x

Ilustrasi Kucing. Gambar oleh Bess Hamiti dari Pixabay

Iklan

Joy Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 April 2023

Jumat, 28 April 2023 06:23 WIB

Badan

Perempuan berjaket hitam keluar dari balik pagar rumah. Di tangan kanannya sejinjing tas karton warna lembayung. Setelah memastikan sekelilingnya benar-benar senyap, diselipkannya tas karton ke bawah semak dengan hati pilu menduri. Bibirnya berucap maaf, tetapi tak ada suara yang keluar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perempuan berjaket hitam keluar dari balik pagar rumah. Di tangan kanannya sejinjing tas karton warna lembayung. Waktu itu jam sepuluh malam.

Dari depan rumah dia berbelok ke kiri, menyusuri jalanan kompleks. Tak ada siapa-siapa di sekitar situ. Untunglah. Ditelusurinya tiap-tiap ruas jalan, setengah bersembunyi di kegelapan. Ternyata semua rumah yang tak berpenghuni, pagarnya digembok.

Menyadari tak ada celah dan kesempatan aman, perempuan berjaket hitam melangkah ke luar kompleks, ke jalan besar. Suasana lengang pun berganti menjadi sisa-sisa keramaian kota yang mulai aus. Sudah jam setengah sebelas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sambil menunduk, berharap tak ada yang memperhatikan, dia melewati tukang gorengan yang sedang berkemas pulang dan tukang sate yang masih mengipas. Langkahnya lebar, namun lunglai. Dari balik rambut terurai, perempuan berjaket hitam diam-diam melirik kian kemari, mencari tempat yang bisa dianggap cocok, dan harus yang tersembunyi dari orang.

paper bag grass

Ibu-ibu pemilik warung dan seorang peronda yang dia lewati  tidak tahu kegelisahannya. Yang mereka lihat hanya seorang perempuan berjalan lurus, kepala mengarah ke depan, seperti sudah yakin hendak ke mana. Padahal, di persimpangan ia berbelok ragu. Dia ingat, ada lapangan berpagar tembok di sekitar sana. Peronda dan ibu warung tetap sibuk bergunjing, walau mata mereka tanpa sadar, tanpa konsentrasi, mengikuti perempuan berjaket hitam, satu-satunya objek bergerak di dekat-dekat situ. 

Ia berhenti sebentar di atas jembatan kecil, menatap riak sungai di bawahnya. Sebetulnya tak nampak riak itu, hanya hitam pekat dan bunyi gemericik. Sempat terlintas di benaknya, “Kalau kuakhiri di sini, lebih cepat selesai.” Namun, buru-buru ditepisnya gagasan itu. Malu. Sungkan. Merasa tak tahu diri. “Bisa-bisanya aku memikirkan yang tidak pantas begitu.”

Perempuan berjaket hitam akhirnya tiba di pinggir lapangan. Sekarang jam sebelas malam. Dia memutari temboknya dari luar, mencari sudut paling sepi, paling gelap, paling kosong, supaya bisa menyelinap masuk tanpa ada yang tahu. Karena dia tidak punya muka dan tenaga untuk menjawab, kalau sampai ada yang bertanya,  “Ngapain, neng, malam-malam ke sini?” Kenyataan bahwa seorang perempuan berjalan sendiri tengah malam sudah cukup mencurigakan, apalagi bila dia terlihat masuk ke lapangan kosong, dan apalagi kalau sampai ketahuan niatannya.

Berhasil masuk. Dia sudah di dalam. Namun ternyata lapangan itu dipaving. Perempuan berjaket hitam mulai putus asa. Tapi sebentar. Ada pohon beringin kecil tumbuh di tengah sana. Dia mendekat ke pohon itu, dan benar saja, di bawahnya ada tanah.

Dia berjongkok menyibak-nyibak rumput. Berdiri menendang-nendang tanah. Menengadah, meraih dahan terendah, tetapi tak sampai. Akhirnya dia berjongkok lagi. Tidak ada batang kayu. Tidak ada batu yang cukup pipih. Potongan seng atau besi atau pecahan botol pun tak ada. Maka perempuan itu menggulung lengan jaketnya dan mulai mengorek tanah dengan jemari. Keras. Lima menit, sepuluh menit. Tidak ada hasil.

Sekarang dia berlutut kelelahan. Dengkulnya ngilu dan kepalanya mulai berdenyut karena sejak pagi belum sedikit pun sempat beristirahat, ditambah lagi persoalan malam ini. Dilihatnya sebutir kerikil gepeng. Harapan terakhir. Dengan kerikil itu sekali lagi dia mencoba mengorek tanah. Tidak bisa. Sampai pagi pun tidak akan bisa. Matanya berkaca-kaca.

Dengan gontai dia keluar dari lapangan, masih menenteng tas karton yang tadi. Di pinggiran tembok lapangan ada beberapa gerumbul tumbuhan semak yang tidak terawat. Setelah memastikan sekelilingnya benar-benar senyap, diselipkannya tas karton ke bawah semak dengan hati pilu menduri. Bibirnya berucap maaf, tetapi tak ada suara yang keluar.

Jam dua belas malam, perempuan berjaket hitam melangkah pulang lewat jalan lain. Beberapa puluh meter di belakangnya, tukang gorengan yang tadi berkemas sekarang melintas. “Lho, itu kan anak yang tadi. Ngapain dia dari lapangan, gelap-gelapan, sendirian?” 

Tukang gorengan penasaran. Dia mendekat ke tembok lapangan, tempat dilihatnya perempuan tadi keluar. Tas karton lembayung mengintip di bawah tembok. Tukang gorengan curiga. Anak itu tadi bawa bom? Atau narkoba? Dipungutnya kantong kertas itu dan dibuka. 

Astaghfirullahaladzim!” Tukang gorengan menjerit, suaranya terbang dibawa angin.

Ada apa itu? Peronda dan ibu warung terlonjak. Tergopoh-gopoh keduanya mendatangi sumber suara. “Kenapa, Kang?” seru si peronda. Tukang gorengan hanya bisa menunjuk pada kantong kertas yang sudah terbuka, tergeletak menganga di dekat kakinya. Dua orang yang baru sampai itu melongok ke dalam kantong. Ibu warung memekik lalu mengatupkan tangan ke mulut. Peronda buru-buru memalingkan muka.

Perempuan berjaket hitam tiba di depan pagar kediamannya. Sebuah papan ‘Terima kos putri’ bergoyang-goyang saat pagar itu ditutup. Tempat kos tanpa halaman. Hanya pagar, parkiran motor, dan bangunan rumah. Andai saja rumah kos itu punya halaman bertanah. Andai saja di rumah kos itu ada sekop.

Perempuan berjaket hitam naik ke kamarnya dan menjatuhkan diri ke lantai, terduduk lara di samping ranjang. Sudah jam dua belas lewat. Dengan rasa hampa dipeluknya lutut, ditenggelamkannya wajah ke paha. Ia mulai menangis. Dari isak menjadi sedu. Dari sedu menjadi ratap. Meratapi anak kucingnya yang mati. Mati sakit malam itu, dan tak bisa dikuburkannya.

Memangnya apa yang dapat ia perbuat? Membiarkan badan yang kaku itu terbujur di kamar sampai pagi, dan baru besok minta tolong pemilik kos? Mana mungkin. Tidak kuat mentalnya untuk tinggal semalaman bersama badan beku, apalagi kalau sampai berbau.

Berbau, sungguh kata yang sadis. Sosok hidup yang tadinya disayangi menjadi benda mati yang harus dijauhi. Persis itulah alasannya dia tidak tahan melihat badan. Badan mati itu, seperti barang tapi bukan sembarang barang. Ada mata namun kosong. Pernah dikenal namun seperti bukan dia lagi. Badan, bekas nyawa berada.

Diiringi senggukan tangis, pertanyaannya bergema sampai ke langit, “Apa itu badan? Kalau badan cuma benda mati, mengapa orang hidup memperlakukan badan mati dengan hormat? Kalau benar jiwa itu meninggalkan badan dan tidak berhubungan lagi dengannya, mengapa badan mati tetap dianggap bagian dari sang jiwa? Mengapa tadi rasanya tidak pantas kubuang ke sungai, padahal badan tidak mungkin takut air? Kalau memang badan mati tidak lagi berarti, mengapa tak diperlakukan seperti barang biasa?”

Ya. Apa itu badan? Walau cuma badan kucing, mengapa tukang sampah tak sampai hati melempar tas karton itu ke gerobaknya? Mengapa ibu warung membangunkan suaminya, memintanya mengubur tas karton lembayung di belakang warung, sebelum gerimis datang mengepung?

Karena barangkali, barangkali dalam diri semua orang, mengendap suatu benih keabadian: Pengetahuan tak sadar tentang yang transenden; bahwa yang mati tidak pernah benar-benar mati; bahwa yang pergi dari bumi tetap ada di suatu dimensi; bahwa yang pernah hidup akan tetap hidup, sekalipun badannya membusuk.

 

Ikuti tulisan menarik Joy Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler