x

Iklan

Malik Ibnu Zaman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Oktober 2022

Senin, 17 April 2023 19:44 WIB

Culture Shock Orang Desa Ketika Ramadhan Pertama Kali di Jakarta

Sebagai perantau, sudah barang tentu saya mengalami yang namanya culture shock. Tidak terkecuali terkecuali saat saya Ramadhan pertama kali di Jakarta. Sebagai orang Tegal yang tumbuh dengan kultur pedesaan, saya merasakan kaget luar biasa ketika Ramadhan pertama kali di Jakarta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai perantau, sudah barang tentu saya mengalami yang namanya culture shock. Tidak terkecuali terkecuali saat saya Ramadan pertama kali di Jakarta. Sebagai orang Tegal yang tumbuh dengan kultur pedesaan, saya merasakan kaget luar biasa ketika Ramadhan pertama kali di Jakarta.

Lalu apa saja sih culture shock orang desa ketika Ramadan pertama kali di Jakarta? Berikut penjelasannya:

1# Kaget Banyak yang Tidak Puasa

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun bulan Ramadan warung-warung makan di Jakarta seperti warteg, tetap buka pada siang hari. Meskipun ditutupi oleh kain, tetapi tetap saja keluar masuknya pelanggan terlihat dengan sangat jelas. Sebagai orang desa tentu saja saya kaget, sebab di desa saya warung makan ketika Ramadan buka pada sore hari. Untuk sekedar membeli telur dan mie instan di toko kelontong saja diinterogasi terlebih dahulu. Banyak juga yang terang-terangan makan dan minum di pinggir jalan.

Saya, sih, tidak masalah akan hal tersebut, sebab puasa itu kan urusan masing-masing, cuman kaget saja. Kekagetan saya semakin bertambah, tatkala kawan saya bersama Lazhar (nama samaran) yang biasa berbuka bersama dengan saya di Masjid, kepergok sedang makan bakso dan es teh manis di tengah panasnya udara Jakarta.

2# Masjid-Masjid Membagikan Hidangan Berbuka Puasa

Banyak dari Masjid-masjid di Jakarta yang membagikan hidangan berbuka puasa. Hal tersebut membuat saya kaget, sebab di daerah saya hanya masjid-masjid tertentu saja. Sementara di Jakarta semua masjid yang saya temui menyediakan hidangan berbuka puasa. Hal tersebut tentu sangat membantu bagi para mahasiswa, pedagang, musafir.

Salah satu masjid di desa saya memang membagikan hidangan berbuka puasa. Menurut saya sih kurang tepat, sebab letaknya bukan di jalan besar. Memang niat awalnya untuk para musafir, tetapi pada kenyataannya justru tidak ada musafir, dan malah dinikmati oleh warga sekitar yang tergolong mampu.

3# Tarawih

Tarawih 8 rakaat plus 3 witir, tarawih 20 rakaat plus 3 witir sama-sama baik, tidak ada masalah. Yang menjadi masalah itu jika tidak melakukan keduanya, alias tidak melaksanakan tarawih.

Kekagetan saya sih perihal durasinya, sebab di desa saya 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir itu hanya sekitar 30 menit, karena surat yang dibaca imam adalah surat pendek. Sementara di Jakarta durasinya bisa dikatakan lama, sebab surat yang dibaca panjang, terus ada ceramahnya juga.

Kekagetan juga ketika Shalat Witir. Di desa-desa witir itu dibagi menjadi 2, yaitu 2 rakaat dulu, baru 1 rakaat. Kalau di Jakarta 3 rakaat sekali salam. 3 rakaat sekali salam memang boleh, meskipun makruh. Ketika pertama kali tarawih di Jakarta, karena tidak memperhatikan bilal sholat, perihal witir saya di rakaat kedua malah tahiyat, sementara yang lain bangun dari sujud.

4# Suara Mercon Korek Api

Pada Bulan Ramadhan mercon atau petasan banyak bermunculan, macam-macam jenisnya. Salah satu jenis mercon itu ada mercon korek api, mercon satu ini bisa dikatakan favorit, sebab harganya murah. Di desa-desa suara mercon korek api ini menggema sepanjang hari di bulan Ramadhan, bahkan di siang hari sekalipun, dan dinyalakan oleh anak-anak.

Sementara di Jakarta, saya belum pernah mendengar sekalipun suara mercon korek api di bulan Ramadhan. Pernah sih di luar Ramadhan, tetapi itu kembang api di malam tahun baru, dan dinyalakan oleh orang dewasa. Mungkin faktor peredaran mercon di Jakarta jauh lebih ketat, dan letak tata ruang tidak mendukung.

5# Ronda Sahur

Teknologi sekarang ini lebih maju, dengan adanya speaker di masjid memudahkan untuk membangunkan masyarakat yang hendak sahur. Kalau dulu untuk membangunkan orang sahur dengan menggunakan ronda sahur, yaitu dengan alat kentongan dan bedug berkeliling.

Meskipun ada speaker di masjid, desa saya masih menggunakan ronda sahur. Jadi saya sudah terbiasa sejak kecil mendengar suara riuh menjelang sahur. Akan tetapi ketika Ramadhan pertama kali di Jakarta saya tidak mendengar suara riuh tersebut, sampai sekarang pun belum pernah. Suara dari speaker masjid lah yang membangunkan untuk sahur.

Itulah culture shock orang desa ketika Ramadhan pertama kali di Jakarta.

Ikuti tulisan menarik Malik Ibnu Zaman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB