x

Iklan

Salma Zakiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Mei 2023

Selasa, 2 Mei 2023 13:26 WIB

Filsafat Kehidupan dalam Novel Merahnya Merah

Novel Merahnya Merah tidak hanya menjual cerita percintaan, cerita kelam dari seorang gelandangan, dan cerita erotis dari wanita malam, namun juga nilai-nilai yang mengandung pengetahuan seputar filsafat kehidupan serta kehidupan lampau semasa revolusi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Identitas Buku

Judul: Merahnya Merah

Penulis: Iwan Simatupang

Penerbit: PT Toko Gunung Agung

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Edisi: Cetakan ke 14, Mei 2002

Tebal: 163 halaman

ISBN: 979-8563-39-5

Merahnya Merah menjadi novel pertama yang diterbitkan oleh Iwan Simatupang. Novel ini menuangkan pemikiran-pemikiran filosofis yang disampaikan oleh perspektif seorang gelandangan. Dengan menggunakan latar cerita dari kehidupan kelam gelandangan, novel ini sukses menciptakan suasana pelik ketika membaca kisahnya. Merahnya Merah mengangkat kisah cinta segita yang dialami oleh kalangan gelandangan.

Selain alur kisahnya menggunakan kisah percintaan, novel ini juga membumbui kisahnya dengan pemikiran filsafat kehidupan yang disampaikan oleh para tokoh didalam novel ini, melalui perasaan, pikiran, dan tindakannya dalam bentuk filsafat yang dipersonifikasikan. Gaya bahasa dalam novel ini memang cukup berat dan rumit, namun tidak meninggalkan kesan ‘membosankan’ ketika membacanya. Dengan kemahirannya bermain kata, Iwan Simatupang berhasil menyeimbangkan antara kisah gelandangan itu dengan pemikiran seputar filsafatnya.

Merahnya Merah dibuka dengan keadaan tokoh cerita yang dikenal dengan “Tokoh Kita” dalam keadaan nanah yang meleleh dan jaringan daging utuh yang mulai menguning. Tokoh Kita pada awal cerita memang memiliki borok dikakinya, borok yang sudah lama menghinggapi kakinya dan tidak mau sembuh, walau sudah diberi berbagai macam obat. Borok itu memberikan ciri khas Tokoh Kita, si gelandangan jalanan.

Anehnya, walau menjadi seorang gelandangan, Tokoh Kita memiliki daya tarik tersendiri, ia seperti bukan gelandangan biasa, wajahnya tampan, bertubuh tegap, dengan tata rambut yang selaras dengannya. Sebelum revolusi, Tokoh Kita merupakan calon rahib. Setelah revolusi, ia menjadi komandan kompi, dan diakhir revolusi, ia pun menjadi algojo yang ditakuti. Sayang sekali, pada akhir revolusi Tokoh Kita masuk rumah sakit jiwa. Namun, ia berhasil sembuh dari kegilaannya dan memilih menjadi gelandangan jalanan.

Melalui novel ini, Iwan ingin menyampaikan berbagai pesan kehidupan, salah satunya seperti saat Tokoh Kita menjadi seorang algojo yang harus memenggal kepala terdakwa menggunakan samurainya. Sebelum memberikan hukuman itu, Tokoh Kita memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk bertobat sebelum menemui ajalnya. Bagi mereka yang tidak ingin bersujud untuk terakhir kalinya, Tokoh kita tidak akan segan memberikan tendangan dan pukulan kepada mereka sampai mereka mau sembahyang.  Tak heran, Tokoh Kita dikenal kejam dan tegas sebagai komandan.

    

Cinta Segitiga dalam Merahnya Merah

Selayaknya novel pada umumnya, Merahnya Merah juga memiliki kisah cinta didalamnya. Kisah cinta segitiga yang dialami oleh Tokoh Kita oleh dua orang wanita. Wanita-wanita ini bernama Fifi dan Maria.  Fifi merupakan wanita cilik berusia 14 tahun, yang digambarkan dengan memiliki rambut yang hitam pekat, matanya yang sayu, bibirnya yang mungil, hidungnya yang mancung, dan buah dadanya yang berisi. Fifi menyukai Tokoh Kita. Namun, Maria juga memiliki perasaan terhadap Tokoh Kita dan Maria yang lebih dulu lebih mengenal Tokoh Kita, Maria yang juga lebih dulu ditiduri Tokoh Kita.

Maria digambarkan sebagai wanita muda yang memiliki tubuh besar, montok, berkulit hitam, rambut yang keriting kecil-kecil, dan memiliki 4 gigi emas, 2 di rahang atas serta 2 di rahang bawah. Kedua wanita itu memiliki perasaan terhadap Tokoh Kita, namun Tokoh Kita memiliki perasaan terhadap Fifi, bukan Maria. Akibatnya, timbullah perasaan cemburu oleh Maria terhadap Fifi.

Maria dan Fifi adalah gelandangan wanita yang dapat mengeksploitasi arti dan nilai dari remang dan kelamnya malam, mereka pandai menyambar birahi laki-laki kelas dompet tipis dengan memperlihakan pupur dan gincu kelas rendah dan pakaian rombengan dan dekil. Walau kulit mereka dipenuhi bopeng dan seperti kurang vitamin, mereka menjadi gelandangan wanita yang paling laku dibandingkan dengan gelandangan lain. Maria yang mahir melayani lelaki penuh birahi dan Fifi wanita cilik yang memiliki wajah hitam manis. 

Pertemuan yang Ditakdirkan untuk Perpisahan

Cerita sampai pada titik klimaks pada saat Fifi hilang, kemudian disusul oleh Tokoh Kita dan Maria. Sebelum Tokoh Kita menghilang, ia mengerahkan anak buahnya, yang kini bekerja sebagai aparat untuk mencari Fifi yang menghilang. Namun, hasilnya nihil, selama sebulan lebih Fifi tak kunjung ditemukan. Tokoh Kita menyerah, ia memutuskan pergi jauh dan menghilang lebih dari sebulan. Maria yang merasa kehilangan dengan sosok yang ia cintai pun merasa putus asa, ia pun juga memutuskan menghilang dari dunia nya dan memutuskan pergi ke gereja di tengah hutan.

Merahnya Merah memiliki ending yang cukup tidak terduga. Tokoh Kita pada akhirnya kembali dan menjelaskan semuanya. Namun, ia dibacok oleh kenalannya saat itu, ia dibacok hingga kepalanya terpisah dari badannya. Sebelum kematiannya, ia juga menjelaskan kemana Maria dan Fifi. Ia menjelaskan bahwa Maria kini menjadi seorang biarawati dan mengabdi di Gereja, Maria mengaku kepada Tokoh Kita bahwa ia membunuh Fifi. Jenazah Fifi tak ditemukan, hingga semua nya berusaha mengikhlaskan karena Fifi tidak memiliki keluarga, sehingga tidak ada yang menuntut kasus Fifi. Mau bagaimana lagi, Fifi hanyalah seorang gelandangan yang tidak memiliki siapa-siapa dihidupnya, kecuali Tokoh Kita.

Novel Merahnya Merah memberikan sebuah pelajaran untuk kita tentang perpisahan, penderitaan dan kenikmatan dari sebuah percintaan, pejuang perdamaian, kaum gelandangan, pemberontakan, serta keikhlasan. Bagi Tokoh Kita, “Bertemu adalah untuk berpisah, tapi berpisah untuk apa?” Merahnya Merah sangat layak untuk diberikan tepuk tangan, novel ini tidak hanya menjual cerita percintaan, cerita kelam dari seorang gelandangan, dan cerita erotis dari wanita malam, namun juga nilai-nilai yang mengandung pengetahuan seputar filsafat kehidupan serta kehidupan lampau semasa revolusi.  

Ikuti tulisan menarik Salma Zakiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler