x

Bahasa politik

Iklan

Mochammad Ariq Ajaba

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Agustus 2022

Rabu, 12 April 2023 19:27 WIB

Tiga Hal Penyebab Politik Identitas Masih Dimainkan Pada Pemilu 2024

Tidak adanya payung hukum yang bisa menjerat praktik politik identitas. Di sisi lain, heterogenitas masyarakat kita malah dimanfaatkan sebagai lahan subur penyemaian politik identitas. Pemilu 2024 tampaknya masih belum akan steril dari kegiatan politik tak elok itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat ini kita sudah memasuki tahun politik, karena pada 14 Februari 2024 Indonesia menggelar hajat demokrasi lima tahunan. Seluruh elemen masyarakat dituntut memberikan hak suaranya memilih aktor-aktor politik yang maju ke gelanggang pemilihan.

Setidaknya ada lima formasi yang harus dipilih pada Pemilu 2024. Kelimanya adalah: pemilihan Presiden dan  Wakil Presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Masyarakat pemilih harus betul-betul mencermati dan menimbang-nimbang calon-calon yang akan dipilih. Mereka harus menghasilkan keputusan matang kala masuk ke dalam bilik suara dan melakukan pencoblosan.

Pagelaran Pemilu 2024 bukan hanya menyoal tentang calon-calon yang akan berkontestasi, bukan hanya tentang partai-partai yang tengah berkoalisi, melainkan juga tentang potensi pelanggaran Pemilu yang dapat mencederai demokrasi. Beragam potensi pelanggaran dapat terjadi seiring tahapan-tahapan pesta demokrasi itu. Hal ini perlu dipahami dan diwaspadai agar masyarakat dapat menghindari atau meminimalisir potensi pelanggaran Pemilu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Politik Identitas adalah satu diantara berbagai tindakan potensi pelanggaran Pemilu. Hal itu terjadi ketika persamaan etnis, suku, ras, agama, dan antar golongan dijadikan alat politik memobilisasi atau mengintervensi rival politik. Bisa juga sekedar untuk menunjukkan jati diri kelompok tetentu. Politik Identitas tidak ada benefitnya sama sekali karena dapat menimbulkan perpecahan masyarakat.

Penyelenggara Pemilu, utamanya Bawaslu RI, sudah menghimbau agar politik identitas tidak dipraktikan. Mereka juga berusaha meminimalisir aksi politik identitas. Tapi tetap saja politik identitas diprediksi akan terjadi. Ada 3 alasan logis politik identitas akan tetap terjadi dan tak bisa terhindarkan. 

  1. Tidak Ada Payung Hukum Politik Identitas

Selama ini aparat penegak hukum atau pemangku kebijakan tidak membuat suatu kebijakan tentang tindak pidana politik identitas. Mungkin karena sifatnya yang lemah untuk menjadi suatu pidana. Padahal, politik identitas bisa berpotensi memicu perpecahan pada masyarakat bahkan negara.

Pedoman UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sama-sama tidak ada pembahasan secara tegas mengenai pelanggaran politik identitas. Paling-paling hanya pada Pasal 93 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang membahas tentang tugas Bawaslu untuk meminimalisir potensi pelanggaran Pemilu. Atau paling-paling terjadinya tindakan politik identitas hanya masuk pada pembahasan di media massa saja. Semuanya tidak sampai pada titik dimana para pelaku politik identitas dapat diberikan sanksi pidana, paling besar hanya himbauan yang turun dari penyelenggara Pemilu.

Itu semua ya karena itu tadi, tidak ada hukum yang memayungi sehingga pelanggaran politik identitas dapat terus terjadi dan tak bisa terhindarkan.

  1. Indonesia Negara Heterogen

Meskipun Indonesia dinilai sebagai negara yang kaya akan suku, ras, agama, budaya, dan antar golongan, bukan berarti hal tersebut dapat diklaim sebagai wujud keberagaman yang akan mengarah pada kemaslahatan saja. Ada sisi kemudharatannya juga, yakni ketika sifat heterogen dari Indonesia ini dimanfaatkan sebagai pemantik alat politik kelompok tertentu untuk melakukan perlawanan terhadap rival. Ya, jatuhnya termasuk politik identitas. Oleh karena itu, sifat heterogen ini melandasi datangnya politik identitas sehingga tak bisa dielakkan.

  1. Media Sosial Kian Mudah dan Cepat

Siapa sangka politik identitas bermula pada aksi ujaran-ujaran yang termuat pada berbagai media sosial. Dewasa ini, tentu seluruh masyarakat dapat menggunakan dan mengakses media sosial. Disitulah potensi pelanggaran politik identitas dapat terjadi, tidak hanya di dunia nyata, bahkan di dunia maya pun justru lebih cepat, mudah, dan tak bisa dibendung karena sifatnya yang dapat memobilisasi dan mempengaruhi masyarakat luas.

Ditambah dengan alasan poin satu itu tadi, tidak adanya produk hukum mengenai pelanggaran politik identitas, membuat pelanggaran tersebut semakin menjadi-jadi dan akan terus terjadi.

Dari pernyataan diatas, tentu sudah semestinya para pemangku kebijakan menimbang dan memikirkan hal ini, tidak ada kepentingan apa-apa selain untuk menegakkan keadilan demokrasi di Indonesia ini.

Ikuti tulisan menarik Mochammad Ariq Ajaba lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler