x

Iklan

Em Fardhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Senin, 15 Mei 2023 16:42 WIB

Terbelenggu Permainan Setan

Sebuah cerpen moral kehidupan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

       Kurebahkan badanku dengan kasar ke atas kursi sofa yang sudah sobek dan memudar warnanya itu. Kurasakan tubuhku sangat letih, tenagaku seperti hampir terkuras semua.

 

Pekerjaan hari ini sangat melelahkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kuraih remot tv dan kunyalakan tv butut itu, bermaksud mencari sebuah hiburan setelah seharian lelah bekerja.

 

Perlahan muncul tayangan iklan dari sebuah produk minuman dari layar televisi. Kutaruh sekenanya remot dan mata kupejamkan sesaat. Merasakan betapa pedih kehidupan ini.

 

Ya, pedih, bahkan sangat pedih. Namun, aku sadar, sangat sadar bahwa semua kepedihan ini adalah ulahku sendiri. 

 

Kulirik layar televisi lagi dengan malas. Kini tayangan berubah menjadi sebuah acara talkshow. Terus kutonton acara itu sampai kulihat acara televisi itu mendatangkan seorang bintang tamu yang seorang motivator. Dari layar kulihat tokoh itu berbicara menggebu-gebu tentang kesuksesannya dari sebuah kebangkrutan. ia menceritakan kisah masa-masa sulitnya sampai kemudian ia kini bangkit dan berhasil lagi.

 

Aku tersenyum. Bukan senyum karena merasa terinspirasi dari tayangan itu, tapi lebih tepatnya tersenyum miris kepada diriku sendiri. Tersenyum atas kebodohan, ketololanku sendiri. Di masa lalu.

 

Kubiarkan layar televisi tetap menyala dengan menampilkan motivator inspiratif itu terus mengoceh. Aku bangkit dari ranjang, copot baju, dan bersiap untuk mandi. Namun, dari luar kemudian kudengar suara-suara riuh anak kecil yang heboh. Aku buka sedikit tirai jendela. Kulihat beberapa anak kecil yang aku kenal tengah memperebutkan bola dengan gesit.

 

Kubuka pintu dan melihat sebentar anak-anak itu.

 

"Om Aryo, ayo sini main bola lagi. Seru sekali, Om, bolanya baru beli tadi siang, dibeliin Nenek," ujar seorang anak yang kukenal bernama Andi begitu melihat kehadiranku menontonnya. Andi ini tetanggaku, bapak ibunya sudah tiada, kini ia hanya hidup bersama neneknya.

 

Sore begini memang rame di depan rumah kontrakanku anak-anak bermain bola.

 

"Kapan-kapan saja, ya, Om capek. Lanjutkan main saja tapi jangan teriak-teriak, ya. Om mau istirahat," jawabku sambil tersenyum.

 

Lalu anak itu kembali bermain dengan teman-temanya. Terlihat sangat riang.

 

Aku tersenyum lagi. Dulu saat anak-anak, kebahagiaan itu terasa mudah untuk aku dapatkan. Terlintas keinginan untuk menjadi anak-anak lagi, yang tidak harus terbebani dengan tanggung jawab ini itu, dramatika hidup dan tetek bengeknya.

 

Aku duduk. Kunyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Kulihat bagaimana anak-anak itu tertawa riang. Cukup lama aku duduk sembari menikmati anak-anak kecil itu bermain bola.

 

"Ayo pada mandi dulu, sudah jam 5 lebih, bentar lagi Magrib. Besok lagi mainnya," tiba-tiba seorang wanita datang dan berseru kepada anak-anak itu. 

 

Aku menganggukkan kepala, pertanda menyapanya. Ia balas mengangguk. Dia ibunya Iqbal, temannya Andi, juga tetanggaku.

 

Lalu kulihat Iqbal dituntunnya pulang, kemudian Andi ikut bergegas diikuti beberapa kawan-kawannya.

 

"Om, Aryo. Kami pulang, ya," teriak anak-anak itu kepadaku hampir bersamaan.

 

Aku hanya mengangguk sembari melambaikan tangan sekenanya.

 

Tiba-tiba mataku menghangat, lalu buru-buru aku usap sebelum benar-benar air mata itu jatuh. Ada rasa sesak di dalam sini. Aku merindukan seseorang. Yah, seseorang yang yang sangat aku sayangi, tetapi aku tidak boleh menemuinya lagi. Entah bagaimana aku mulai menjelaskan semuanya. 'Pasti sekarang dia sudah seumuran mereka' batinku. Mengingat seseorang yang sangat aku rindukan.

 

Setelah anak-anak itu pergi, suasana menjadi sepi. Hanya ada suara samar-samar tetangga sedang masak atau entah melakukan apa. Sesekali aku mengangguk membalas sapaan tetangga-tetanggaku yang lewat.

 

Kucecak rokok yang kupegang di atas asbak meja teras. Masih terdengar lamat-lamat suara televisi di dalam sana. Bagaimana motivator itu memberikan tips-tips untuk bangkit dari keterpurukannya. Aku terdiam. Kemudian tersenyum pahit. Aku seperti merasakan bahwa kata-kata motivator itu ditujukan buatku. Atau hendak ingin menyindirku?

 

Kuusap wajahku yang berminyak dan legam karena tersengat matahari seharian. Lalu kuhembuskan napas kasar. Seolah sebuah pertanyaan kapan semua hukuman ini berakhir. Yah, aku menganggap ini sebuah hukuman karena memang aku sendiri yang menyebabkan itu terjadi.

 

Perlahan ingatanku melayang ke beberapa tahun yang silam. Ketika kebahagiaan terasa sangat lengkap dan utuh. Kehidupan ideal yang didambakan banyak orang telah aku genggam, tetapi tampaknya tidak membuat aku bersyukur sehingga akhirnya aku sia-siakan. Aku terbuang dan terdamparlah aku di sini. Di kontrakan yang sudah lapuk, dengan berteman sesal dan kesepian setiap harinya. Dan tatkala tiba waktu malam, sesal itu seperti menguliti tubuhku dengan pisau paling tajamnya.

 

Sakit. Benar-benar sakit.

 

Tidak ada tawa anak-anakku lagi. Tidak ada perhatian istriku lagi. Tidak ada kehangatan orang tua lagi. Di sini aku benar-benar sendiri.

 

***

 

     Semua penderitaan ini bermula ketika aku mencoba-coba bermain judi online. Karena banyak dari rekan-rekan kerjaku bermain, akhirnya aku penasaran. Sebab, tak sedikit dari mereka yang menang dengan jumlah fantastis dalam waktu instan.

 

Dewi keberuntungan tampaknya memihakku kala itu. Di awal-awal pertaruhanku menang. Beberapa kali terus memang. Sampai aku bisa membeli ini itu dengan mudah.

 

Rahma, Istriku yang memang selalu beribadah dengan rajin mulai menasehati macam-macam. Berkata bahwa judi itu dosa dan sebagainya. Aku bukannya tidak tahu, bahkan sangat tahu, karena waktu kecil aku rajin mengaji.

 

Namun, peringatan demi peringatan istriku tidak aku idahkan. Dan istriku pun mulai masa bodoh denganku. Toh, lagipula uang hasil kemenangan itu pun aku berikan kepadanya, tidak aku gunakan sendirian. Meski pada akhirnya ia tidak mau menerima hasil kemenanganku dari judi online, dan hanya menerima dari gajiku sebagai pegawai tetap di sebuah perusahaan transportasi milik pemerintah.

 

Motivasiku bermain judi online bukanlah karena kesulitan keuangan. Tidak. Aku yang sudah punya pekerjaan tetap dengan jabatan yang lumayan sudah cukup untuk membahagiakan keluarga. Sudah punya rumah cukup layak, kendaraan pribadi, dan beberapa aset usaha yang menjanjikan. Namun, bermula dari iseng mencoba akhirnya aku keranjingan. Sampai tidak sadar bahwa aku tengah menggali lubang kehancuranku sendiri.

 

Setiap waktu, setiap saat, yang ada di pikiranku adalah bagaimana aku bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar secara singkat. Pasti akan semakin banyak lagi asetku dan kemudian aku tak perlu susah payah bekerja lagi.

 

Namun, segala kepalsuan dalam hidup pasti akan terungkap juga. Sore itu setelah aku girang bukan main karena menang hampir satu milyar, yang itu artinya adalah jumlah yang sepadan dengan gaji puluhan tahun aku kerja, bisa aku peroleh dalam waktu singkat. Hatiku tentu girang bukan main.

 

Kemudian aku memutuskan untuk membuat taruhan lebih besar. Sial. Aku kalah! Rasa penasaran itu terus menggerogoti kesadaranku sampai kemudian aku tidak sadar sudah kalah dalam jumlah yang sangat besar.

 

Seluruh tabunganku beserta hasil kemenangan ludes tak tersisa.

 

Tidak. Aku belum kalah. Itu resiko. Itulah yang aku sadari kala itu. Pasti aku bisa menang lagi.

 

Kemudian rasa penasaran itu terus mendera, aku benar-benar terjebak dalam rayuan setan yang memabukan. Terobsesi untuk menang dan mengembalikan kekalahanku sebelumnya. 

 

Terus begitu dan terus begitu.

 

Aku tidak fokus lagi dengan pekerjaan, dengan kedua anakku, dengan istriku, dengan lingkunganku. Aku benar-benar telah dibuat gila oleh lingkaran setan yang bernama judi online itu.

 

Sampai di suatu pagi, setelah aku mempertimbangkan, aku lakukan juga pilihan itu.

 

"Dik, sertifikat rumah dan warung butik kita kamu taruh di mana? Di lemari biasa, kok, tidak ada?" tanyaku dengan wajah kusut masai. Sebab semalaman aku begadang main judi online.

 

"Mas. Istighfar, Mas. Mau sampai kapan kamu akan begini terus," tukasnya sembari melihatku dengan tatapan yang sepertinya dia sudah tahu untuk apa aku mempertanyakan itu semua.

 

"Gara-gara judi online Mas di pecat dari kerjaan, tabungan ludes semua, dan Mas akan menjual rumah dan usaha kita untuk bermain judi setan itu lagi?"

 

Tebakanku benar. Dia sudah tahu tujuanku mempertanyakan sertifikat rumah itu.

 

"Mas sadar tidak, gara-gara judi online itu Mas dipecat dari kerjaan! Sadar tidak!" ucapnya lebih keras. Aku sadar kali ini ia benar-benar marah.

 

Entah kenapa aku merasa tersinggung.

 

"Mas bisa cari kerja lagi, Dik! Ga usah ungkit-ungkit itu lagi. Aku pasti akan menang dan nanti akan aku ganti semua barang yang sudah aku jual," kataku sambil merebahkan diri di kursi dapur.

 

Istriku melanjutkan masaknya. Ia seperti tengah mengacuhkanku.

 

"Dik, mana!" ucapku jengkel karena ia tetap mengacuhkanku.

 

"Nggak, Mas. Nggak ak akan aku kasih!" ketusnya.

 

Oh, baiklah. Sepertinya ia mau dengan cara kasar.

 

Aku hampiri istriku dan kemudian mencekal pergelangan tangannya sampai ia tidak berkutik lagi.

 

"Mana!" tatapku tajam.

 

Kulirik sepotong pisau yang tergeletak di atas sayur mayur. Aku ambil dan aku arakan untuk mengancam istriku.

 

"Mana!" teriakku lagi.

 

Istriku tidak menjawab. Hanya air mata yang ditampakkannya.

 

"Baiklah, Mas. Kalau itu mau, Mas. Aku kasih tapi aku minta cerai! Sekarang lepaskan!"

 

Ia berontak sendiri dan akhirnya cekalanku terlepas.

 

Kemudian kulihat ia masuk ke dalam rumah. Beberapa waktu kemudian ia kembali ke hadapanku. 

 

"Ini ambil! Jangan coba cari aku dan anakmu lagi!" ucapnya setelah melemparkan berkas-berkas itu dengan kasar ke arahku. 

 

Aku tidak peduli. Aku malah tersenyum sebab aku akan bisa mendapatkan modal dan akan kumenangkan kekalahanku lagi. Pasti setelah aku punya uang lagi dan segalanya kembali, istriku akan kembali memaafkanku. Bukankah wanita selalu begitu?

 

.

 

Beberapa saat kemudian aku lihat istri menenteng sebuah koper dan membawa serta anakku. Aku lagi sibuk menghubungi sebuah kenalan untuk menggadaikan rumah dan aset usahaku ke bank.

 

"Mau kemana!" tanyaku setelah ia dekat hendak keluar rumah.

 

"Aku mau pulang. Aku mau minta cerai!"

 

"Sebentar, Dik!'' cegahku kemudian begitu ia akan membuka pintu dan hendak berlalu.

 

Kulihat anak-anak di samping.

 

Hati nuraniku berkata bahwa aku selama ini telah salah dan istriku lah yang benar, tetapi bagaimanapun aku harus berjudi lagi. Setidaknya mengembalikan kekalahanku selama ini dan mengembalikan lagi kondisi keuanganku seperti semula.

 

Aku pegang tangan istriku, ia menolaknya. Aku pegang lagi lebih erat.

 

"Dik. Mas janji ini yang terakhir kali. Setelah menang Mas janji tidak akan main judi lagi. Mas janji."

 

Ia tetap acuh. Matanya sangat merah.

 

Setelah beberapa saat aku meyakinkan dia, akhirnya ia luluh juga. 

 

Yah, aku berjanji ini yang terakhir aku bermain. Setelahnya aku akan berhenti.

 

*** 

     Suara azan Magrib membuyarkan lamunanku. Kusadari kini mataku telah banjir. Kuusap perlahan dan aku masuk ke dalam. Kututup pintu. Kumatikan televisi. Lalu kurebahkan lagi pantatku ke kursi. Mengusap wajah dalam-dalam.

 

Andai aku lebih mensyukuri nikmat dan mendengarkan nasehat istriku, tentu aku tidak akan seperti ini. Kesepian dalam kontrakan lapuk seorang diri. Bekerja menjadi kuli panggul di sebuah pasar untuk bertahan hidup karena ijazah kuliah dan pengalaman kerja di perusahaanku dulu tidak berlaku lagi, sebab aku adalah seorang mantan napi.

 

Yah, seorang mantan napi seperiku tentu tidak mudah mencari pekerjaan yang lebih layak lagi.

 

Aku beberapa bulan di bui karena mencoba merampok sebuah rumah disuatu malam karena bingung diteror oleh pinjol dan bank setiap hari.

 

Setelah menjual rumah dan aset usahaku. Aku tetap kalah. Dan aku tidak punya pilihan selain berhutang dalam jumlah yang cukup besar.

 

Tapi sialnya aku kalah lagi.

 

Sampai kemudian aku nekat merampok dan akhirnya tertangkap polisi.

 

Istriku benar-benar meminta cerai. Hak asuh tentu jatuh kepadanya. Setelah sah bercerai, dia meminta aku tak mengganggu kehidupannya lagi, termasuk anak-anakku karena malu kepada suaminya ini.

 

Beberapa bulan di bui membuatku menjadi sadar. Namun, nasi telah menjadi bubur, semua sudah terlanjur.

 

Aku mengusap lagi mataku yang basah. Menyesali sampai mati pun percuma, sebab waktu tak bisa terulang kembali.

 

Lamat-lamat suara azan Magrib masih terdengar. Kali ini terlihat berbeda. Seolah ingin menggedor hatiku bahwa aku sudah lama tidak mengingat Tuhan lagi.

 

Aku bangkit. Kuraih handuk dan bersiap untuk mandi.

 

***

 

End.

 

*Kisah ini terinspirasi dari kejadian nyata dari orang-orang yang banyak hidupnya hancur karena judi online. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Em Fardhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler