Selasa, 11 April 2023 11:43 WIB

Memaksa Google dan Facebook Membayar atas Data Pengguna yang Mereka Pakai

Media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan TikTok telah menciptakan polarisasi di dalam masyarakat. Misinformasi, disinformasi dan ujaran kebencian menyebar leluasa. Aplikasi-aplikasi mendistorsi persepsi kita akan realita. Juga melahirkan generasi “lihat aku”. Lalu muncul gagasan dan inisiatif untuk meregulasi dan memaksa perusahaan teknologi informasi membayar atas data pengguna yang mereka pakai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berkat laporan investigasi The Facebook Files oleh The Wall Street Journal pada 2021 lalu, pemerintah berbagai negara mulai sadar bahwa pengaruh perusahaan teknologi informasi dalam kehidupan warga sudah terlalu besar. Publik pun paham selama ini para petinggi Facebook menyadari konsekuensi penggunaan aplikasi mereka yang merusak di masyarakat, tapi tidak berbuat cukup untuk mengatasinya.

Media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan TikTok tidak hanya telah menciptakan polarisasi di berbagai masyarakat. Misinformasi, disinformasi dan ujaran kebencian menyebar dengan leluasa bahkan hingga menentukan nasib etnis atau bangsa tertentu. Contohnya seperti upaya genosida etnis Rohingya di Myanmar. Aplikasi-aplikasi ini tidak hanya mendistorsi persepsi kita akan realita, tapi juga telah melahirkan generasi “lihat aku” yang merasa sudah sepatutnya berbagai aktivitas mereka direkam dan diunggah ke dunia maya.

Di lain pihak, beragam iklan yang sudah dipersonalisasi di berbagai situs web yang kita buka semakin menimbulkan kecurigaan bahwa segala gerak-gerik kita setiap saat berada di bawah pengawasan Google atau Apple. Semua yang kita lakukan setiap hari semakin berpusat ke gawai, aplikasi, dan internet. Teknologi yang semula memberikan nilai guna, sekarang terasa semakin “mendikte” segala perilaku kita. Optimisme terhadap internet dan teknologi informasi pada tahun 90-an kini berbalik menjadi kegelisahan yang tidak pernah berhenti.

Sejumlah inisiatif untuk meregulasi perusahaan teknologi informasi dengan lebih ketat mulai bermunculan. Pemerintah Uni Eropa pada akhir 2022 lalu mengesahkan Digital Services Act yang bertujuan melindungi warga negaranya dari konten-konten ilegal, misinformasi dan disinformasi, serta iklan yang dipersonalisasi untuk anak-anak. Undang-undang ini juga melarang personalisasi iklan berdasarkan agama, preferensi seksual, informasi kesehatan, serta preferensi politik pengguna.

Fokus dari Digital Services Act tadi bukan untuk menindak para pelaku penyebar misinformasi, misalnya, tapi menitikberatkan pada transparansi praktik bisnis serta akuntabilitas perusahaan seperti Google dan Facebook atas konsekuensi sosial penggunaan layanan mereka yang merusak. Terhadap perusahaan yang melanggar, undang-undang ini bisa memberikan penalti sebesar maksimal 6% dari total pendapatan. Sudah waktunya para petinggi perusahaan ini berhenti berlagak tidak tahu apa-apa di saat sebagian konten yang mereka muat menimbulkan kekacauan di masyarakat di berbagai belahan dunia.

Di sisi lain, dengan memanfaatkan bahan baku berupa data dari pengguna, perusahaan teknologi informasi sudah menikmati laba yang tidak sedikit. Pencapaian laba ini juga telah memungkinkan mereka untuk berekspansi ke ranah dan sektor lain seperti misalnya Google Pay di sektor finansial dan Facebook dengan “metaverse” (meskipun sekarang dikabarkan meredup), serta tentunya kecerdasan buatan (AI) yang akhirnya juga akan menambah insentitas pemanfaatan data pengguna. Atas ini, sejumlah pihak berpendapat sudah waktunya para pengguna mendapatkan kompensasi atas pemanfaatan data mereka.

Salah satu gagasan untuk pendistribusian kompensasi itu adalah Data Dividend yang dikemukakan di Amerika Serikat oleh Gubernur California Gavin Newsom pada tahun 2019. Meskipun hingga saat ini belum direalisasi, gagasan ini minimal sudah menyadarkan publik di sana bahwa data, meskipun tidak berwujud fisik, adalah bahan baku utama bagi perusahaan teknologi informasi untuk diolah. Selayaknya aset tak berwujud lain seperti perangkat lunak atau hak kekayaan intelektual yang mereka harus bayar untuk peroleh, cukup beralasan untuk menimbang bahwa untuk mendapatkan data, mereka juga perlu memberikan kompensasi pada para pemasoknya yakni pengguna.

Ibarat sebuah perusahaan tambang atau perusahaan sektor ekstraktif lainnya, ia harus memberikan kontribusi balik kepada komunitas-komunitas di daerah-daerah di mana ia mendapatkan bahan tambangnya sebagai penerapan praktik bisnis yang etis. Belum lagi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan yang pada akhirnya mengurangi kualitas hidup komunitas-komunitas tadi. Dengan demikian, semakin sering perusahaan itu melakukan penambangan, semakin sepatutnya juga ia memberikan kontribusi balik yang lebih besar.

Ada argumen bahwa pengguna menyerahkan data mereka kepada Google dan Facebook secara cuma-cuma itu wajar. Itu adalah harga yang harus dibayar untuk mengakses layanan keduanya. Untuk menanggapinya, kita perlu ingat bahwa kedua perusahaan itu sudah ‘menjual’ data kita kepada para pengiklan pihak ketiga, dan sekali lagi, mereka sudah mendulang laba besar sekali.

Sebagai ilustrasi, menilik laporan keuangan 2022 mereka, pendapatan dari iklan telah berkontribusi sebanyak 224,5 milyar dolar atau sebesar 79% dari total pendapatan untuk Google, dan 113,6 milyar dolar atau 97% untuk Facebook. Angka-angka ini memang masih kalah daripada, misalnya, jumlah pendapatan Chevron yaitu sebanyak 246,2 milyar dolar. Akan tetapi, laba bersih Google justru lebih besar yakni 59,9 milyar dolar (Facebook: 23,2 milyar dolar, turun dari 39,4 milyar dolar pada 2021) dibandingkan dengan Chevron yakni 35,5 milyar dolar. Artinya, dengan bermodal data pengguna data, kinerja finansial dua perusahaan ini mampu menyaingi bahkan melampaui perusahaan minyak.

Selain itu, kebutuhan perusahaan teknologi informasi akan aset fisik semakin sedikit, termasuk kebutuhan tenaga kerja. Jurnalis Rana Foroohar pada 2019 dalam bukunya, Don't Be Evil: How Big Tech Betrayed Its Founding Principles — and All of Us, mengemukakan bahwa 20 perusahaan paling bernilai di Amerika Serikat pada 2009 mempekerjakan 1.790 orang pegawai per 1 milyar dolar kapitalisasi pasar. Pada 2019, jumlah itu berkurang drastis menjadi 656 orang. Artinya, kemampuan perusahaan seperti Google dan Facebook dalam mengumpulkan kekayaan tidak mencerminkan kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, produk yang mereka hasilkan justru bisa berdampak pada pengurangan pekerja di industri-industri lain. Padahal, mereka yang diberhentikan akan tetap ditambang datanya. Lebih parah lagi, mereka rentan dimangsa penyedia pinjol ilegal yang iklannya memang ditargetkan untuk mereka.

Sampai sini, terlihat bahwa hubungan antara perusahaan seperti Google dan Facebook dengan para penggunanya sudah semakin timpang. Kekayaan yang dikumpulkan para petinggi dan investor dua perusahaan itu sudah terlalu besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh pengguna. Rasa keadilan kita semakin terusik. Beragam konsekuensi sosial dari model bisnis yang mereka adopsi pun perlu dikaji ulang. Wajar jika gagasan dividen atas data ini mencuat, yang mana patut kita apresiasi positif.

Kriteria perusahaan yang terdampak, mekanisme perhitungan data setiap pengguna, dan berapa harga yang layak dikenakan masih menjadi pertanyaan dalam merumuskan dividen atas data ini. Informasi terkait proses apa saja yang terlibat dalam mendapatkan data pengguna serta seberapa besar volumenya mutlak diperlukan. Poin pentingnya ada di situ. Seperti Digital Services Act, mengimplementasikan gagasan ini akan memaksa perusahaan-perusahaan itu untuk lebih transparan atas praktik bisnis yang mereka lakukan.

Satu implikasi lain jika gagasan ini benar-benar direalisasikan adalah di masa mendatang, bukan tidak mungkin perusahaan semacam Google dan Facebook akan mengungkap dividen atau biaya akuisisi data pengguna (atau semacamnya) di dalam laporan keuangan mereka. Ini akan lebih baik lagi karena para pemangku kepentingan bisa mendapatkan informasi yang lebih menyeluruh tentang usaha mereka. Calon investor bisa memutuskan dengan lebih matang untuk menanamkan modalnya, sedangkan masyarakat secara umum bisa turut memonitor kegiatan bisnis mereka dengan lebih cermat.

Ikuti tulisan menarik Suryagama Harinthabima lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler