x

Iklan

BungRam

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 30 April 2023 08:04 WIB

10 Dosa Kepala Sekolah yang Sering Tidak Disadari

Tanggungjawab kepala sekolah lebih berat dari kepala rumah tangga, apalagi camat dalam daerah kecil di dalam kota. Kompetensi kepala sekolah meliputi berbagai aspek, mulai personal, sosial, hingga professional. Karena kepala sekolah ya guru, ya pimpinan, ya manajer, bahkan seorang desainer.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjadi kepala sekolah memiliki tantangan tersendiri. Ini bukan profesi yang mudah. Ini adalah pekerjaan dengan stres tinggi yang kebanyakan orang tidak siap untuk menanganinya. Kecuali mereka menjalankannya sekedar formalitas atau sekedar prestise dan lompatan berbuat culas.

Menjadi kepala sekolah tanggungjawabnya lebih berat dari kepala rumah tangga, apalagi camat dalam daerah kecil di dalam kota.

Makanya kompetensi kepala sekolah meliputi berbagai aspek, mulai dari aspek manajerial, aspek personal, sosial, hingga profesional. Karena kepala sekolah ya guru, ya pimpinan, ya manajer, bahkan seorang desainer.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu bahwa seorang kepala sekolah yang sukses akan banyak melakukan berbagai hal secara berbeda, dibanding guru biasa. Tapi ironi dalam berbagai fakta, kepala sekolah sering terjerumus kepada “dosa” akibat inkompetensi atau lack of integrity.

Berikut 10 “dosa” kepala sekolah yang jarang diketahui dalam mengemban tugas dan jabatannya:

  1. Lebih memilih atau suka mempertahankan guru atau bawahan yang tidak berani berpikir kritis.

Guru yang memiliki pemikiran kritis sesungguhnya ibarat serdadu perang yang hebat, yang mampu memperkuat pasukan. Di lembaga sekolah yang memiliki guru-guru berpikiran kritis, dinamika pembelajaran dan motivasi untuk tumbuh berkembang serta peningkatan kualitas peserta didik akan jauh lebih baik dan berkualitas daripada sekolah yang diisi oleh guru “yes man/woman”. Pencari muka dan pemalas, tidak memiliki inisiatif, kecuali nunggu perintah dan intruksi kepala sekolah. Kemudian kepala sekolah menikmati suasana itu, karena ia akan nyaman dan aman tanpa tantangan dan kritikan.

 

  1. Tidak bisa menjadi role model kualitas pendidik yang profesional

Sebagai kepala sekolah, Anda adalah pemimpin puluhan bahkan ratusan atau ribuan calon generasi bangsa yang tinggal dalam satu atap. Setiap orang di sekolah pasti memperhatikan bagaimana Anda menjalankan kepemimpinan sehari-hari. Namun Anda tidak mampu menunjukkan reputasi sebagai pekerja paling keras di lingkungan sekolah Anda. Anda  selalu datang ke sekolah semaunya dan pulang dari sekolah semaunya. Anda hanya menjadi “mandor”, tukang perintah legal bagi orang-orang di sekolah.  Bukan pelayan untuk kemajuan peserta didik, guru dan karyawan.

 

  1. Selalu berpikir di dalam kotak

Jangan pernah membatasi diri Anda dan guru Anda. Kepala sekolah bukanlah seperti follower, hanya mengikuti trend apalagi hanya berpedoman pada pikiran-pikiran lama. Ketika Anda enggan mengerahkan pikiran dan kemauan untuk menemukan cara-cara kreatif untuk memajukan sekolah, mengatasi masalah. Jika Anda selalu senang berada di zona terkungkung, di dalam kotak, di situlah Anda memikul “dosa” profesi dalam pendidikan. 

Kepala sekolah yang hobi berpikir linier, tidak kreatif, tidak berani berpikir out of the box, adalah pimpinan yang hanya akan menutup berbagai potensi dan keunikan peserta didik sebagai insan ciptaan Tuhan yang unik. 

  1. Sulit bekerjasama dan berkolaborasi dengan jaringan yang lebih luas

Sebagai kepala sekolah, Anda harus belajar bekerja dengan semua tipe orang yang berbeda. Setiap orang memiliki kepribadiannya sendiri, dan Anda harus belajar untuk bekerja secara efektif dengan setiap tipe. Kepala sekolah terburuk di zaman ini adalah yang tidak  mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan baik, tidak memiliki keterampilan kolaboratif, kaku, sangat formalistis dan malas mengembangkan relasi profesional dalam berbagai bidang di luar urusan aktifitas sekolah.

     5.  Tidak mampu mendelegasikan dengan tepat

Menjadi kepala sekolah bisa sangat melelahkan. Ini sering diperkuat karena pimpinan sekolah pada dasarnya adalah orang yang suka mengontrol. Mereka memiliki harapan yang tinggi tentang bagaimana hal-hal harus dilakukan sehingga sulit untuk membiarkan orang lain mengambil peran utama. Kepala sekolah yang berhasil dapat melewati ini karena mereka menyadari ada nilai dalam pendelegasian. 

Dosa lain profesi pendidik di level kepala sekolah adalah tidak mampu mendelegasikan kegiatan dengan guru-guru atau orang yang telah dipertimbangkan dengan baik. Hal itu menjadikan kepala sekolah sebagai pusat kekuasaan dan pemegang otoritas tertinggi. Ia menjadi otoriter dan yang sulit percaya kemampuan guru atau karyawan.

  1. Membuat dan menerapkan kebijakan tidak produktif

Setiap kepala sekolah harus menjadi pembuat kebijakan yang mahir. Setiap sekolah berbeda dan memiliki kebutuhan unik mereka sendiri dalam hal kebijakan. Kebijakan bekerja paling baik bila disusun dan ditegakkan sedemikian rupa sehingga memberikan dampak dan mendorong produktifitas kerja seluruh civitas lembaga.

Banyak kepala sekolah yang memimpin dengan sedikit ide dan kemampuan analisis dalam membuat kebijakan. Di lembaga swasta bahkan banyak kepala sekolah yang hanya jadi pesuruh yayasan. Tidak memiliki kemerdekaan. Dampak jangka panjangnya kinerja guru dan karyawan hanya terbangun berdasarkan suka dan tidak suka oleh atasan. Lebih buruk lagi disiplin dan integritas guru hilang kecuali karena motivasi materi dan pencitraan.

  1. Tidak mampu mencari solusi masalah untuk jangka panjang

Penyelesaian masalah yang cepat jarang merupakan solusi yang tepat. Solusi jangka panjang membutuhkan lebih banyak pemikiran, waktu dan usaha di awal. Namun, itu akan menghemat waktu dan memberikan banyak hal positif dalam jangka panjang.

Dosa berikutnya adalah,  kepala sekolah sering ingin segala sesuatu instan dan kerapkali berurusan dengan uang. Masalah yang biasanya dihadapi sekolah seperti pelayanan, komplain dan urusan kebijakan standar mutu pendidikan tidak dicarikan solusinya dengan skala yang lebih komprehensip dan berjangka panjang. Alih-alih menyiapkan diri dengan sikap gigih, lelah dan teliti sesuai aturan, kepala sekolah memilih solusi lain untuk kepentingan sesaat.

Satu contoh dan menjadi rahasia umum; berapa banyak momen akreditasi sekolah sebagai kalibrasi standarisasi pendidikan tidak disiapkan dengan seksama, dan cenderung memilih “jalan pintas” melalui pemberian gratifikasi kepada asesor yang juga lemah dan tidak memiliki kinerja profesional. Akreditasi sekolah seperti “jual beli” angka dan nilai semata.

 

  1. Bukan seorang pembelajar

Sikap pembelajar adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang tenaga pendidik, apalagi bagi seorang kepala sekolah. Kepala sekolah tidak harus ahli di berbagai bidang, namun ia adalah lokomotif semua gerbong yang membawa warga sekolah menuju tujuan pendidikan. Dengan kemampuan yang dimiliki dan sikap pembelajar, berbagai ‘tools’, perkembangan informasi, perkembangan teknologi dalam mengelola dan mengembangkan kualitas lembaga akan dapat diupayakan dan dipahami.

Dosa kepala sekolah yang malas belajar lebih besar dari guru yang tidak mampu bertugas dalam kegiatan mengajar. Para siswa sebagai korban kemalasan kepala sekolah akan menanggung akibat dari menurunnya kompetensi mereka dalam miliu yang tidak kondusif untuk tumbuh kembang diri mereka. 

  1. Tidak memiliki integritas

Ini adalah dosa yang sangat berbahaya untuk profesi pendidikan dan dalam lingkungan akademik yang juga sering tidak disadari kerap ada di dalam kerja sehari-hari kepala sekolah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian integritas adalah mutu, sifat, dan keadaan yang menggambarkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan dan kejujuran.

Berdasarkan data ICW (Indonesia Corruption Watch) setidaknya dari tahun 2016 hingga 2021 semester 1,  pendidikan masuk dalam lima besar korupsi berdasarkan sektor, bersama dengan sektor anggaran desa, transportasi, dan perbankan. Meski terdapat faktor keaktifan dan fokus aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan, data tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan masih menjadi ladang korupsi.

Pejabat di tingkat kabupaten kota hingga kecamatan dan kepala sekolah menjadi sorotan yang teridentifikasi pelaku korupsi dana pendidikan, baik dana BOP, bantuan sarana prasarana sekolah hingga buku atau alat elektronik.

Ketiadaan integritas lainnya yang umum terjadi di bawah kerja kepala sekolah adalah kecurangan dalam ujian sekolah hingga penerimaan peserta didik baru. Hingga kemudian pemerintah melakukan perubahan-perubahan dalam sistem penerimaan peserta didik baru.

  1. Tidak memiliki program prioritas pengembangan kompetensi guru berkelanjutan

Kepala sekolah yang miskin program prioritas untuk pengembangan kompetemsi guru adalah tanda keburukan manajerial dan leadership. Dosa ini membawa kepada pintu dosa selanjutnya, karena disorientasi kepemimpinan dan penurunan kompetensi tenaga pendidik berikutnya akan melahirkan kepala-kepala sekolah yang lebih buruk dari sebelumnya. 

Lembaga pendidikan membutuhkan kaderisasi kepempinan melebihi kaderisasi organisasi politik. Jika kepala sekolah tidak punya visi untuk kemajuan dan peningkatan kompetensi guru, maka dosa itu menjadi melembaga dan mengancam kualitas pendidikan secara nasional.

Ikuti tulisan menarik BungRam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB