x

Iklan

Edi lukito

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 April 2023

Kamis, 20 April 2023 19:34 WIB

Refleksi Nilai Pasca Ramadan

Ramadan membawa nilai-nilai yang baik bagi umat islam secara khusus, harapannya nilai ini terus berlanjut seterusnya di luar bulan Ramadan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ramadan datang dan akan pergi lagi. Banyak kebaikan yang tercipta saat kedatangannya. Sebab, ketika ditelisik lebih jauh kewajiban berpuasa di bulan Ramadan, bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu, banyak nilai yang terkandung di dalamnya seperti dapat menahan diri dari perbuatan maksiat, berlomba-lomba dalam beribadah, serta dapat mereduksi berbagai naluri  berlebih manusia. Semua hal yang hadir itu, harapannya tetap bertahan saat kepergian. Karena Ramadan tentu  akan kembali datang, sementara tak ada kejelasan bagi kita akan ada di sana atau tidak. 

Naluri adalah sifat dasar yang ada pada manusia, tak jarang dari naluri itu muncul hal buruk. Hasrat membenci ketidakadilan yang dimiliki manusia, seringkali menjadikannya buram dalam melihat realitas, apalagi jika tendensi tersebut bersifat radikal. Hal ini terjadi saat Indonesia terpilih menjadi tuan rumah dalam ajang Piala Dunia U-20 tahun 2023.  Akibat idealisme radikal oleh sebagian masyarakat Indonesia pada Israel yang telah berbuat tidak adil pada Palestina. Mereka menolak kedatangan Tim Nasional Israel untuk hadir bertanding pada kompetisi tersebut di Indonesia yang dalam hitungan hari akan dilaksanakan. Realitas tersebut akhirnya terkubur, sebab FIFA (Federation Internationale de Football Association) selaku lembaga penyelenggara membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah. Padahal negara telah mengeluarkan biaya fantatis untuk penyelenggaraan ini. Harapan para pemain Timnas untuk dapat bermain di kompetisi bergengsi ini dan mengharumkan nama Indonesia di mata dunia pupus seketika.

Hasrat mencari kehidupan yang layak, walaupun untuk kelangsungan hidup jika dilakukan secara berlebihan akan melahirkan sifat tamak. Secara beriringan sifat tamak itu hadir dengan egosentris. Kedua sifat ini dapat menurunkan kepekaan sosial pada diri manusia. Menjadikan manusia apatis terhadap manusia lainnya. Parahnya manusia akan mati rasa pada lingkungannya. Hal ini bisa kita saksikan di negeri ini, saat kasus korupsi masif terjadi pada masyarakat elit, berbanding lurus dengan angka kemiskinan yang semakin tinggi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasrat menyukai sesuatu yang membuatnya nyaman dan bahagia pun jika secara eksesif dan keluar dari koridor, akan membuat manusia hancur dan binasa. Misalnya saja dalam hal makanan, manusia memeliki tendensi memilih spesies hidup yang lain seperti ayam, kambing, sapi, dan kelinci untuk dimakan, karena rasanya yang enak. Dengan dalih tersebut, manusia secara membabi buta menjadikan spesies itu sebagai makanan. Alhasil banyak manusia yang dilumpuhkan oleh berat badannya sendiri (obesitas), bahkan sampai berakibat kematian. Sementara di sisi lain, negeri ini juga sedang berupaya melawan stunting dan kasus gizi buruk

Ketiga hasrat yang menjadi idealisme pada diri setiap insan diatas, sebenarnya bernilai baik. Namun, jika dilakukan secara radikal, ekstrem dan eksesif akan berdampak tidak baik bagi kehidupannya secara umum, dan secara khusus kepada dirinya sendiri. Berangkat dari hal tersebut, manusia perlu self-control (kontrol diri) agar tidak jatuh pada jurang ekstremisme yang membahayakan. Kontrol diri tersebut dapat ditemukan salah satunya dalam ajaran agama (syariat).

Dalam agama islam,  Allah. Swt melekatkan koridor-koridor kontrol diri itu pada setiap ibadah yang Dia wajibkan.  Seperti ibadah salat yang dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar, zakat yang dapat menjauhkan manusia dari sifat tamak, serta puasa yang dapat mengontrol pola makan dan sifat kebencian berlebih pada manusia.  Allah. Swt membuat  waktu khusus bagi manusia untuk melatih mengontrol dirinya yakni pada bulan Ramadan. Ada beberapa tujuan dari dicetuskan bulan Ramadan:

Pertama, Ramadan menjadi waktu menghabisi tumpukan kebencian di dalam diri dengan berpuasa,  diharapkan setelah Ramadan (idul Fitri) manusia kembali suci dan bersih dari segala permusuhan dan kebencian. Sehingga setelah itu manusia kembali melihat dengan jernih realitas yang terjadi, tanpa terhalang oleh kebencian yang mendasar di jiwa. Andai kelompok paling idealis -yang menolak kedatangan Israel ke Indonesia untuk Piala Dunia U-20- menghayati salah satu nilai puasa Ramadan ini, pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah tidak akan terjadi. Dan kita akan melihat para pemuda bangsa ini berlaga di lapangan hijau membawa harum nama bangsa pada dunia.

Kedua, Ramadan menjadi waktu menumbuhkan rasa kepedulian sosial, yang dapat menyelamatkan manusia dari sifat tamak dan egosentris. Karena puasa diwajibkan secara kolektif kepada umat Islam, bukan secara individu. Dalam hal ini Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) menghadirkan pertanyaan reflektif “Berapa banyak di antara kita yang mampu melaksanakan puasa, tarawih, witir, dan tadarus, sebulan penuh secara sendirian?” Dikatakan pula bahwa pada saat bulan Ramadan Nabi Muhammad.Saw lebih dermawan daripada angin yang berhembus.

Senada dengan hal di atas, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) dalam menyampaikan pesan Ramadan bagi umat Islam menekankan pada aspek kepedulian sosial. Gus Yaqut dalam pesannya mengutip surat Ali-Imran ayat 134. Pada ayat itu, kepedulian sosial menjadi ciri pertama orang yang bertakwa, khususnya bagi yang suka menafkahkan hartanya baik saat lapang maupun sempit.  Jika masyarakat Indonesia khususnya bagi para pejabat dan kalangan menengah atas lainnya mengahayati nilai ini, niscaya angka korupsi dan kemiskinan di negeri ini akan turun secara signifikan.

Ketiga, Ramadan menjadi waktu memperhatikan dan mengontrol asupan makanan kita, agar tetap terjadi keseimbangan pada tubuh kita pribadi, juga pada spesies dan sumber daya alam yang kita konsumsi. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad.Saw , “ Sumber dari penyakit adalah perut dan berpuasa adalah obat.” Yang dimaksud perut pada hadist ini adalah makanan. Karena sejatinya perut adalah tempat berkumpulnya makanan di tubuh, sebab itu ia menjadi sumber dari penyakit. Al-Qur’an sudah memberi peringatan yang sangat jelas mengenai hal ini, pada ayat yang berbunyi, “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya” (QS. Abasa [80}: 24).

Laku puasa sebagai obat dari penyakit perut sesuai sabda Nabi. Saw harus benar kita amalkan dengan mengontrol asupan makanan ketika berbuka puasa, saat sahur, ataupun saat malam hari. Karena percuma jika siang hari kita menahan lapar-dahaga, namun saat malam hari kembali brutal mengonsumsi berbagai macam makanan. Labih baik kebrutalan kita dalam mengonsumsi makanan, diganti dengan kebrutalan memberi makanan kepada meraka yang membutuhkan, utamanya bagi para pengidap stunting. Akhirnya lambat laun masalah obesitas, stunting dan gizi buruk di negeri ini akan teratasi.

Walakhir, bulan Ramadan tidak cukup diartikan hanya sebagai waktu untuk berpuasa menahan lapar-dahaga dan segala ekspresi materialistis lainnya. Lebih dari itu, puasa Ramadan yang pahalanya menjadi rahasia Allah.Swt dan hambanya menunjukkan bahwa tujuan utama puasa adalah mengekang naluri berlebihan pada manusia, sehingga menjadi wasilah untuk lebih dekat dengan Allah. Swt. Dari sana manusia bisa memandang berbagai realitas hidup ini dengan jernih, menjadikan manusia sehat dari segi jiwa dan raganya. Manifestasi kolektif diwajibkan puasa ramadan setelah ditelisik lebih jauh tenyata secara langsung dapat menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi saat ini. Oleh karenanya,  refleksi nilai Ramadan tersebut, harapannya tetap bertahan seiring kepergiannya.

Ikuti tulisan menarik Edi lukito lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu