x

Tur cruise untuk menjelajahi Sungai Mississippi menjadi salah satu atraksi wisata di kota New Orleans

Iklan

Ika Ningtyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Desember 2019

Senin, 24 April 2023 08:09 WIB

Kisah Kota Tua di Tepi Mississippi

Kota New Orleans di tepi Sungai Mississippi menyimpan sejarah panjang dari era Prancis dan Spanyol. Ini adalah catatan perjalanan menggunakan cruise menjelajah Mississippi dan kota tua di sekitarnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Creol Queen yang saya tumpangi baru saja melepas sauh. Meninggalkan dermaga Sungai Mississippi, di kawasan River Walk, New Orleans (Nola). Dari dek ketiga, saya leluasa melihat langit yang jernih menjelang senja. Iringan musik jazz dari grup Michael Torregano, menghangatkan petang yang berangin kencang.

Sepuluh menit cruise melaju, memancar bola jingga dari barat, seketika mengubah warna langit. Bayangan gedung-gedung kota memantul ke permukaan sungai, layaknya sebuah cermin. Sebagian pengunjung bergegas mengabadikan panorama. Sebagian lain menghabiskan senja dengan berdansa.

Menjelajahi Mississippi dengan cruise, menjadi atraksi wisata di kota yang dikunjungi 9,5 juta turis tiap tahunnya ini. Tak hanya keindahan sunset dan romantika jazz, saya terlempar  ke ruang masa lalu. Sebuah masa ketika Mississippi dipenuhi kisah penaklukan demi penaklukan, perbudakan, sekaligus diaspora. Masa yang membentuk Amerika menjadi plural.

Sungai Mississippi

Tiket menaiki cruise terbagi dua jenis. Paling mahal dibanderol US$ 79 per orang, lengkap dengan makan malam serta lantai berdansa. Sedangkan yang kedua, seperti yang saya pilih, terpaut separuhnya yakni US$ 48. Tentu tanpa dinner dan hanya puas berada di geladak paling atas.

Cruise ini pertama kali beroperasi 1 Oktober 1983, mampu menampung seribu penumpang. Ini merupakan kapal uap modern beroda kayuh (paddle-wheel). Interior kapal didesain klasik menyerupai kapal uap yang melintas di Mississippi abad ke-18.

Mississippi mengalir dari Danau Itasca, melewati 10 negara bagian. Di masa kunonya, tempat bermukim Suku Indian, penduduk asli Amerika. Jejaknya membekas menjadi nama sungai ini: “Mississippi”, yang berarti “Ayah sungai” . Sebuah nama penghormatan, merujuk peran pentingnya menyuburkan daerah-daerah sekitarnya, memberi penghidupan kepada makhluk Tuhan. 

Ketika langit berganti gelap, hanya nampak lampu-lampu kapal kargo dan cruise lainnya. Kapal melaju tenang mengikuti arus Mississippi berkedalaman sekitar 6 meter. Riwayat sungai ini pernah ditulis Mark Twain (1835-1910) dalam buku klasiknya Life on the Mississippi (1883). Otobiografi setebal 624 halaman, itu salah satunya memuat kisah penulis asal Missouri ini saat menjadi nahkoda kapal uap dengan rute Saint Louis ke Nola.

Dengan gaji 400 dolar, nahkoda kapal uap menjadi profesi paling prestise yang diimpikan banyak pemuda seperti Twain.” Hanya sedikit pria di pantai mendapatkan bayaran sebesar itu. Mereka diperlakukan dengan penuh hormat,” tulis novelis yang bernama asli Samuel Langhorne Clemens ini. Saat menjadi nahkoda, usianya baru 23 tahun.

Tentu saja, kisah Twain menandai kejayaan era kapal uap yang mulai beroperasi 1811. Seiring pembukaan koloni-koloni Prancis dan Spanyol di kota ini. Ada lebih dari 1.200 unit kapal uap memperdagangkan komoditas perkebunan sepeti tembakau, indigo, kapas, tebu dan budak sekaligus di Mississippi. New Orleans berubah menjadi kota pelabuhan terbesar kedua setelah New York City.

Cruise berputar arah saat sampai di dekat kawasan pembangkit listrik. Satu jam telah berlalu, dan tinggal sejam lagi untuk mengantar kami ke dermaga awal. Dari atas kapal saya terdengar kereta api melintas beberapa kali. Ya, penemuan teknologi kereta api di abad ke-19 membuat pamor kapal uap sedikit-demi sedikit tersaingi. Namun tak sepenuhnya hilang sama sekali. Dua jam perjalanan dengan cruise, masih banyak kapal kargo dan tongkang yang melintas untuk memasok kebutuhan industri yang berdiri di Mississippi. Beberapa  cruise milik perusahaan lain juga sibuk hilir-mudik membawa wisatawan.

Michael Torregano memainkan musik terakhirnya dengan beat lebih cepat. Keempat personelnya mengelilingi penumpang sambil memainkan terumpet dan drum. Seluruh penumpang memberikan applaus pamungkas, tepat saat kapal bersandar.

Tur cruise di Sungai Mississippi

Keesokan paginya, saya ikut memadati French Quarter di tepi Mississippi. Distrik tertua di New Orleans adalah saksi berdirinya koloni Perancis dan Spanyol jauh sebelum negara ini bergabung dengan Amerika Serikat. Waktu masih sekitar pukul 9 pagi, tapi sepanjang Decatur Street, jalan utama kawasan ini, sudah ramai oleh ribuan turis.

Jalanan macet oleh mobil pribadi, bus wisata, trem-trem tua dan kuda. Ada sekitar 13 blok yang mengisi French Quarter. Memanjang dari Canal Street di bagian barat hingga ke timur Jalan Esplanade Avenue. Saya menghabiskan waktu tiga hari untuk berkeliling ke seluruh blok dengan berjalan kaki. Cara terbaik untuk menikmati setiap sudut French Quarter.

Urusan cuaca, Nola juga istimewa. Ketika negara bagian lain menghadapi masa transisi dari musim dingin ke semi dengan suhu 4-6 derajat, suhu Nola menunjuk angka 25 derajat celcius. Barangkali alasan ini yang membuat banyak wisatawan memilih Nola untuk berlibur.

French Quarter seluas 1,7 kilometer persegi ini dibangun koloni Prancis yang dipimpin Jean Baptiste Le Moyne de Bienville pada 1718. Keberadaannya tak berubah, setelah Spanyol menguasai pada 1763–1802 lewat perang tujuh tahun. Namun kebakaran besar yang melanda 1788 dan 1794, mengakibatkan 80 persen bangunannya rusak dan hancur.

Spanyol kemudian membangun ulang French Quarter menjadi lebih modern. Sejak itulah, pengaruh Spanyol melekat pada sebagian besar arsitektur French Quarter: bangunan dengan balkon berpagar, serta warna-warna pastel pada temboknya. Saat Amerika Serikat membeli Louisiana pada 1803, bangunan-bangunan French Quater tetap dipertahankan dan ditetapakn sebagai cagar budaya sejak 1940.

Saya menikmati hampir 900 bangunan berasitektur klasik. Pada blok-blok yang dulunya tempat tinggal orang Creole ini, tipe bangunannya mirip, rata-rata berlantai tiga. Dengan jendela besar berjumlah tiga pula di setiap lantainya. Pagar balkon dicat hitam dengan tanaman hias di beberapa sudut. Yang membedakan hanyalah warna cat tembok, ada yang merah marun, krem, hijau pastel, kuning gading, atau hijau telur.

French Quarter

Rumah-rumah ini sejak 1960an, telah berganti menjadi toko fashion dan souvenir yang menggoda isi dompet. Banyak juga yang berubah menjadi café dan restoran yang menyulut lidah dan selera. Kaki tak kuasa menolak untuk masuk menengok isi toko demi toko. Mulai toko kaos khas Nola, lukisan, kerajinan tangan kayu, kostum mardi gras, sampai toko permen segala jenis. Entah berapa puluh toko yang telah saya masuki, hanya sekedar untuk melihat-lihat atau terpancing juga untuk membeli. Di hari pertama berkeliling, saya sudah menjinjing dua kresek tas plastik berisi penuh kaos, jaket dan sekantong permen.

Di sudut Decatur Street, saya tergoda masuk ke Café du Monde, café kopi legendaries sejak tahun 1930an. Menempati bangunan tua bergaya Spanyol klasik, café ini tak pernah sepi dari pembeli. Mereka rela antri berdiri demi mendapatkan tempat duduk. Siang itu, antrian mengular hampir ke badan jalan. Tak tahan menunggu sekitar 15 menit, saya batal untuk menjajal makan di tempat. Saya pindah ke belakang café untuk meminta pesanan agar dibungkus saja. Jadilah setelah menunggu beberapa menit, secangkir coklat hangat seharga 7 dollar dan sebuah donat sudah berada di tangan.

Saya menjejak ke bangunan ikon, yaitu, alun-alun Jackson Square sekaligus untuk beristirahat. Ini sebuah taman melingkar, kursi-kursi besi, dengan patung Andrew Jackson menaiki kuda di bagian tengah. Jackson adalah Presiden AS ke tujuh yang memimpin ekspedisi militer ke kota ini. Dari taman ini saya bisa menatap tiga bangunan menjulang di seberangnya: katedral Saint Louis yang diapit gedung Cabildo dan Presbytère. Ketiga bangunan cukup mewah di massanya.

Katedral tersebut ditunjuk sebagai basilika oleh Paus Paulus VI. Bangunan ini menyisakan atap bergaya Prancis dengan tubuhnya berasitektur Spanyol. Cabildo dulunya adalah balai kota tempat penyimpanan dokumen pembelian Louisiana oleh Amerika Serikat. Sedangkan Presbytère menjadi rumah pastor dan penguasa Katolik Roma, yang menjadi gedung pengadilan di awal abad ke-19. Saat ini kedua bangunan tersebut menjadi museum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saint Louis Cathedral

Pedestrian sekitar alun-alun dan katedral cukup menjadi sanggar terbuka bagi banyak seniman lukis. Mereka melukis di atas kanvas berbagai ukuran, lalu menempelkan karyanya di pagar taman layaknya galeri. Mereka melukis apa pun tentang New Orleans. Tentang grup jazz, anjing, bangunan-bangunan di French Quarter, Mississippi maupun kapal uap. Karya mereka bisa jadi oleh-oleh dengan harga paling murah sekitar 20 dolar. Sembari mengaggumi satu-persatu lukisan, pengamen jazz jalanan dengan alat musik yang lengkap akan selalu menghibur.

Tempat lainnya yang penting adalah French Market. Ini semacam pasar tradisional dan pusat kuliner yang telah tumbuh sejak 1791. Di usianya yang hampir tiga abad, pasar ini tetap ramai bagi wisatawan yang ingin makan dengan tarif miring. Hampir seluruh stand makan penuh terisi. Di salah satu stand yang agak sepi, saya menjajal makanan khas Nola, yakni po-boy. Semacam sandwich berukuran besar dengan isi daging lele yang gurih.

Di malam hari, terutama akhir pekan, French Quarter makin hidup dan menyala. Pusatnya di Barboune Street, surga bagi pencari hiburan malam. Sepanjang koridor berderet sekitar 50 diskotik, beberapa di antaranya menyediakan tarian striptis nan erotis. Jalanan penuh dengan manusia. Bau alkohol dan dentuman musik disko menyentak dari klub-klub malam. 

Bourbon Street menjadi pusat hiburan, setelah pemerintah menutup tempat prostitusi Storyville di Basin Street pada awal abad ke-19. Tempat ini makin ramai saat perang dunia kedua, dengan datangnya ribuan tentara dan pekerja perang ke Nola. Beberapa klub sempat ditutup pada 1960an karena membuka prostitusi. Namun geliat Bourbone Street tak surut hingga sekarang.

Bourbone Street

Kawasan ini selamat dari banjir besar Badai Katrina di tahun 2005 karena dibangun lebih tinggi dari Mississippi. New Orleans tak saja menjadi pusat wisata sejarah namun cukup lengkap menyediakan kesenangan, kuliner, surge belanja dan hiburan malamnya sekaligus. Seorang kawan seperjalanan saya, Sely Martini berujar: “ Di sini begitu bebas, hingar bingar dan melenakan.” Dia membandingkan dengan Washington DC yang begitu tertib dan serba formal.

Namun Nola belum beranjak sebagai salah satu kota termiskin di AS. Saya menjumpai ada banyak pengemis berkulit hitam tanpa rumah. Sungguh ketimpangan yang menganga, di balik gemerlap wisata di tepi Mississippi yang menyejarah.

**

Menjelajahi Mississippi bisa menggunakan cruise atau ferry. Loket-loketnya banyak ditawarkan di sepanjang Poydras Street, kawasan River Walk. Kawasan ini bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 15 menit dari Canal Street, New Orleans. Sedangkan untuk menikmati French Quarter bisa ditempuh berjalan kaki. Cara lain, dengan transportasi umum seperti becak, bendi, trem, dan bus tingkat. Becak banyak ditemukan di jalanan utama. Sedangkan bendi berada di depan Jackson Square, di jalan Decatur. Sementara trem dan bus berada di masing-masing halte dengan biaya 1,25 dollar Amerika.**

(Pernah dipublikasikan di Koran Tempo, Juli 2017)

Ikuti tulisan menarik Ika Ningtyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler