x

Iklan

Joy Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 April 2023

Jumat, 28 April 2023 20:24 WIB

Kaus Kaki

Di antara empat ekor itu, satu kucing kelihatan bagus, kaki belakangnya belang putih seperti kaus kaki, mukanya pun masih lugu. Ibu dan anak melenggang lalu. Sepasang mata kuning si kucing bagus mengiring mereka dengan roman misteriusnya yang tanpa ekspresi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tujuh hari sudah Kusiman gelisah tak bisa rebah. Guling kanan, duduk. Guling kiri, duduk lagi. Kacau dia menimbang-nimbang rencana gila yang terbit di kepalanya waktu mendengar kabar bahwa Tuan dan Nyonya Broto akan keluar kota sebulan. Masalahnya, kalau benar-benar maju, ini akan jadi pengalaman pertama buat Kusiman, padahal dia sadar betul, nyalinya tidak segagah otot lengannya yang menyembul dari kaos oblong butut selaku tukang antar galon. Dibaringkan lagi punggungnya sambil menghitung peluang dan resiko. Biar kuli air, jago matematikanya.

 

Lewat setengah dua dini hari berakhirlah duel maut antara Maju lawan Mundur yang bergulat dalam benak Kusiman. Entah nekat atau tekad, terserah mau yang mana, pemuda itu pun ganti busana. Dipilihnya baju yang paling bagus — warnanya hitam, kainnya luwes, gampang buat bergerak. Mengendap-endap dia keluar lalu menyusur jalan belakang, lewat kebun singkong yang gelap pekat. Sandal sepatu sengaja tak dipakai, karena tiada alas kaki yang lebih senyap dan peka selain kulit sendiri. Namun, terpikir juga olehnya untuk pakai kaus kaki. Ah, memang pintar mas yang satu ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Halaman samping rumah Tuan Broto berpendar dengan lampu kecil yang ditinggalkan menyala. Kusiman merapatkan badan ke pagar tembok belakang. Kupingnya disetel ke frekuensi terendah. Hening. Gesit dia menyelinap ke bagian tergelap. Hup! Dengan satu lompatan sang aktor sudah pindah ke balik pagar.

Kebunnya persis seperti yang diingat Kusiman kali terakhir dia masuk ke sana, waktu dimintai tolong yang empunya untuk memangkaskan ranting pohon mangga yang sudah mulai besar. Namun, bukan lewat pohon itu dia naik ke genteng. Kebetulan nyonya sedang membuat rumah kaca. Baru kerangkanya yang jadi. Pipa logam malang melintang, membentuk rak berundak-undak, benar-benar multi guna. Hati Kusiman diam-diam tertawa, juga merasa miris, ironis, "Rak yang kubuatkan ternyata berguna buatku sendiri." Tetapi dia tertawa lagi. “Salah sendiri kaya.”

Kusiman tak tahu kalau jendela samping sudah longgar terbuka.

 

Selesai mencopot kepingan genteng dengan tangan setengah gemetar, diturunkannya badan pelan-pelan, lantas menginjak kuda-kuda. Terasa sarung tangannya agak lembap kena keringat. Kangmas kita ini ambil pose merangkak untuk menyeimbangkan badannya sambil mengatur napas sebentar. Namun segera dia sadar, merayap begini ternyata lebih enak. Aman rasanya punya pegangan erat di tengah gulita.

Bau pesing kencing tikus yang sudah kering tercium di sana-sini, makin tajam karena dikibas gerakan Kusiman. Sesekali si sumber kencing terdengar bercicit-cicit lari melihat spesies raksasa sudah menjajah teritori mereka. Kusiman meringis jijik. Rambut tipisnya ditempeli sarang laba-laba berhias serangga mati. Kaus kaki yang tadinya putih sekarang menjadi abu-abu kena debu.

Meter demi meter dia lalui sambil terus mengira-ngira, “Sekarang aku di atas ruang makan. Maju sedikit lagi pasti ruang kerja Bapak.” Terang dia hapal denah rumah keluarga Broto. Dua minggu sekali nyonya menelepon ke kios galon minta diantarkan air minum.

“Yang ori ya, Mas,” begitu selalu wanti-wantinya. Maka siapa lagi yang mengantar kalau bukan perjaka rupawan yang atletis-tangannya-saja.

“Sekalian dipasang di dispenser ya, Mas.” Jadilah Kusiman masuk ke ujung rumah terdalam, tempat dispenser mahal bersemayam. Begitu ceritanya sampai bagan rumah Broto terpeta di kepala Kusiman.

 

“Ini kayaknya sudah ruang kerja. Nah, di depan itu kamar. Hore! Aku kaya, aku kaya!”

Berisik sekali pikiran Kusiman, melompat-lompat bak kanak-kanak mandi bola.

“Tapi, bagaimana kalau tidak ada uang tunai atau perhiasan? Goblok aku! Kenapa tidak terpikir dari tadi. Kan repot kalau harus memboyong elektronik.”

Langkahnya terhenti sebentar.

“Kecuali kalau misalnya ada yang kecil, kayak HP. Tapi mana mungkin HP ditinggal?”

Otaknya terus bermonolog, degup jantung ikut meramaikan. Rupanya begitulah pergumulan maling amatir yang debut perdana. Pengalaman tak ada, cerita nyata juga tak pernah dengar. Referensi Kusiman cuma dari sinetron.

“Ah, pasti ada emas barang satu dua lah.”

Lalu tungkai-tungkainya bergerak makin percaya diri.

 

Mendadak terbayang di benaknya lembaran lima puluh ribu pemberian Pak Broto setiap kali dirinya dimintai tolong. Belum lagi kue-kue, atau tahu isi berbumbu senyum ramah yang diterimanya tiap kali mengantar galon.

“Apa tidak kasihan? Mereka kan orang baik.” Telapak Kusiman tiba-tiba merinding walau dibalut spandek. Belum terlambat kalau mau mundur. “Tapi biarlah. Salah sendiri kaya.”

 

Di atap yang diyakininya tepat berada di atas kamar tuan rumah, Kusiman meraba-raba, entah apa yang diraba dia pun tak yakin, hanya berpikir bagaimana cara turun ke bawah.

“Coba kita intip dulu, lemari yang tinggi di sebelah mana.”

Baru saja hendak mencongkel, telinganya menangkap sesuatu. Ada suara. Mampus! 

Si amatir menempelkan kuping ke papan atap, jorok sudah tak dirasa lagi. Benar, ada yang bertengkar sayup-sayup.

“Apa kubilang juga!” suara seorang lelaki.

“Tapi nyatanya salah!” suara lelaki lain.

Keduanya saling bentak, makin lama makin jelas, makin keras. Kusiman berasumsi pertengkaran itu pindah dari kamar sebelah ke kamar tepat di bawahnya. Tapi, siapa? Jangan-jangan Broto... 

 

Belum habis herannya Kusiman, samar ada suara lain. Mirip bariton merintih, diselingi rengekan feminin seperti kesakitan. Ada apa di bawah? Keadaan macam apa ini? Syaraf Kusiman bingung harus merespon bagaimana. Bunyi-bunyian yang biasa dia cari dengan susah payah di internet sekarang tersaji gratis di depannya—lebih tepat di bawahnya. Namun, jangankan bisa menikmati, si maling kelimpungan, terombang-ambing antara rasa terjebak, penasaran, kalut, ingin lari, tetapi ingin dengar lebih banyak. Suara bariton perkasa tadi sekarang seperti menggeram.

Macam-macam pikiran Kusiman mengembara liar dibuatnya. Apa ada maling lain mendahului? Jangan-jangan remaja binal yang coba-coba bertualang di rumah kosong? Apa suami istri Broto pulang lebih awal? Atau mungkin, jin? Astaga.

Pikirannya lumpuh, badannya beku. Tak tahu harus berbuat apa, Kusiman pasrah menempelkan kuping makin lekat. Di tengah kepanikan berdentum-dentum, ia masih sadar, dirinya di situ sebagai maling. Maling yang bijak harus kabur kalau ada orang. Ayo. Cepat, cepat!

Dipandu akal sehat yang mulai pulih, perlahan Kusiman merangkak mundur. Sendinya masih kaku karena panik. Debar debur nadinya sekarang lebih riuh daripada dangdut keliling, sampai-sampai dia tak mendengar langkah tikus yang tiba-tiba menerjang lewat betisnya. Refleks dia meronta. Telapak yang dibungkus kaus kaki langsung tergelincir tidak tertahan.

Gubrak! Broool!

 

Badan Kusiman oleng terguling, menimpa papan atap yang langsung ambrol tak sungkan-sungkan. Hanya sepersekian detik, sampai lupa berteriak, tahu-tahu Kusiman sudah mendarat di lantai kamar. Ujung kaus kakinya robek sedikit.

“Maaaoooonnngg!” jeritan nada tinggi sekonyong-konyong menyayat udara.

Kusiman terperanjat. Di depannya, dua kucing garong juga terperanjat dengan punggung melengkung. Seekor betina lari kaget ke kolong ranjang sambil terpeleset-peleset, persis Tom waktu mengejar Jerry di tikungan.

Makin terperanjat lagi Kusiman waktu garong yang satu berseru, “Lho, Man! Kamu di sini juga?!”

Dan Kusiman mengerti ucapan si garong, sejelas bahasa-ibunya sendiri. Kucing garong itu Darto bersama komplotannya, tetangga kampung sebelah.

 

Sehabis fajar, empat kucing melompat keluar dari jendela rumah Broto yang sudah terbuka, dicungkil tiga maling semalam - Darto dan kawan-kawan.

Di antara empat ekor itu, satu kucing kelihatan bagus, kaki belakangnya belang putih seperti kaus kaki, mukanya pun masih lugu. Tanpa suara, seperti normalnya kucing, mereka berpisah di persimpangan. Garong yang besar menuju pasar, yang satunya mengikuti si betina. 

Tinggal kucing bagus sendirian. Langkahnya halus tiada bunyi, persis tadi malam. Hanya pupilnya sekarang membesar mengecil tak keruan mewakili batinnya yang galau.

 

Kampung mulai hidup, manusia dan hewan satu per satu berseliweran dengan urusannya masing-masing. Si kucing bagus melihat kucing gendut peliharaan Bu RT yang biasa melingkar di kursi rotan. Entah bagaimana, sekarang dia tahu makhluk itu ternyata Deni, yang sering menjambret di terminal angkot. Ingatan itu ada begitu saja dalam memorinya. Pun kucing kecil oranye lucu di seberang sana, itu Dewi, bocah mungil yang suka mencopet di pasar.

Kucing bagus berkaus kaki berjalan terhuyung-huyung gamang, meresapi keadaan yang kian lama kian nyata, kian masuk akal. Pelan-pelan dia terduduk di depan warung yang masih tutup.

Tepat saat itu lewatlah seorang ibu muda menggandeng putri kecilnya.

“Mak, kucing itu bagus ya, bulunya kayak pakai kaus kaki.” cerocos si anak. "Kucing itu namanya siapa ya, Mak? Dia lagi apa?"

"Dia berjemur, Nak."

Ibu dan anak melenggang lalu. Sepasang mata kuning si kucing bagus mengiring mereka dengan roman misteriusnya yang tanpa ekspresi.

Hangat sinar matahari menyiram teras warung. Kucing bagus duduk terkantuk-kantuk menikmati partikel cahaya itu. Setengah mimpi setengah sadar, kembali terngiang, "Dia berjemur, Nak."

 

Ah, nyamannya... Kusiman menyelonjorkan kaki, yang sekarang sudah menjadi kaki belakang — dengan kaus kaki abadi yang tak bisa dilepas lagi.

“Nanti kalau warung buka, aku mau menggarong sepotong gerih,” pikirnya.

Rencana itu langsung matang tujuh detik. Tidak perlu ditimbang-timbang lagi. Tidak ada takut-takut lagi. Maklum, dasar kucing.

 

 

Ikuti tulisan menarik Joy Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler