x

Iklan

Ika Ningtyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Desember 2019

Senin, 24 April 2023 19:10 WIB

Di Balik Gerbang Pulau Sebatik  (Bagian 1)

Cerita perjalanan ke Pulau Sebatik selama tiga hari

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Speedboat yang saya tumpangi menderu-deru membelah Selat Sebatik, meninggalkan dermaga tradisional Aji Putri. Rumah-rumah panggung yang berdiri di sepanjang pesisir Nunukan, mulai mengecil lalu hilang dari pandangan. 

Saya waswas begitu tahu kapal cepat yang saya tumpangi ini tak menyediakan pelampung.  Tapi, karena hanya ini moda yang paling dekat, saya terpaksa menyimpan rasa cemas itu, sambil merapal doa-doa pendek. Saya meminta Along, nama pengemudi speedboat siang itu, untuk mengurangi kecepatan saat gelombang mulai datang, dan kapal mulai melompat-lompat.

Penyeberangan rakyat Aji Putri, tempat saya berangkat di Sabtu pekan kedua April 2023, menjadi satu-satunya penyeberangan rakyat di pusat kota Kabupaten Nunukan menuju Kecamatan Sebatik Barat, tujuan saya di pulau seberang. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penyeberangan Aji Putri di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Penyeberangan Aji Putri hanya selemparan batu dari Pelabuhan Internasional Tunon Taka. Berada di gang yang sempit, tersembunyi, dan tanpa papan nama. Meski menjadi tempat perlintasan sehari-hari warga, dermaga ini masih dianggap tak resmi oleh pemerintah. 

Pemerintah pusat sebenarnya telah membangun Pelabuhan Sei Jepun 15 kilometer ke arah selatan, jarak yang cukup jauh dari kota. Warga menggunakan pelabuhan itu jika sedang membawa sepeda motor atau mobil untuk menyeberang.

Kurang dari lima belas menit, dermaga Bambangan di Pulau Sebatik telah tampak di pelupuk mata. Makin dekat, makin terlihat belasan kapal cepat lainnya yang berwarna-warni, bersandar menunggu penumpang. Kecemasan saya berangsur hilang. 

Setelah membayar Rp 40 ribu per orang ke pengemudi, saya menapaki dermaga tradisional yang juga terbuat dari kayu seperti di Aji Putri. Beberapa supir rental mobil menyerbu, menawarkan jasa. Saya terpaksa menolak tawaran itu dengan halus karena seorang kawan telah menyediakan mobil untuk berkeliling Pulau Sebatik.

Dermaga Bambangan Pulau Sebatik

Penumpang lain terus mengalir datang dan pergi dari arah Aji Putri maupun Bambangan. Karung-karung barang tampak bertumpuk di dermaga menunggu giliran diangkut. Puluhan mobil untuk disewakan berjejer di area parkir. Saya bungah saat melihat gapura bertuliskan ‘Selamat Datang di Desa Bambangan Kecamatan Sebatik Barat’ telah menyambut. Akhirnya saya tiba setelah perjalanan panjang yang melelahkan dari Jakarta-Kota Tarakan-Nunukan. 

Ya, inilah Pulau Sebatik, pulau terdepan di utara Kalimantan yang  kisahnya selalu terkait dengan sengketa perbatasan. Bahkan sengketa itu telah dimulai sejak era kolonial. Lewat Konvensi London 1891, Belanda dan Inggris  menetapkan garis batas yang membelah Pulau Sebatik menjadi dua. Bagian utara atau Sabah yang saat itu dikuasai Inggris kemudian menjadi milik Malaysia. Sedangkan bagian selatan seluas 246,61 km², yang dulunya dikuasai Belanda, kini adalah milik Indonesia.

Pada rentang 1963-1966, saat Indonesia memprotes pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris atau yang dikenal dengan Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Pulau Sebatik menjadi salah satu area penempatan pasukan militer. Sebuah arsip rekaman tahun 1963 menunjukkan saat tentara Inggris dan Malaysia dari Tawau diterjunkan ke Pulau Sebatik untuk menjaga garis perbatasan. 

Dermaga Bambangan Pulau Sebatik

Usai Mahkamah Internasional memberikan dua pulau di Laut Sulawesi, Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada 2002, Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan Pulau Sebatik dengan membentuk Tim Kelompok Kerja Pembangunan Kelautan dan Perikanan Terpadu Lintas Sektor. 

Sengketa kemudian kembali terjadi pada 7 Maret 2005, saat negeri jiran kembali mengklaim blok Ambalat yang hanya sejarak sekitar 5 mil laut dari Pulau Sebatik, berdasarkan peta laut buatan mereka pada tahun 1979. Untuk menunjukkan dukungan politik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengunjungi Sebatik serta Blok Ambalat.

Berbagai pembangunan memang terasa di Pulau Sebatik seperti jalan mulus melingkari pulau sepanjang 77 kilometer, gedung-gedung sekolah yang kokoh, dan pelabuhan lintas pulau.

Namun di balik rentetan sengketa itu, tak banyak mengubah ikatan sosial dan ekonomi masyarakat Pulau Sebatik dan Sabah Malaysia yang telah berlangsung turun-temurun. Hubungan ekonomi masyarakatnya telah melampaui batas-batas administrasi dan fisik negara. (Bersambung)

Ikuti tulisan menarik Ika Ningtyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB