x

Aksi hari bumi 350.org Indonesia di 2022

Iklan

Cak Daus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Juli 2021

Senin, 15 Mei 2023 07:11 WIB

JETP, Transisi Energi atau Kolonialisme Hijau?

Melihat pendanaan transisi energi yang berbasiskan utang dan upaya mengadopsi solusi palsu dalam JETP, publik bisa menilai dengan jernih apakah skema pendanaan itu murni untuk transisi energi atau ada agenda kolonialisme berlabel hijau? Lantas siapa yang diuntungkan dan dirugikan bila program JETP merupakan bagian dari kolonialisme hijau?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

April tahun ini, sebagian besar wilayah Asia mengalami gelombang panas. Di Thailand misalnya, dikabarkan bahwa di akhir April, suhu terpanas mencapai 45,4 derajat celsius. Sementara di Dhaka, Ibu Kota Bangladesh, suhu panas tercatat mencapai lebih dari 40 derajat Celsius. Ini menjadi hari terpanas selama 56 tahun di Dhaka.

Gelombang panas yang melanda Asia bukan hanya terjadi saat ini saja. Data dari World Meteorological Organization (WMO) mencatat bahwa Asia mulai mengalami gelombang panas pada 2015. Pada tahun itu suhu terpanas mencapai 54 derajat celsius.

Seperti ditulis di laman Energy Education University of Calgary, gelombang panas adalah periode cuaca panas ekstrem dan umumnya berlangsung selama dua hari atau lebih. Kenapa gelombang panas sering terjadi akhir-akhir ini?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Laporan IPCC (ntergovernmental Panel on Climate Change) pada 2014 telah memperingatkan bahwa suhu permukaan rata-rata Bumi berada pada 1,2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Berdasarkan kondisi saat ini, Bumi akan menghangat hingga suhu  1,6 derajat Celsius. Krisis iklim sedang terjadi di bumi ini.

Krisis iklim juga terjadi di Indonesia. Menurut tim peneliti BRIN, telah terjadi perubahan iklim di Indonesia selama 19 tahun yaitu 2001-2019. Durasi musim hujan lebih panjang di beberapa wilayah selatan di Indonesia. Banjir, tanah longsor hingga gagal panen adalah dampak nyata dari krisis iklim itu. Kerugian ekonomi pun tak terelakan. Hasil kajian dari Kementerian PPN/Bappenas  menunjukkan Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024.

Di tengah ancaman krisis iklim itulah, di sela-sela KTT G20, pemerintah Indonesia berhasil menggalang pendanaan transisi energi melalui skema JETP (Just Energy Transition Partnership) senilai US$ 20 miliar atau Rp 310 triliun. Skema pendanaan itu dimotori Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Sebelum Indonesia, Afrika Selatan juga menerima pendanaan melalui skema JETP. Pertanyaannya kemudian adalah benarkah negara-negara industri maju yang tergabung dalam G7 memiliki niat baik membiayai transisi energi di negara-negara berkembang seperti Indonesia?

Keraguan terhadap niat baik negara-negara G7 yang dimotori Amerika Serikat dan Jepang didasarkan pada dua argumentasi dasar. Pertama, jejak ekologi Amerika Serikat dan Jepang dalam krisis iklim sangatlah buruk. Data dari Global Carbon Project via Our World mengungkapkan sejak tahun 1750 hingga 2020, Amerika Serikat menempati peringkat pertama (24,5%) emisi karbon dari energi fosil dan industri semen. Sementara Jepang menduduki peringkat ke-6 (3,9%). Pertanyaannya, kenapa mereka lebih suka mendanai transisi energi di negara-negara berkembang bukanya menurunkan emisi gas rumah kaca di negaranya sendiri?

Kedua, pendanaan JETP bukan merupakan hibah dari negara-negara G7 kepada negara-negara berkembang. Komposisi pendanaan JETP menggunakan campuran hibah, pinjaman lunak, pinjaman dengan sesuai suku bunga pasar, jaminan, dan investasi.

Lantas, berapa persisnya komposisi dana hibah dan utang luar negeri dalam JETP? Jawabnya, belum jelas. Hingga artikel ini ditulis, pemerintah belum membuka informasi kepada publik terkait dengan komposisi dana JETP tersebut. Namun, bila berkaca pada Afrika Selatan, komposisi dana JETP didominasi oleh utang luar negeri. Porsi dana hibah di skema JETP Afrika Selatan kurang dari 3%. Jadi kita harus mengubur mimpi bahwa JETP didasarkan pada niat baik negara-negara G7 untuk membiayai transisi energi di negara-negara berkembang.

Ketiga, potensi penggunaan solusi palsu transisi energi dalam JETP. Komitmen negara-negara G7 terhadap transisi energi tidak sekuat yang dibayangkan banyak pihak. Jepang, misalnya masih terus mempromosikan co-firing amonia dan hidrogen untuk membenarkan penggunaan berkelanjutan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas setelah tahun 2030. Jepang juga masih membiayai proyek batu bara luar negeri di negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Bahkan kesepakatan transisi energi Jepang dengan Indonesia tidak mempersoalkan penggunaan gas sebagai bahan bakar transisi.

Celakanya, promosi Jepang, sebagai salah satu negara G7, terhadap solusi palsu berupa gas itu, disambut baik oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Pada Februari 2023, tak lama setelah peluncuran Sekretariat JETP, pemerintah melalui Kementerian ESDM, mengungkapkan mengkaji untuk mengusulkan gasifikasi sebagai program yang bisa didanai JETP. Padahal gas adalah bagian dari energi fosil penyebab krisis iklim.

Wacana untuk membiyai solusi palsu untuk transisi energi terus berlanjut. Setelah wacana pengguanan gas masuk dalam proyek yang didanai JETP, Asian Development Bank (ADB), lembaga bisnis bantuan yang mendukung penuh Sekretariat JETP, mempublikasikan iklan untuk rekrurmen staf yang mengisi beberapa posisi di sekretariat tersebut. Dalam iklan itu, disebutkan bahwa capaian salah satu posisi puncak di Sekretariat JETP adalah menyukseskan program prioritas transisi energi JETP. Salah satu program prioritasnya adalah CCS (Carbon Capture and Sequestration).  Apa itu CCS?

CCS merupakan salah satu teknologi yang diklaim mampu memitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Sekilas tidak ada persoalan dengan teknologi CCS ini. Namun, bila ditelisik lebih jauh lagi, CCS merupakan solusi palsu transisi energi. Penggunaan CCS akan memperpanjang penggunaan energi fosil. Transisi menuju energi terbarukan akan diganjal dengan penggunaan teknologi CCS.

Bukan hanya itu, CCS menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) lainnya. CCS menghasilkan emisinya sendiri, yang sering tidak diperhitungkan karena energi yang dikonsumsi dalam proses penangkapan. Laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengungkapkan bahwa kemampuan CCS untuk memberikan pengurangan emisi yang berarti dalam dekade berikutnya sangatlah rendah, sementara biayanya akan sangat tinggi.

Publik tentu akan dirugikan bila transisi energi dalam JETP memaksakan solusi palsu CCS dalam proyek yang akan dibiayainya. Publik, melalui pajaknya, akan ikut membayar utang luar negeri untuk membiayai penggunaan teknologi CCS yang tidak efektif menurunkan emisi GRK ini.

Pertanyaan berikutnya adalah benarkah JETP merupakan program transisi energi atau bentuk kolonialisme baru dengan label hijau? Untuk menjawabnya ada baiknya kita melihat terlebih dahulu pengertian kolonialisme. Dilansir dari buku “Indonesia, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (2014)”, kolonialisme ditafsirkan sebagai upaya pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya. Adapun tujuannya adalah dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut.

Melihat pendanaan transisi energi yang berbasiskan utang dan upaya mengadopsi solusi palsu dalam JETP, publik bisa menilai dengan jernih apakah skema pendanaan itu murni untuk transisi energi atau ada agenda kolonialisme berlabel hijau? Lantas siapa yang diuntungkan dan dirugikan bila program JETP merupakan bagian dari kolonialisme hijau?

Segelintir elite ekonomi-politik di Indonesia, sebagai komprador tentunya menjadi pihak yang diuntungkan bila JETP adalah bagian dari kolonialisme hijau. Sebagaian dari mereka adalah pemilik modal di industry energi fosil di Indonesia. Diadopsinya solusi palsu transisi energi akan mempertahankan bisnis energi kotor mereka. Para pemilik modal di negara-negara maju juga menjadi pihak yang diuntungkan, karena mereka mendapatkan jaminan keamanan atas pasokan energi untuk industry mereka.

Sementara, publik sebagai pembayar pajak menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka harus tetap membayar utang untuk membiayai proyek transisi energi yang gagal akibat mengadopsi solusi palsu.

Kita tentu tidak ingin semua itu terjadi. Sebagai pembayar pajak, kita harus bersuara dengan sangat keras agar skema JETP tidak menjadi bagian dari kolonialisme hijau yang merugikan publik. Publik tidak boleh diam. Sejarah mencatat, keberhasilan kolonialisme di Indonesia karena publik diam dan tidak melakukan perlawanan sejak awal-awal kolonialisme menginjakan kakinya di bumi pertiwi.  




 

Ikuti tulisan menarik Cak Daus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB