x

Salah satu poster dalam film Accepted (2006)

Iklan

Kurnia Ibrahim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2023

Rabu, 12 April 2023 19:36 WIB

Dissidente Progressista

Artikel ini merupakan tulisan artikel opini mengenai sebuah karya film berjudul "Accepted" rilisan tahun 2006 yang menceritakan seorang remaja yang mendirikan kampusnya sendiri atas dasar penolakan yang ia terima dari banyak kampus yang ia daftar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak dari kita selalu merasa dan mungkin menjadi sebuah ungkapan umum bahwa Hidup adalah sandiwara. Ya, setuju atau tidak nyatanya manusia seakan selalu menjadi lakon dalam segala kondisi yang dihadapinya. Kita adalah pemeran utama bagi “layar lebar” diri kita sendiri. Lalu, manuskrip telah dituliskan berlembar – berlembar oleh tuhan sebagai zat yang maha pencipta.

Sehubungan dengan kehidupan yang penuh dengan drama dan sinema sudut pandang kita, penulis menyatakan kecintaan dengan drama visualisasi yang dibuat oleh manusia. Film. Gairah yang tak tersampaikan dan sulit di validasi bagi segilintir kelompok masyarakat bahwa dengan mahakarya visual dapat mengubah manusia. Bahkan dunia. Pernahkah kita merasa bahwa sering kali kita merasakan motivasi positif di dalam diri kita sesaat setelah menyimak film yang kita lihat atau mungkin di awal momen kita sedikit memandang rendah akan film yang akan kita simak namun ternyata tidak dinyana itu adalah film yang membuat jatuh cinta akan film itu sendiri?

Terdengar munafik? Ya itu mungkin bisa jadi refleksi bahwa sifat alamiah manusia adalah kemunafikan dalam sebuah positivism kehidupan. Silahkan renungkan dan penulis akan kembali pada jalur yang ingin dibahas teruntuk para kawan pembaca.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti yang sudah dijelaskan, penulis ada pada kenikmatan batin kala menyimak suatu film yang dirinya tonton. Semua berawal dari masa lalu ketika penulis atau mungkin kalian, pernah melihat film – film box office di beberapa stasiun TV dan setelahnya kita ceritakan pada teman atau bahkan sanak saudara untuk menggambarkan betapa indahnya film itu untuk disimak. Hal itu menjadi pijakan penulis selama ini untuk tak pernah berhenti dan mati menikmati setiap mahakarya dari para movie maker di seluruh dunia. Mulai dari produser, hingga crew bersih – bersih set syuting rasanya ingin sekali mengucapkan selamat dan terima kasih atas mahakarya yang begitu indah, meaningfull, dan totalitas sehingga meciptakan ruang kreativitas dan pemberkatan dalam relung perasaan manusia dan hari ini penulis akan membahas sebuah film yang membuat penulis terkesima dan ingin menceritakannya pada kawan pembaca betapa “indahnya” film ini, seperti kita di masa lalu.

Kita mulai dari sebuah imajinasi, bagaimana keadaan kita bila kala itu kita berusaha sekuat tenaga belajar dan merencanakan banyak langkah untuk mendaftar ke kampus impian kita dengan harapan diterima namun ternyata kita tertolak? Tidak berhenti disitu saja, kita kembali berjuang untuk mendaftarkan diri kita di banyak kampus dengan pernyataan “penting diterima” dan kemudian lagi-lagi kita harus menerima kenyataan pahit bahwa kita tidak diterima di kampus manapun? Bagaimana keadaan kita?

Secara psikologis dapat penulis pastikan bahwa dalam skala 8/10 kita berada pada kondisi putus asa dan buruknya kita tidak mendapatkan harapan apapun. Banyak tekanan social dari lingkungan masyarakat bahkan mungkin juga keluarga kita membuat kita semakin buruk dan kehilangan eksistensi diri kita sendiri sebagai salah satu dari ciptaan-Nya. Lalu, seketika terbesit dalam benak kita mengapa kita tidak mendirikan kampus sendiri ketika semua kampus menolak kita? Hal itulah yang dvisualisasikan dalam film yang penulis simak dengan judul Accepted.

Accepted merupakan film produksi Shady Acres Entertainment, garapan sutradara Steve Pink dengan aktor Justin Long (pemeran utama/B. Gaines), Jonah Hill (Sherman,S.) Maria Thayer (Rory Thayer) dan artis kawakan amerika Lewis Black (Ben Lewis). Film ini dirilis pada tahun 2006 dengan genre komedi.

Film ini mengisahkan seperti apa yang penulis utarakan di atas, dimana kondisi Gaines (Justin Long) serta teman – teman SMAnya ditolak di banyak kampus manapun, dan akhirnya Gaines memutuskan untuk mendirikan kampusnya sendiri sebagai lambang pembangkangan atas penolakan yang ia terima. Bermodalkan ide kreatif serta cerdik dari Gaines, ia memutuskan untuk mendirikan kampusnya sendiri hanya sekadar ingin mendapatkan surat tanda diterima sebagai mahasiswa agar orang tua Gaines merasa bangga padanya. Nama institusi kampus yang ia dirikan pun cukup mengesankan namun menjadi lawak ketika hal itu diakronimkan. South Harmon Institute of Technology alias S.H.I.T (kata umpatan dalam Bahasa inggris)

Gaines bersama temannya, Sherman (Jonah Hill) dan satu temannya berkumpul di kamar milik Sherman untuk merencanakan sesuatu hal yang gila dalam kehidupan normal di masyarakat. Berawal dari surat tanda terima, lalu beranjak pada website dan puncaknya mereka memiliki gedung kampus dan mahasiswa pendaftar yang benar – benar sungguhan. Kesan pertama penulis, imajinasi dalam film ini benar – benar gila untuk dipahami di kehidupan social kita. Mendirikan kampus dengan motif pembalasan dendam akan penolakan yang Gaines terima dari banyak kampus? Sangat tidak filosofis dan menggelikan.

Namun, selama penulis menyimak film tersebut dari detik demi detik, hingga menit demi menit, semuanya menjadi sebuah imajinasi yang ternyata punya unsur kebermaknaan begitu fundamental, terutama akan sistem pendidikan masyarakat. Secara implisit, Gaines dan Mr. Lewis (Lewis Black) banyak mengungkapkan pemikiran – pemikiran bebas akan makna pendidikan dan hal ini berusaha untuk di-institusikan dalam setiap pemikiran pelajar masa kini.

Film ini begitu mengesankan dengan komedi ringan, umpatan khas Americanism, kritik sosial dan kehidupan menyenangkan sebagai ornamen dasarnya. South Harmon Institute of Technology adalah sebenar – benarnya studio kehidupan dalam film ini. Didalamnya, mengejawantahkan akan sebuah keteraturan dalam ketidakberaturan (Teori Chaos).

Kampus terebut tidak punya kurikulum yang pasti dan teruji, tidak punya kultur ilmiah yang seakan “dogmatis” bahkan mahasiswa mereka pun semuanya adalah pelajar nakal dan criminal. Tetapi, semua berjalan teratur dan spesifik melakukan eksplorasi diri pada tiap individu. Gaines yang menjadi mahasiswa sekaligus menjadi The Founding Father hanya menanyakan kepada tiap-tiap pelajar di kampus itu tentang pembelajaran apa yang ingin mereka pelajari? Terdengar sebagai definisi sesungguhnya tentang pendidikan merdeka yang sebenarnya bukan?

Para pelajar menyatakan keinginannya mempelajari sesuatu dengan sungguh dan mereka tulis dalam papan yang diberi nama “What do you want?” serta mereka mengklasifikasikannya sendiri seakan seperti sebuah fakultas dan program studi layaknya kampus terbaik dunia. Mereka benar – benar gila dengan segala kultur alami manusia didalamnya. Tak henti – hentinya penulis dibuat terkesima dan kagum akan makna dan fenomena solidaritas manusia sebagai makhluk social dalam film ini.

Tak banyak yang bisa penulis ceritakan akan film ini. Agar tulisan ini tidak menjadi sebuah kapal spoiler yang terkesan mengeksploitasi karya film Accepted itu sendiri. Hanya satu permintaan penulis bagi kawan pembaca selepas membaca tulisan ini adalah SIMAK FILM INI DAN KALIAN AKAN MENDAPATKAN SUDUT PANDANG YANG KREATIF! Benar – benar harus kalian simak dan nikmati disetiap detiknya. Kalimat terakhir yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah kutipan dari film ini yang begitu membekas dan penuh muatan perenungan sebagai mahasiswa dan agen masyarakat.

“Nah, I'm not going to answer your question, 'cause you guys have already made up your minds. I'm an expert in rejection, and I can see it on your faces, and it's too bad that you judge us by the way we look and not by who we are, just because you want us to be more like them when the truth is we're not like them, and I am damn proud of that fact! I mean, Harmon College and their - their 100 years of tradition. But tradition of what? Of hazing kids and humiliating anyone who's a bit different? Of putting so much pressure on kids they turn into these - these stress freaks and caffeine addicts.” B. Gaines Accepted (2006)

Ikuti tulisan menarik Kurnia Ibrahim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler