x

Ilustrasi Perpustakaan. Gambar oleh 0fjd125gk87 dari Pixabay.com

Iklan

Riandy Kadwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Kamis, 20 April 2023 07:00 WIB

Untuk Siapa Sebenarnya Perpustakaan Dibuat?

Alih-alih fasilitas untuk publik, kenyataannya tidak semua orang atau anak bisa mengakses perpustakaan. Lagi-lagi yang bisa memanfaatkannya hanya kalangan kelas menengah ke atas. Lantas, untuk siapa perpustakaan ini sesungguhnya dibuat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kehadiran banyaknya perpustakaan modern yang megah di beberapa wilayah di Indonesia, seperti membawa angin segar bagi dunia literasi Indonesia. Sebut saja Perpustakaan Grhatama Pustaka Yogyakarta, Micro Library Bandung, Perpustakaan Soeman HS Pekanbaru, Perpustakaan Jakarta Taman Ismail Marzuki, dan beberapa perpustakaan kampus ternama di Indonesia dibangun dengan desain arsitektur lebih modern. Hal itu untuk meninggalkan kesan membosankan. 

Perpustakaan modern itu biasanya juga memfasilitasi ruang kerja untuk pekerja kreatif. Beberapa juga ditemukan fasilitas semacam playground untuk anak. Sehingga memudahkan para orang tua memperkenalkan dunia literasi di lingkungan yang menyenangkan.

Secara konsep merupakan sebuah kemajuan dalam upaya peningkatan minat baca di perpustakaan. Arsitektur dan interior yang modern sekaligus unik selalu berhasil menarik banyak pengunjung. Setidaknya, membangkitkan rasa penasaran di awal. Terlepas mereka ingin membaca atau tidak itu beda urusan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Don’t judge the books by each cover sudah tidak ampuh di era ini. Kalau sudah tidak menarik di sampulnya, jangankan membaca menyentuh pun tak sudi. Pola pikir itu pun dipakai untuk menilai hal lain termasuk, dalam konteks ini, perpustakaan. 

Nampaknya, pemerintah sudah mengira bahwa dengan mengubah image perpustakaan akan menarik perhatian masyarakat. Cara ini mungkin berhasil meningkatkan pengunjung. Tapi sayangnya, di sisi yang paling krusial, ini tidak efektif untuk meningkatkan daya literasi masyarakat.

Sasaran Melenceng

Perilaku kita yang sangat terikat dengan media sosial menanamkan antusiasme dan euphoria berlebih di awal pada hal-hal atau tempat baru yang sedang tren. Antusiasme dan euphoria tersebut kemudian akan pudar dalam waktu singkat. Setidaknya sudah pernah mencoba atau merasakan dan tentu saja sudah diabadikan di media sosial masing-masing. 

Ini sama ketika dibukanya sebuah mal baru. Semua orang berbondong-bondong datang bahkan rela berdesak-desakan untuk sekadar melihat-lihat saja. Perpustakaan sudah tidak lagi menjadi tempat sebagaimana fungsinya, yaitu tempat membaca buku. Selain itu, dengan mental 'budak konten' yang terbentuk akhirnya hanya memanfaatkannya untuk berselfie-ria dan konten reels IG saja demi memenuhi kebutuhan media sosial belaka. Waktu mereka pun habis bukan untuk mengakses buku dengan bebas, hanya berniat ingin menjajal tempat yang sedang hits saja. 

Layaknya sebuah mal, hanya kalangan menengah ke atas saja yang bisa masuk. Perpustakaan umum hanya label saja. Nyatanya tidak semua orang bisa masuk dan menikmatinya. Masih banyak kalangan menengah ke bawah yang belum bisa mengakses fasilitas publik yang disediakan pemerintah tersebut. 

Bisa dikatakan semua sasaran melenceng. Meningkatkan daya literasi masyarakat tidak efektif akibat ilusi keindahan arsitektur dan interior. Nasib buku-buku pun pada akhirnya tidak berubah: diabaikan. Di sisi lain sistem keamanan dan administrasi yang rumit lalu menimbulkan pertanyaan, bagaimana caranya fasilitas publik bisa dinikmati semua kalangan?

Smart City or Selfiesh City? 

Saya tidak tahu apakah masalah ini pernah dipertimbangkan atau belum mengenai syarat administrasi yang harus dipenuhi sebelum masuk ke perpustakaan. Reservasi lewat website kemudian scan barcode dan sebagainya, agaknya terlalu rumit bagi mereka yang tidak paham dan tidak memiliki smartphone.

Proses administrasi yang berbelit-belit –karena tidak paham cara dan tidak memiliki smartphone– membuat sebagian besar masyarakat kalangan bawah terpaksa mengurungkan niat untuk berkunjung. Terlebih untuk para orang tua, sudahlah Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) terbatas, ruang literasi pun bernasib serupa. Ujung-ujungnya, anak-anak mereka tetap berakhir di jalanan.

Alih-alih fasilitas untuk publik kenyataannya tidak semua orang atau anak bisa mengaksesnya. Lagi-lagi yang bisa memanfaatkannya hanya kalangan kelas menengah ke atas. Lantas, untuk siapa perpustakaan ini sesungguhnya dibuat? Apa benar tujuannya adalah meningkatkan literasi dan minat baca masyarakat Indonesia? Lalu, kenapa dibuat persyaratan administrasi yang memberatkan kalangan bawah? 

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghinggapi kepala saya. Wacana Smart City yang digembar-gemborkan tidak cocok untuk pembangunan infrastruktur yang egois. Hanya menonjolkan keelokan atau kemajuan suatu kota tanpa menghiraukan peningkatan kualitas manusia itu sendiri. Karena tempat-tempat baru yang berpredikat instagramable lebih sering dimanfaatkan untuk konten atau swafoto, mungkin lebih pas kalau disebut Selfiesh City.

Benahi Dari Akar

Acara pembukaan peresmian salah satu perpustakaan baru di Jakarta sangat out of context. Melihat dari akun media sosialnya acara tersebut diramaikan oleh musisi-musisi. Sekali lagi saya ingatkan kalau memang tujuannya hanya meningkatkan pengunjung, cara itu ampuh sekali. Tetapi balik lagi, apakah akan berhasil meningkatkan minat baca dan kemajuan literasi masyarakat? 

Saya menganggap pemerintah sudah kehabisan cara. Atau memang terlalu malas berpikir. Lebih parahnya lagi, semua sektor dianggap sebagai komoditas dan dijalankan dengan paradigma ekonomi: untung-rugi. Tidak heran kalau cara yang dipakai sama dengan yang diterapkan ke sebuah mal.

Hampir tidak terdeteksi sedikitpun suatu inisiasi—event dan semacamnya—yang mencerminkan kepedulian terhadap minat baca dan literasi masyarakat. Tidak menyajikan hiburan kosong belaka. Padahal buku juga berfungsi sebagai hiburan. Cara terbaik untuk kita melepaskan penat dan ‘kabur’ dari rutinitas.

Apa tidak sebaiknya dibuatkan saja acara-acara yang memprioritaskan program peningkatan minat baca dan literasi terlebih dahulu. Misal, pembacaan dongeng untuk anak, menulis cerita, dan sebagainya.

Kemegahan yang terus ditampilkan lambat laun melupakan aspek fundamental dalam meningkatkan minat baca dan literasi. Tidak semua orang akan sering datang ke perpustakaan besar. Jadi, bangunlah budaya literasi dalam lingkup kecil terlebih dahulu. Misal, dalam lingkungan RT, desa, atau dusun. Tidak perlu megah atau modern, asalkan memiliki stok buku yang sesuai dengan lingkungan setempat. Kalau terdapat banyak anak-anak, pastikan untuk menyediakan banyak buku anak bukan buku-buku pelajaran. Bangun ambience yang mendukung kenyamanan membaca.

Peningkatan minat baca dan literasi akan tercipta bila mereka diperkenalkan sejak dini. Selain yang utama dari orang tua, kegemaran membaca akan timbul jika lingkungan terdekat mereka mendukung dengan dibuatkannya perpustakaan-perpustakaan sederhana. Akses yang mudah dan cepat akan meringankan langkah mereka mengunjungi perpustakaan. Setelah itu lama kelamaan habit akan terbentuk. Selain itu, daripada membangun perpustakaan yang memakan banyak biaya, alokasikan saja dana untuk mensubsidi buku. Peningkatan minat baca akan mandek jika harga buku tidak terjangkau kalangan menengah ke bawah.

Usaha-usaha ini lebih efektif meningkatkan minat baca dan literasi ketimbang urusan megah dan modern belaka. Jangan terlalu sering terpukau oleh kemegahan. Kualitas tidak dibangun dari hal itu. Benahi dari akar tidak hanya menuntaskan masalah, tetapi akan membuat perubahan yang lebih bermakna.

Ikuti tulisan menarik Riandy Kadwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler