x

Foto Majalah Tempo

Iklan

trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2022

Rabu, 19 April 2023 16:16 WIB

Hidup Bahagia ala Secangkir Kopi

Salah satu sumber penderitaan adalah kita sering terjebak oleh dualitas kehidupan. Sadar atau tidak sadar, kita sering membeda-bedakan, memisah-misahkan, membelah-belah antara terang dan gelap, antara siang dan malam, antara panas dan dingin, antara kelahiran dan kematian.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara perihal kopi, saya menjadi ingat akan sebuah novel yang terbit di tahun 2006 karya Dewi Lestari (Dee) yaitu Filosofi Kopi. Novel itu begitu populer hingga teman-teman saya di komunitas penulis sering membicarakannya. Karena penasaran, akhirnya saya ikut membaca novel itu. Jujur, waktu itu saya belum bisa memahami betul apa isi (pesan) dari novel tersebut, terlebih sebagai segmented fiction, saya mudah sekali merasa jenuh.

Sedikit berbeda dengan novel Filosofi Kopi, di sini saya ingin membahas tentang kopi  juga. Secangkir kopi akan terasa nikmat apabila terjadi perpaduan yang tepat antara takaran kopi dengan takaran gulanya. Seberapa banyak gula yang perlu ditambahkan pada sesendok kopi, tergantung pada setiap individu. Mungkin gulanya bisa sesendok juga, lebih sedikit atau kurang sedikit.

Apabila kopi diminum tanpa gula, tentu rasanya akan sangat pahit. Sebaliknya, jika pemberian gula terlalu banyak akan dapat menghilangkan rasa. Kita tak lagi dapat merasakan pahitnya kopi, karena rasa manislah yang dominan. Baik kopi tanpa gula maupun kopi yang kebanyakan gula, dari keduanya kita tidak akan memperoleh kenikmatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Terjebak Dengan Dualitas

Salah satu sumber penderitaan adalah kita sering terjebak oleh dualitas kehidupan. Sadar atau tidak sadar, kita sering membeda-bedakan, memisah-misahkan, membelah-belah antara terang dan gelap, antara siang dan malam, antara panas dan dingin, antara kelahiran dan kematian.

Dalam dunia bisnis, kita cenderung hanya mau (siap) menerima keuntungan saja. Ketika suatu saat kita mengalami kerugian, kita merasa kecewa, tertekan, bahkan putus asa. Kita berpikir bahwa bisnis identik dengan keuntungan. Padahal, berbisnis itu muaranya cuma dua, kalau tidak untung ya rugi. Dengan demikian, kalau siap untung ya harus siap rugi juga. (Pebisnis yang tidak siap rugi adalah orang yang tidak akan bahagia).

Dalam dunia olahraga, kita cenderung hanya mau (siap) menerima kemenangan saja. Ketika suatu saat kita mengalami kekalahan, kita merasa kecewa, marah, bahkan terkadang sampai mengamuk. Kita menganggap bahwa pertandingan olahraga identik dengan kemenangan. Padahal, bertanding itu muaranya cuma dua, sekiranya tidak bisa menang ya tentu kalah. Dengan begitu, jika siap untuk menang, semestinya siap juga untuk kalah. (Atlet yang tidak siap kalah adalah orang yang tidak akan bahagia).

Dalam berumah tangga, kita cenderung hanya mau menerima kebaikan (kelebihan) dari pasangan kita. Kita menolak keburukan (kekurangan) dari pasangan kita. Sehingga kita banyak menuntut daripada memberi. Kita menginginkan pasangan kita sempurna, padahal kita sendiri juga tidak sempurna. Inilah salah satu sumber konflik dalam keluarga. (Suami/isteri yang tidak siap menerima keburukan atau kekurangan dari pasangannya adalah orang yang tidak akan bahagia).

Hal-hal di atas juga berlaku dalam kehidupan bertetangga, komunitas, atau masyarakat luas pada umumnya.

 

Terima dan Lampuilah Dualitas

 

Simbol yin dan yang dalam khasanah filosofi Cina, yin digambarkan dengan warna hitam yang bermakna gelap. Sedangkan yang digambarkan dengan warna putih yang bermakna terang. Di dalam warna hitam terdapat satu titik berwarna putih. Sementara di dalam warna putih terdapat satu titik berwarna hitam.

Secara sederhana, simbol tersebut mengandung makna bahwa segala sesuatu tidak dapat berdiri sendiri tanpa didampingi (dilengkapi) oleh hal yang berkebalikan dengannya.

Tidak ada manusia yang 100% baik, pun sebaliknya tidak ada manusia yang 100% buruk. Manusia yang dinilai (dianggap) sangat baik sekalipun, pasti memiliki sisi-sisi buruk, seberapa pun kadarnya. Demikian halnya, seseorang yang dinilai sangat jahat, sudah barang tentu ada sisi-sisi baik yang melekat padanya.

Oleh karena itu, terimalah pasangan hidup kita apa adanya, terimalah segala kelebihan maupun kekurangannya, segala kebaikan maupun keburukannya. Terimalah anak-anak kita sepenuhnya, dengan beragam karakter yang dimilikinya. Terimalah para tetangga kita, dengan beragam sikap dan perilaku mereka.

Terimalah hidup dengan semua dualitasnya. Terimalah hidup dengan semua sifat berlawanannya.

(Apabila kita renungkan baik-baik, kebahagiaan hanyalah jarak antara dua saat penderitaan yang bergantian. Demikian halnya dengan penderitaan hanyalah sebuah celah sementara antara dua saat kebahagiaan).

 

Referensi:

Anand Krishna: Kehidupan, Panduan untuk Meniti Jalan ke Dalam Diri, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler