x

Ilustrasi krisis iklim akibat industrialisasi. Foto: aliansi zero waste id

Iklan

Anisa Azriana

Siswa yang Belum Maha di Kampus Diponegoro.
Bergabung Sejak: 26 Desember 2022

Rabu, 17 Mei 2023 08:09 WIB

Buru-buru Transisi Energi : Urgensi Krisis Iklim vs Kolonialisme Baru

Alasan mengapa transisi energi terkesan diburu waktu perlu ditanyakan. Siapa yang paling terdampak dari dikebutnya transisi energi patut juga ditanyakan. Apakah semua kebijakan transisi energi didasarkan pada urgensi krisis iklim yang kian mengancam? Atau ada hal lain yang mendasarinya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Isu transisi energi makin santer digaungkan pemerintah. Langkah–langkah perubahan menuju penggunaan energi terbarukan terus dikebut di tengah krisis iklim yang kian mengancam. Krisis iklim yang makin dirasakan di seluruh belahan dunia itu membutuhkan komitmen nyata untuk mempercepat transisi energi. Oleh karena itu, tak heran apabila berbagai negara meneken kerjasama guna mempercepat transisi energi.

Tak mengherankan pula apabila Indonesia turut merancang berbagai kebijakan dan skema pembiayaan guna menyukseskan transisi energi terbarukan. Langkah transisi energi memang menjadi solusi utama mengatasi krisis iklim. Meskipun demikian, transisi energi yang terkesan diburu waktu perlu diketahui alasan utamanya. Apakah didasarkan pada krisis iklim yang kian mengancam atau ada kepentingan lain dibaliknya.

Persimpangan Jalan Antara Urgensi dan Ekonomi Politik

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Krisis iklim bukan lagi menjadi hal baru di tengah masyarakat. Publik pada dasarnya telah menyadari bahwa Bumi makin rentan tiap waktunya. Laporan Badan Meteorologi Dunia menyebutkan pada tahun 2022 suhu bumi mengalami peningkatan sebesar 1,15°c lebih tinggi daripada priode pra industri tahun 1850-1900. Eksploitasi sumber daya alam ekstraktif untuk industrialisasi menjadi penyebab utama kenaikan suhu Bumi dan krisis iklim. Berbagai bencana yang kerap terjadi menyadarkan bahwa krisis iklim adalah sebuah kenyataan dan berdampak terhadap kehidupan.

Eksploitasi sumber daya alam pada dasarnya sudah dilakukan sejak awal oleh manusia. Eksploitasi alam makin gencar dilakukan ketika Revolusi Industri dimulai di Inggris hingga melahirkan praktik kolonialisme. Sejarah mencatat bagaimana negara belahan bumi utara melakukan ekspansi ke sejumlah negara kaya sumber daya alam. Kita ingat bagaimana Indonesia dijajah dan diambil segala sumber daya alamnya guna mendukung industrialisasi dunia barat.

Industrialisasi yang dilakukan menggunakan energi tak terbarukan menghasilkan sederet masalah lingkungan. Inilah awal mula munculnya berbagai kebijakan berbau lingkungan. Melalui Protokol Kyoto, negara di dunia sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui 3 program yakni implementasi bersama (joint implementation), perdagangan emisi (emission trading), serta mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism). Ketiga program tersebut nyatanya hanya dibebankan pada negara berkembang ketimbang negara maju.

Melalui program perdagangan emisi, misalnya, negara berkembang dibebankan untuk melestarikan hutan sehingga kadar karbon dapat terjaga. Selanjutnya, negara maju akan memberikan sejumlah uang untuk tiap karbon yang berhasil dijaga. Jika ditelisik lebih lanjut, ini hanya menggambarkan praktik kolonialisme modern. Negara maju melakukan penguasaan atas negara berkembang untuk melestarikan alam dan mendukung program pro lingkungan. Praktik ini juga melanggengkan dominasi negara maju atas negara berkembang di dunia. Padahal, krisis iklim diakibatkan oleh industrialisasi negara maju.

Tiap kebijakan pro iklim lebih didasarkan pada perhitungan ekonomi ketimbang aksi nyata menjaga lingkungan. Gagalnya Protokol Kyoto dalam menurunkan emisi gas rumah kaca mengindikasikan komitmen setengah hati negara-negara dunia dalam menjaga iklim. Urgensi krisis iklim selanjutnya melahirkan berbagai komitmen yang kini mulai berfokus pada transisi energi. Ide transisi energi didasarkan pada kenyataan bahwa penggunaan energi kotor merupakan penyebab utama kerusakan iklim. Oleh karena itu, negara-negara dunia berkomitmen untuk beralih menggunakan energi terbarukan dan meninggalkan energi fosil.

Langkah transisi energi menjadi fokus utama untuk menghentikan laju krisis iklim. Berbagai program dan skema pembiayaan dibuat untuk mendukung negara yang menggunakan energi terbarukan. Negara dunia mulai menyusun regulasi dalam mendukung kebijakan pro iklim seperti kebijakan perdagangan hijau yang mengatur ekspor barang ramah lingkungan. Arah transisi energi juga diterapkan Uni Eropa dengan mengadopsi Renewable Energy Directive (RED) yang menenkankan pada pengurangan ketergantungan impor bahan baku biofuel. RED II bahkan menargetkan konsumsi energi terbarukan Uni Eropa sebesar 32% pada 2030. Ketika negara maju memulai langkah dalam transisi energi, banyak negara berkembang justru merangkak tertatih dalam melakukan transisi energi.

Transisi energi tak dapat dipungkiri membutuhkan biaya cukup tinggi dalam implementasinya. Bagi banyak negara termasuk Indonesia, pembiayaan transisi energi ini akan membebani ekonomi negara. Solusi yang selanjutnya ditawarkan dunia tak jauh-jauh dari skema pembiayaan negara maju kepada negara berkembang. Salah satu skema pembiayaan yang dilakukan negara maju adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Pembiayaan JETP di Indonesia sendiri mulai dibahas pada KTT G20 di Bali. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa Jepang dan Amerika Serikat akan memberikan bantuan pembiayaan guna mendukung langkah Indonesia dalam melakukan transisi energi.

Pembiayaan macam perdagangan emisi maupun JETP pada dasarnya bukan komitmen menanggulangi krisis iklim. Jika negara maju benar-benar berkomitmen atas krisis iklim, seharusnya sejak awal Amerika Serikat ikut meratifikasi Protokol Kyoto. Hal yang dipilih Amerika adalah absen dengan alasan Protokol Kyoto membahayakan perekonomian negaranya. Sejak saat itu, Amerika Serikat lebih memilih memberikan skema pembiayaan kepada negara berkembang untuk mendukung kebijakan pro iklim.

Pembiayaan macam itu harusnya jangan dipandang sebagai bantuan murni semata. JETP misalnya, skema pembiayaan ini sebagian besar berasal dari investasi dan pinjaman lembaga swasta. Lebih jauh, ketika Luhut Binsar Pandjaitan menanyakan dimana uang yang dijanjikan untuk JETP, Amerika Serikat enggan memberikan jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada komitmen nyata terkait langkah transisi energi Indonesia. Skema ini sama saja melanggengkan dominasi negara maju atas negara berkembang. Menunjukkan praktik kolonialisme modern berbalut komitmen pro iklim.

Komitmen transisi energi pada akhirnya sampai pada persimpangan antara urgensi dan kepentingan ekonomi politik. Di satu sisi, transisi energi penting untuk mengatasi krisis iklim namun di lain sisi komitmen negara-negara dunia selama ini masih berorientasi pada ekonomi politik semata. Komitmen dalam penutupan PLTU Batu Bara misalnya, Indonesia masih terkesan berat untuk menutup PLTU Batu Bara meskipun pasokan listrik telah mengalami over supply dan merugikan negara. Komitmen untuk melakukan transisi energi pada akhirnya harus didasarkan pada urgensi terjadinya krisis iklim bukan hitung-hitungan ekonomi politik semata.

Mewujudkan Ke(tidak)adilan Energi

Komitmen transisi energi memang menjadi kunci untuk mengatasi krisis iklim. Langkah-langkah seperti penggunaan energi terbarukan maupun adopsi teknologi ramah lingkungan menjadi hal yang ditawarkan untuk diimplementasikan. Meskipun demikian, perlu juga ditanyakan apakah transisi energi ini dapat dinikmati oleh semua kalangan? Bagaimana pula kelompok paling terpinggirkan terdampak oleh langkah transisi energi? Hal itu penting untuk diketahui agar transisi energi tidak menghadirkan ketidakadilan semata.

Transisi energi berbicara mengenai bagaimana perubahan konsumsi energi tak terbarukan menjadi energi baru terbarukan. Transisi ini didukung pula oleh teknologi yang mengakomodasi perubahan konsumsi energi. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari penggunaan teknologi ini? Jawabannya adalah mereka yang memiliki kuasa dan uang tentu saja.

Teknologi hijau seperti kendaraan listrik dari awal diproduksi oleh berbagai negara besar seperti China, Uni Eropa, maupun Amerika Serikat. Indonesia dan sejumlah negara berkembang lainnya dijadikan sebagai pasar semata. Meskipun pemerintah memberikan sejumlah subsidi untuk kendaraan listrik namun tidak semua kalangan bisa menjangkau teknologi mahal ini. Akses kendaraan listrik ke sejumlah daerah terpencil agaknya masih belum bisa terealisasi. Kendaraan listrik hanya dapat digunakan di berbagai kota besar dan oleh kalangan tertentu saja bukan oleh semua golongan. Keuntungan subsidi akhirnya hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu yang bisa membeli kendaraan listrik ini.

Kaitan antara transisi energi dengan kelompok marjinal tidak berhenti sampai disitu saja. Wacana mengenai transisi energi berpotensi pula untuk bersinggungan dengan kelompok masyarakat adat, pedesaan, atau terpinggirkan. Berbekal pemahaman bahwa urgensi krisis iklim merupakan hal mendasar maka hak masyarakat atas tanahnya dapat terancam. Masyarakat desa dipaksa memahami bahwa kepentingan transisi energi jauh lebih penting daripada hak atas tanah mereka sendiri. Proyek-proyek berkaitan dengan alih fungsi lahan menjadi perkebunan biofuel maupun pembangkit listrik tenaga terbarukan berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat. Dominasi swasta serta investor akan bersinggungan dengan masyarakat. Perampasan tanah akibat privatisasi pada akhirnya kembali melanggengkan kolonialisme baru berkedok transisi energi.

Transisi energi berbicara pula mengenai bagaimana lapangan kerja yang adil bisa terbentuk. Ini mencakup bagaimana perempuan bisa ikut serta dalam sektor energi terbarukan. Lapangan kerja yang adil mencakup pula bagaimana perempuan bisa mendapat kesempatan yang sama seperti lelaki. Sektor energi saat ini didominasi oleh lelaki karena memang berkaitan dengan teknik. Transisi energi harus memastikan bahwa perempuan dapat pula bekerja dalam sektor yang sama dengan aman. Pada akhhirnya, transisi energi bukan hanya berbicara mengenai percepatan perubahan energi semata. Namun, transisi energi harus membahas pula bagaimana menciptakan akses energi yang adil bagi setiap golongan masyarakat.

Langkah transisi energi yang dilakukan terburu oleh pemerintah berpotensi menimbulkan berbagai masalah di masa mendatang. Sesat nalar yang mengedepankan pertimbangan ekonomi ketimbang lingkungan maupun masyarakat hanya akan membawa bencana semata. Dalam transisi energi penting untuk menciptakan institusi yang inklusif. Pemerintah yang mengakomodasi kepentingan kelompok terpinggirkan perlu dibentuk dengan kuat baik dalam perencanaan maupun implementasi program transisi energi. Pertimbangan ekonomi dan perluasan swastanisasi baik teknologi maupun esploitasi sumber daya terbarukan hanya akan melanggengkan kolonialisme baru berkedok ancaman krisis. Transisi energi harus menjadi keadilan energi bagi tiap elemen masyarakat bukan malah ketidakadilan akses energi. Oleh karena itu, pertimbangan keadilan sosial serta kemaslahatan bersama perlu dijadikan sebagai dasar utama dalam melakukan transisi energi yang berkeadilan.

Ikuti tulisan menarik Anisa Azriana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu