x

keadaan kelas dalam pembelajaran, sumber website SMA Negeri 5 Mataram

Iklan

Teguh Gw

Pemerhati pendidikan, pernah menjadi guru
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2020

Selasa, 18 April 2023 11:49 WIB

Tantangan Merdeka Belajar: Mengokohkan Akar, Menguatkan Sayap

Keampuhan gerakan Merdeka Belajar kelak diuji dengan keberhasilannya dalam mewariskan pusaka abadi kepada generasi bangsa: akar dan sayap. Apakah maknanya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“There are only two lasting bequests we can give our children: roots and wings.”
Hanya ada dua pusaka abadi yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita: akar dan sayap.

Nasihat metaforis ini sangat masyhur di dunia pengasuhan (parenting). Selain memakai beragam redaksi, kutipan kata-kata bijak tersebut juga merujuk pada sumber yang berbeda-beda. Salah satu tokoh yang kerap disebut sebagai sumber kutipan adalah William Hodding Carter Jr. (1907—1972), jurnalis terkemuka berkebangsaan Amerika.

Di dalam bukunya Where Main Street Meets the River (1953), Carter menulis, “A wise woman once said to me that there are only two lasting bequests we can hope to give our children. One of these she said is roots, the other, wings.” Jika wanita bijak yang disebut dalam narasinya adalah tokoh nyata, berarti Carter sendiri mengutip pendapat orang lain. Namun, jika si wanita bijak adalah tokoh rekaan, dapat dinyatakan bahwa Carter adalah pencetusnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terlepas dari polemik tentang siapa pencetusnya, petuah tersebut mengandung pesan yang dalam, sekaligus memiliki spektrum makna yang amat luas. Pada hakikatnya, pengasuhan adalah pendidikan. Dengan demikian, nasihat tersebut berlaku pula pada kegiatan pendidikan secara luas.

Apa pun paradigma yang membingkainya, pendidikan adalah usaha mengokohkan akar pertumbuhan sekaligus menguatkan sayap perkembangan anak. Dinamika sistem pendidikan dari waktu ke waktu hanyalah mencerminkan dialektika dalam rangka mencari pendekatan dan strategi penyelenggaraan pendidikan. Semuanya bermuara pada upaya menemukan pola yang kompatibel dengan perubahan tuntutan dan tantangan zaman yang sedang dihadapi.

Dalam empat tahun terakhir, strategi pendidikan nasional kita dibingkai dengan tema gerakan Merdeka Belajar. Tema gerakan yang kemudian dijabarkan menjadi aneka program dan kebijakan berjilid-jilid ini pun tidak bisa mengelak dari tagihan yang sama: seberapa efektif mewariskan perpaduan akar yang kokoh dan sayap yang perkasa? Akar dan sayap warisan Merdeka Belajar itu kelak akan mengejawantah dalam performa generasi bangsa yang menjadi sasarannya.

“Akar” adalah karakter yang membentuk fondasi kepribadian dan menegaskan jati diri seseorang. Dengan karakter yang berakar kokoh, seseorang tidak akan pernah menyimpang dari prinsip-prinsip hidup yang diyakininya. Akar karakter akan memandu jalan hidup seseorang. Sewaktu-waktu ia mendapati situasi bimbang antara dua atau lebih pilihan, akar karakter akan membantunya menentukan pilihan tepat untuk menempuh jalan selamat.

 Sementara itu, “sayap” memberikan kebebasan dan mengantarkan seseorang tumbuh dewasa secara mandiri dan otonom. Pola pengasuhan burung menarik untuk diambil sebagai tamsil. Sejak kali pertama terbang, burung jenis apa pun—yang terkecil sekalipun—mesti terbang sendiri, tanpa ada yang menggandengnya. Induk burung akan membiarkan anak-anaknya terbang sendiri di udara. Demikianlah semestinya proses pendewasaan. Setiap anak manusia dituntut untuk membangun kecakapannya dalam menjelajah dunia, menyiasati situasi yang dihadapi, dan menaklukkan tantangan-tantangannya.

Setiap jenis burung memiliki fitur sayap yang berbeda dari yang dimiliki burung jenis lainnya. Fitur sayap tiap-tiap jenis burung dirancang untuk kompatibel dengan gaya terbang yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan menikmati kebahagiaannya masing-masing. Kolibri yang bersayap kecil dan tipis tidak perlu iri dengan elang yang bersayap lebar dan tebal. Kedua jenis burung tersebut memiliki sumber kehidupan dan kebahagiaan yang saling berbeda.

 Kolibri tinggal mengatur ritme kepak sayapnya agar mudah menggapai nektar yang tersembunyi di dalam bunga bertangkai lentur atau menangkap serangga-serangga kecil yang terbang rendah dan lambat. Naif dan konyol jika induk kolibri memaksa anak-anaknya untuk meminjam sayap elang demi bisa bersaing dengan anak-anak elang: terbang, bertengger, dan bersarang di ketinggian. Untuk menikmati kodratnya secara bahagia, anak-anak kolibri tidak perlu diajari mengintai mangsa dari tempat-tempat nun jauh dan tinggi.

Mengepakkan sayap secara efisien menurut kodratnya untuk terbang secara efektif sesuai dengan kebutuhannya, itulah kecakapan yang mutlak dikuasai oleh setiap jenis burung. Demikian juga yang berlaku pada manusia. Bedanya, burung memperoleh semua kecakapan itu melalui pewarisan genetik dan adaptasi instingtif, sedangkan manusia harus mengembangkan bakat bawaannya untuk memperoleh kecakapan optimal melalui belajar.

Pengetahuan burung tentang apa makanannya dan di mana letaknya serta keterampilan untuk mendapatkan makanannya itu diilhamkan langsung oleh Sang Pencipta. Sementara itu, manusia harus menjalani proses belajar untuk mengenali bakat alaminya, mengidentifikasi prospek profesi yang cocok dengan bakat dan passion-nya, serta mengembangkan kecakapan yang diperlukan untuk menekuni profesi prospektifnya tersebut.

Yang tidak kalah penting, manusia dituntut memiliki kepekaan mencerap gejala-gejala alam dan sosial yang muncul di lingkungannya. Berbagai gejala itu berpotensi menjadi peluang atau tantangan dalam mewujudkan visi dan misi hidupnya. Maka, tuntutan berikutnya adalah cakap merespons setiap peluang dan tantangan. Keterampilan merespons peluang dan tantangan secara cermat dan tangkas akan mengoptimalkan kapasitas kerja dan karyanya.

Dengan karakter yang berakar kokoh, manusia memahami dan meyakini peran kodrati yang diembannya, yakni sebagai duta Tuhan di muka bumi. Tugas pokok yang didelegasikan kepadanya adalah memakmurkan bumi. Dengan demikian, segala kerja dan karyanya menjadi wahana untuk menebarkan manfaat bagi segenap makhluk penghuni alam semesta, bukan sebaliknya: mengeruk keuntungan pribadi.

Itulah sejatinya fungsi pendidikan: mengokohkan “akar” dan melatih resiliensi “sayap”. Dengan karakter yang berurat berakar dalam kepribadiannya, seseorang akan selalu eling sangkan paraning dumadi (menyadari dari mana berasal dan ke mana kelak kembali). Dengan kompetensi yang mumpuni dan adaptif, ia akan selalu sigap menghadapi dan menyiasati setiap perubahan zaman.

Jika boleh diringkas, tugas pendidikan itu hanya satu: mengembangkan kecakapan memecahkan masalah. Manusia memang ditakdirkan sebagai problem solver. Itulah sebabnya, manusia diberi akal. Akal—yang tidak dianugerahkan kepada hewan—itulah peranti utama yang diperlukan untuk memecahkan masalah.

Untuk memperoleh kecakapan memecahkan masalah, akal membutuhkan latihan berulang dan berkelanjutan. Menerima kegagalan secara kesatria, lalu bangkit kembali secara gagah berani untuk melakukan perbaikan adalah proses alami yang mesti dilalui oleh seorang pembelajar sejati. Pengalaman mengevaluasi kegagalan dan mengimprovisasikan taktik dan strategi itulah yang akan mematangkan kecakapannya dalam memecahkan masalah.

Dalam proses alami berlatih memecahkan masalah, seseorang menginternalisasi nilai-nilai karakter mulia. Untuk memperoleh keterampilan berjalan—memecahkan masalah dalam kebutuhan gerak—misalnya, bayi mesti menjalani proses belajar berbulan-bulan: mulai dari berbaring, tengkurap, duduk, mengesot, merangkak, berdiri, titah, baru kemudian bisa berjalan dengan bertumpu pada kedua kaki tanpa sandaran. Selama bayi menjalani proses yang panjang itu, berbagai nilai karakter merasuk ke dalam jiwanya: sabar, jujur, tangguh, pantang menyerah, tekun, disiplin, berani, mandiri, dan seterusnya.

Pendidikan yang tidak mengkhianati kodrat alam dan tidak terjebak pada budaya instan, dengan sendirinya berperan sebagai kawah candradimuka. Anak-anak terdidik secara holistik agar tumbuh menjadi kesatria-kesatria yang kokoh “akar” karakternya dan tangguh “sayap” kompetensi aktualnya. Proses belajar secara alami dan manusiawi dalam rangka memperoleh kompetensi autentik dan aktual akan membentuk kepribadian seseorang yang sarat dengan beragam karakter mulia dan unggul.

Bukankah demikian konsep merdeka belajar yang dicanangkan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara? ***

Ikuti tulisan menarik Teguh Gw lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu