x

Iklan

trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2022

Sabtu, 15 April 2023 21:09 WIB

Itikaf, Sebuah Perjalanan ke Dalam

Setelah ia melakukan berbagai aktivitas selama setahun, kini saatnya ia diam sejenak, berhenti. Setelah ia melakukan perjalanan keluar, yaitu bekerja, mengumpulkan harta benda, bepergian ke tempat-tempat yang jauh, berinteraksi dengan lingkungan, dan sebagainya; kini saatnya bagi dia untuk melakukan “perjalanan ke dalam”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Manusia bisa terbang seperti burung, manusia juga bisa berenang seperti ikan; akan tetapi belum tentu manusia bisa menjadi dirinya sendiri”

Kita telah sampai di sepertiga terakhir di bulan Ramadhan. Salah satu keistimewaannya adalah ada satu malam yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan, yang disebut Lailatul Qadr. Menurut petunjuk, Lailatur Qadr terjadi terutama di malam-malam ganjil.

Kegiatan utama kaum Muslimin adalah Itikaf. Itikaf sendiri berasal dari kata akafa, yang berarti menetap, berdiam diri, atau terhalangi. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam buku Tuntunan Ramadhan menjelaskan, itikaf adalah aktivitas berdiam diri di masjid dalam tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharap ridha Allah. Sedangkan anjuran beritikaf ada di Q.S. Al Baqarah: 187.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam melaksanakan itikaf, para mutakif (pelaku itikaf) biasanya melakukan kegiatan ibadah seperti shalat sunat, membaca Al Qurán, berdzikir, berdoa, mendengarkan kajian, dan ibadah lainnya. Termasuk juga memperbanyak sedekah.

Selain melakukan ibadah-ibadah yang bersifat vertikal, dalam berdiam diri di masjid, para mutakif bisa jadi tidak melakukan apapun. Setelah ia melakukan berbagai aktivitas selama setahun, kini saatnya ia diam sejenak, berhenti. Setelah ia melakukan perjalanan keluar, yaitu bekerja, mengumpulkan harta benda, bepergian ke tempat-tempat yang jauh, berinteraksi dengan lingkungan, dan sebagainya; kini saatnya bagi dia untuk melakukan “perjalanan ke dalam”.

Apakah perjalanan ke dalam itu?

 

Muhasabah (Introspeksi Diri)

Senada dengan malam Tahun Baru, malam-malam sepuluh terakhir diisi dengan melakukan muhasabah. Apa saja yang sudah dilakukan selama setahun ini dan apa saja yang belum dilakukan. Tujuan, cita-cita, atau target apa yang sudah tercapai dan apa yang belum tercapai.

Lebih dari itu semua adalah introspeksi diri terkait amal perbuatan yang telah dikerjakan selama ini. Amal baik apa saja yang sudah dilakukan, seberapa banyak, dan apa dampaknya bagi diri sendiri maupun orang lain, perlu  ditingkatkan lagi atau tidak, dan seterusnya. Termasuk amal baik apa yang tertunda, atau bahkan gagal dilaksanakan.

Sebaliknya, yang tak kalah penting adalah muhasabah terkait amalan-amalan buruk yang telah kita lakukan. Renungkanlah baik-baik, mengapa kita bisa melakukan hal itu. Seberapa sering kita melakukannya. Apa dampaknya bagi diri sendiri maupun orang lain. Apakah sekarang merasa menyesal, merasa berdosa? Jika jawabannya iya, maka berkomitmenlah pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya kembali. Mohonlah ampun kepada Tuhan. Jika hal itu berhubungan dengan orang lain, maka mintalah maaf kepadanya.

Tafakur (Merenung)

Tafakur berasal dari kata tafakara, yang berarti memikirkan atau mempertimbangkan.  Aktivitas tafaktur tidak hanya digunakan untuk beribadah saja, namun juga untuk merenungkan dan mengkaji sebuah kejadian dalam hidup manusia sehari-hari. Tafakur merupakan sebuah proses untuk merenungkan secara lebih mendalam semua ciptaan Allah yang ada di dunia ini, agar dapat memahami makna-makna dengan cara menganalisi dan mengamati suatu unsur dengan unsur lainnya. Hasil dari aktivitas tafakur ini adalah rasa kagum akan kebesaran dan kekuasaan Allah Yang Mahaagung.

Dalam bertafakur, subyeknya perlu didasari keimanan yang kuat dan obyeknya tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat empiris semata. Diharapkan, orang yang bertafakur mampu menembus realita untuk memasuki kesadaran yang lebih tinggi, yaitu kesadaran alam semesta, kesadaran akan kehadiran Tuhan di setiap waktu dan tempat. Merenung secara lebih mendalam inilah yang penulis sebut sebagai perjalanan ke dalam (diri).

Manusia yang gemar bertafakur akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah maupun di sisi manusia. Rasulullah sendiri gemar melakukan tafakur. Kebiasaannya pergi ke gua Hira salah satunya adalah dalam rangka bertafakur. Anjuran bertafakur terdapat dalam Q.S. Ali Imran: 190-191 dan hadits riwayat Ibnu Hibbah dari Abu Hurairah.

 

Dampak Positif bagi Kesehatan dan Kebahagiaan

Muhasabah dan tafakur boleh dikata sebagai satu kesatuan. Adapun aktivitas pelengkapnya bisa ditambah dengan menata hati dan pikiran.

Menata hati di sini adalah berupaya menetralkan energi-energi negatif yang ada di dalam jiwa manusia. Seperti kemarahan, benci, dendam, sakit hati, kecewa, sedih, perasaan bersalah, iri-dengki, dan semacamnya. Kita bersihkan hati kita dari semua perasaan-perasaan itu.

Sedangkan menata pikiran adalah dengan menyadari saat ini dan di sini. Tidak lagi berpikir tentang masa lalu (penyesalan) atau berpikir tentang masa depan (kecemasan, kekhawatiran). Termasuk juga kebiasaan berimajinasi liar, berhalusinasi, berpikir negatif, berpikir destruktif.

Mari kita isi hati kita dengan cinta-kasih, welas-asih, simpati-empati, kerinduan, perhatian, dan kebaikan lainnya. Mari pula kita isi pikiran kita dengan berpikir positif, berpikir logis, memiliki paradigma baru, menjaga kejernihan akal. Apabila hal ini bisa kita lakukan, akan membawa dampak positif bagi diri kita, yaitu berupa kesehatan maupun kebahagiaan.

 

Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler