x

Pesta Demokrasi

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Kamis, 4 Mei 2023 13:04 WIB

Pesta yang Penuh Redup?

Pesta Demokrasi ini isyaratkan peluang dan kesempatan. Ada marwah panggilan demi berbakti bagi nusa dan bangsa (rakyat). Siapa pun yang penuhi syarat-syarat punya hak untuk berlomba dalam pesta rakyat ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pesta yang Penuh Redup?
P. Kons Beo, SVD

"DEMOKRASI bukan hanya untuk memilih; itu adalah HAK untuk hidup bermartabat"
(Naomi Klein - Penulis, Aktivis Sosial, Kanada)

Pesta itu, sederhananya, adalah gejolak hati berbunga. Terbayang suasana ceriah. Keramaian jadi sulit terbendung. Pesta adalah kenikmatan santapan. Semua mesti pada puas. Membekaskan kenangan yang 'tidak ada obat memang.'

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Demi suksesnya pesta itu tentu panitia mesti dibentuk. Pesta sebagai sebuah acara sepantasnya dirancang sejadinya. Mulai awal persiapannya hingga hari H-nya nanti. Intinya, iya, keberhasilan dari pesta itu sendiri. Singkatnya, berjalan baik dan bikin cerita indah serta mengesankan.

Sebaliknya, yang ditakutkan adalah bila pesta jadi ajang tak sedap. Ini gara-gara area pesta kekurangan tempat. Ada lagi kisah tentang urusan kampung tengah. Di situ ada kisah nasi mentah, aneka lauk kurang. Lalu ada lagi MC yang kurang kocak dan kaku, plus lagi sound system dengan sajian lagu yang tak mengandung umpan. Alam pesta tentu jadi gersang dan membosankan.

Soal undangan pesta? Ini bukan hanya soal membludaknya tenda pesta. Tapi juga tentang siapa-siapa yang tak boleh dikasih tahu atau tidak boleh diundang.

Maklum! Hidup di masyarakat atau katakan saja dalam keluarga besar ada saja selalu  modal kuat atau potensi tebal untuk saling tidak baku bae atau tidak baku enak. Mulai dari soal warisan, batas halaman rumah atau sawah. Bisa juga karena kecemburuan sosial. Tidak lupa dengan apa disebut salah bahasa, salah kata, omong nama yang semuanya dirawat dalam dendam. Belum lagi kalau di lingkungan masyarakat itu ada yang trampil dan lincah sekali sosok sana, sosok sini. Ujung-ujungnya, tidak ada 'baku undang sudah.

Tak hanya itu, Bro! Ada soal lain lagi. Bayangkan juga dengan munculnya sekelompok orang tak diundang. Seorang sobat saya pernah bercerita dari satu kisah nyata di satu pesta di sebuah kampung (nama kampung disenyapkan). 

Para begal pesta ini, nekad masuk tenda acara. Gerombolan ini bernyali karena sudah cas memang di luar. Maksudnya miras duluan. Kini tinggal datang cari makan di segala sudut tenda pesta. Sayangnya, semua serba kurang bahkan habis. Dan Tuan pesta pun diteror, "Woeeee, kalo modal kurang, kau jangan nekat bikin pesta." Sambil sumpah serapah. Adegan berikutnya, kursi-kursi melayang. Onar, gaduh, kocar kacir tak terelak.

Hari-hari berikutnya di akhir perhelatan? Ekonomi pesta ditakar. Neraca rugi laba dikalkulasi. Mana pengeluaran wajib, mana yan terpaksa harus dibayar perlengkapan ini itu. Ini tentang barang pinjaman tetek bengek. Sebab ada yang rusak atau hilang. Pesta yang berujung minus. Katanya, maka bersiap-siaplah bakal disergap para penagih utang. Jika tak teratasi gelombang 'kepikiran dan rasa sesak di dada' bakal mendera. Masih ada lagi efek miring lain.

Kisah redup dan kurang sedap dari pesta itu, jadi obyek empuk para lawan-musuh dari tuan pesta. Jelas jadi bahan cibiran, propaganda, jadi isu sana sini. Semua diawali dengan tanya yang pura-pura, "Sudah dengar kah acara pesta kemarin malam tu?" Dan setiap pembenci mulai berlomba sumbang versi nyinyirnya sendiri-sendiri. Soal benar atau tidak, tak penting. Intinya harus sampai  rasa puas dan nikmat bicara tentang kemalangan sesama itu.

Tapi, mari lompat ke Pilpres, Pilgub, pilkada, pilwakot atau pun pileg. Ini, katanya, adalah ajang Pesta Demokrasi. Rakyat diundang untuk tunjukan wibawa suaranya: memilih para pemimpin. Ini demi kelangsungan hidup Bangsa dan Negara tercinta.

Pesta Demokrasi ini isyaratkan peluang dan kesempatan. Ada marwah panggilan demi berbakti bagi nusa dan bangsa (rakyat). Siapa pun yang penuhi syarat-syarat punya hak untuk 'berlomba' dalam pesta rakyat ini.

Tapi pesta demokrasi ini berbau kompetitif. Intinya siapa yang bakal jadi pemenangnya. Para elit partai mesti putar otak berzigzag sana sini. Agar tak nyonyor di hasil  akhirnya. Semuanya penuh perhitungan. Licin tapi terukur.

Di level Pilpres ada konsultan politik yang punya aura kerja meditatif-kontemplatif. Dalam hening ia dan tim terbatas membaca tanda-tanda zaman di lapangan (rakyat-pemilih), menganalisa manuver lawan dan lalu membisikkan strategi dan daya kerja jitu. Tak peduli entah strategi itu gelap dan pengap sekalipun. Sebab ada keyakinan politik tak ada hubungannya dengan moral dan nilai. 

Tentu tak dililupa daya kerja para buzzer. Penuh piawai merancang konten. Para buzzer tak punya zona teritorial tertentu. Cukuplah pada area psikologi massa. Yang disanjung pasti dipuji selangit. Yang dianggap lawan ditonjok sejadinya.

Zona buzzer itu karib dengan iklim glorifikasi, pembunuhan kharakter, fitnah, hoax dan segala berita atau narasi bohong dan counter hoax. Intinya pada cuci otak massa. Lalu dijejali dengan bongkahan asap emosi yang melahirkan reaksi rasa di taraf terendah. 

Pada titiknya, tak dilupa peran pragmatis tim sukses( timses). Tim multi peran ini tahu persis di mana zona lumbung suara, area abu-abu, dan di mana area tanpa harapan. Timses punya ketrampilan praktis untuk pendekatan door to door. Mereka pun punya catatan lengkap akan konstituen, dan bahkan bisa pastikan calonnya  bakal menang atau sulit menang untuk tak dikatakan kalah, sebelum suara resmi pengumuman KPU. 

Bagaimana pun pesta demokrasi ini ibarat satu ajang peperangan. Ada harapan untuk menang. Namun siap hatilah untuk tidak beruntung. Bisa jadi karena lawan curang, calon kurang OK dan minus bonum-plus malum-nya pada track record. Atau juga karena sponsor atau timses yang main dua kaki. Demi kesempatan cari untungnya juga.

Pada titiknya nanti Pesta Rakyat ini akhirnya mesti dikalkulasi. Jasa dan pengorbanan diperhitungkan. Alhamdulilah bila sudah diantisipasi dengan modal tebal dan kuat.
Jika tidak, ya itu tadi, kepala sakit karena 'harus bayar dan tutup utang bagaimana?'

Ini belum lagi pada isu dampak relasional. Sebab karena 'isi pilgub, pilkada, pileg' yang berseberangan, kita semakin menjauh. Hilanglah spontanitas bertegur sapa, apalagi untuk saling berkunjung. Sudah tak mungkin!

By the way, kiranya seperti apa wawasan kebangasaan dan citra Indonesia yang bakal ditawarkan Anis Baswedan, Prabowo Subiyanto dan Ganjar Pranowo andaikan bertiga jadi calon resmi presiden RI 2024 - 2029?

Bagaimana pun Indonesia tetap punya falsafah hidup yang ber-Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Itulah spirit utama kebangsaan dan Negara.

Kata-kata Naomi Klein ingatkan kita untuk tidak hanya sekedar memilih karena pesta demokrasi. Tapi memilih itu adalah hak untuk hidup bermartabat. Setiap orang mesti punya intuisi sekiranya calon mana yang miliki harapan kokoh untuk membawa bangsa ini ke arah hidup yang bermatabat?

Verbo Dei Amorem Spiranti


Villa Sandra - Portuense
ROMA

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler