Kau Tidak Ada Pertanyaan Lain Lagi, kah?

Jumat, 19 Mei 2023 09:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Akra..,” demikian perempuan muda itu memperkenalkan dirinya. Itu hari pertama saat Akra menjadi juru fisioterapi buat saya di Rumah Rehabilitasi Villa Sandra di kawasan Portuense, Roma. Perbincangan kami bermula dari hal yang formal, hinga menyentuh aspek sensitif cara beragama setiap insan. Saat saya bertanya letak sebuah masjid di Roma, di seperti kehilangan kesabaran: Kau tak ada pertanyaan lain lagi, kah?

“Kau Tidak Ada Pertanyaan Lain Lagi ka?”
-dari satu pengalaman sederhana-


Kata Yesus: “Celakalah kamu juga, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada pundak orang, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jaripun” (Lukas 11:46)



P. Kons Beo, SVD



Satu kisah sederhana



“Akra...” Perempuan muda itu perkenalkan dirinya. Hari itu dan hari-hari selanjutnya, Akra ini jadi juru fisioterapi buat saya. Setelah jalani operasi yang tak ringan di Rumah Sakit San Camillo, 7 Maret 2023 lalu, beberapa hari kemudian, saya dialihkan ke rumah Rehabilitasi Villa Sandra di kawasan Portuense – Roma.



Dan di tempat inilah, Akra dan sekian puluh terapis lainnya bekerja. Tentu ada juga sekian banyak perawat dan beberapa dokter yang bekerja. Hari-hari terapi itu, bagi saya, tak ubah bagai sekolah anak Paud atau TK. Latihan gerak-gerik tubuh yang mesti ditata. Ada lagi variasi cara jalan, naik turun tangga. Tak lupa latihan keseimbangn tubuh dengan alat peraga bola dengan berbagai ukuran, tongkat, lingkaran karet dan masih banyak lain.

Ini belum terhitung lagi lagi dengan latihan untuk optimalkan kembali daya-daya rohani: ingatan, konklusi, ringkaskan satu wacana dan seterusnya. Intinya demi aktifkan kembali gerak fisik dan kemampuan rohani setelah operasi yang tak tingan itu.

Dengan Akra? Di hari-hari awal, tak ada banyak komunikasi. Dan memang harus demikian. Sebatas suara komando Akra agar saya mesti gerak begini dan begitu, dan seterusnya. Di dekat blok tempat Akra bekerja, terdapat beberapa tempat serupa. Setiap pasien dengan juru terapi masing-masing.

Perlahan mulai teramati irama kerja Akra plus kawan-kawan di sekitarnya. Intinya, ada kerja serius. Tapi ada juga banyak waktu untuk ngobrol-bacarita yang ukur kuat punya. Bisa dipaham, rata-rata usia mereka sebaya. Karenanya gampang untuk sambung kata dan tenun rasa dengan tema apa saja. Tentang segala kisah akhir pekan, misalnya. Ini belum terhitung dengan komunikasi telepon genggam (HP).

Nampaknya Akra gembira. Orang asing seperti saya pasti tak paham banyak tentang isi obrolan mereka. Di suatu ketika, Akra terima panggilan selular. Maka terjadilah percakapan. Suara Akra terdengar jawabi obrolan itu. Ada hal yang aneh. Kenapa satu kata pun dari bicaranya Akra tak dapat saya tangkap? Hanya dalam hati bertanya, “Dialek bahasa Italia dari wilayah mana lagi ini?”


Dunia yang berubah


Nekad beranikan diri bertanya, “Maaf, tadi itu bicara bahasa Italia dari wilayah mana?” Akra segera jawab, “Itu bahasa Persia. Dari Iran.” Saya jadi heran. Seorang cewek Italia sekian fasih berbahasa Persia, sama seperti ia ngobrol dengan teman-temannya dalam bahasa Italia. Bagaimana ia bisa belajar bahasa Persia?

Akhirnya saya jadi tahu juga. Akra itu berasal dari Iran. Asli Timur Tengah. Ia berkisah bagaimana ia bisa sampai ke Italia. Saat masih di Iran, ia bercita-cita lanjutkan sekolah ke Inggris, atau Jerman atau Austria. Entah kenapa tak muncul kesempatan untuk ke salah satu dari negara-negara itu. Akra jadinya ke Roma karena dukungan kedutaan Italia, dan ia miliki tuntutan sertifikat bahasa Italia.

Setelah lulus kuliah, Akra dapatkan pekerjaan. Tak ada niat untuk kembali ke Iran. Kini sudah sepuluh tahun ia bekerja di Villa Sandra sebagai terapista. Nampaknya satu dekade lebih di Italia, Akra sudah senyawa dengan alam budaya Eropa (Italia), yang pastinya berbeda telak dengan alam budaya asalnya, Iran.

Suatu ketika, saat senggang, daripada jenuh dengar kisah-kisah hariannya, satu pertanyaan praktis buat dia sejenak terperangah. “Tidak puasa, kah?” Maklum, saat itu Akra lagi nikmati biskuit. Tak bolehlah ia berbuat begitu di saat ia sepantasnya berpuasa di bulan Ramadhan. “Kenapa engkau yakin sekali bahwa saya seorang muslimah?” Akra memprotes karena pertanyaan itu.

Agama? Urusan pribadi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Entah muslimah atau beragama apa saja, itu urusan pribadi. Apalagi bila orang lain rasa diri wajib tahu sesamanya tengah berpuasa atau tidak,” lanjutnya. Ini karena pikiran spontan saya, berasal dari Iran, pasti Akra seorang muslimah. Syukurlah, Akra langsung spontan menyentak, “Kita sepantasnya tak usah omong-omong tentang agama.” Bahkan tentang Tuhan sekalipun, Akra ternyata sudah ada di titik skeptis.

Saya coba menangkap isi pikiran Akra selanjutnya. Hidup adalah soal bagaimana kita mesti bertahan hidup. Bertahan hidup itu punya kaitan dengan apa yang kita butuhkan, bagaimana dan dari siapa? Untuk dapat makan saya mesti ke swalayan, untuk urusan kesehatan iya mesti ke apotik atau dokter. Ada sekian banyak orang yang bikin saya bertahan dalam hidup. Dan untuk itulah mesti bekerja. Dari situ ada duit untuk bertahan hidup.

Tak ada Tuhan yang hadir nyata demi kelangsungan hidup ini. Teman-teman Akra bahkan kuatkan “Agama dan Tuhan adalah hikayat masa lalu, yang terus saja ditafsir dan diajarkan untuk membatasi gerak hidup manusia.” Mama mia! Agak terperangah juga saya. Tempat fisioterapi ini ternyata ada tebaran gagasan tentang agama dan Tuhan. Menantang memang.

Mutualisme Agama dan Negara?


Mata Akra berkaca saat disinggung nama Mahsa Amini. Itu nama perempuan Iran berusia 22 tahun. Ia dihukum dan ditemukan mati, 16 September 2022 lalu. Kematian yang bangkitkan gelombang protes dan demo kontra rejim pemerintah Iran. Rasanya polisi moral dan pemuka agama telah bersimbiosis lama untuk menekan kebebasan yang sulit dimengerti di zaman penuh keterbukaan.

Agama dan negara saling memanfaatkan untuk menjaga kelanggengan kekuasaan dan pengaruh. Beberapa helai rambut yang terlihat keluar dari jilbab Amini adalah pelanggaran berat yang mesti berbayar nyawa.

Di titik inilah saya paham, Akra tunjukan ketidaksukaannya (untuk tidak mengatakan membenci) pada agama. Agama yang merawat tradisi keras memakai negara untuk bertindak. Di sisi lain, rejim pun memanfaatkan (pemuka) agama untuk bisa bertahan dalam kuasanya. Tak peduli pada banyaknya korban yang berjatuhan. Lalu bagi Akra sendiri?

Berkisah tentang akhir pekan yang indah di kolam renang atau pantai-pantai yang indah, nikmati berbagai perjalanan atau gebyarnya suasana diskotik, bisa saja. Bagi Akra, itu adalah variasi sisi hidup yang berseberangan dari segala aturan dan tradisi ketat dan menekan. Ini nampaknya seperti sederet protes serius dari kejauhan.

Biarkan kebebasan berbicara


Bila ditafsir secara lain, maksudnya, “Tempat-tempat seperti itu tidak lantas begitu saja diberi label haram, najis, tak senonoh, atau laknat hanya karena pernyataan bahwa ‘iblis jahanam telah masuk, bergentayangan dan menguasasinya.”

Teringat lagi di tanggal 22 April 2023. Saat Hari Raya Idul Fitri. Ucapan ‘Selamat Hari Raya Idul Fitri’ dari saya tak ditanggapi Akra. Sepertinya ia cuek berat. Dalam hati saya berpikir, ‘Jangan-jangan Akra tidak terima ucapan selamat Idul Fitri dari yang tak seiman. Haram hukumnya. Nyatanya tidak, ia memang tidak berselera bicara tentang agama dan apapun yang berkaitan dengan agama itu sendiri.

Maka percakapan kami mesti "kembali ke laptop". Itulah sebatas perkembangan dari fisioterapi yang saya jalani. Akra tetap serius menuntun, dan sesekali ia tetap terlibat dalam percakapan keseharian dengan para koleganya.

Tuhan yang terasa semakin asing?

Teringat lagi di suatu saat, saya lupa kapan persisnya, saya bertanya pada Akra, “Di Roma ini masjid itu di wilayah mana persisnya?” Kali ini Akra nampaknya hilang kesabaran, “Kau tidak ada pertanyaan lain lagi, ka?” Saya jadi tersentak kaget. Akra benar-benar tak suka dengan tanya-jawab atau diskusi lepas soal agama dan apa pun yang terkonek dengan keagamaan. Ada apa sebenarnya di balik semuanya?

Pada akhirnya patut dimaklumi. Akra dan kebanyakan koleganya tak sekedar juru fisioterapi. Mereka adalah simbol (walau kecil dan sederhana) yang mempertanyakan bahkan menantang (pemuka) agama yang sembunyikan kemerdekaan dan sukacita dalam Tuhan. Hanya demi menjaga tradisi, dan langgengkan kekuasaan. Menjaga berbagai kepentingan sendiri.

Mungkinkah Tuhan dirindukan kembali?

Bagaimana pun, saatnya saya harus tinggalkan Villa Sandra. Tak hanya sebagai orang yang dinyatakan sembuh fisikal, tetapi terutama juga sebagai orang yang diinjili. Sebab, kasih Allah yang membebaskan dan mencerahkan terkadang disenyapkan di dalam agama, dalam diri pemuka agama yang masih klerikalis dan bisa saja cenderung triumfalistik.

Masih teringat lagi teguran keras Yesus, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk, dan kamu menghalangi orang-orang yang berusaha masuk” (Matius 23:13).

Sungguh, adalah tugas mulia untuk menciptakan kembali suasana penuh kerinduan pada Tuhan. Dan agama jadi alam yang sungguh menyapa dan membebaskan.


Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro - Roma

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rikhardus Roden

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler