Pemilu 2024 diselenggarakan di tengah keresahan akan kemunduran kualitas demokrasi. Banyak pihak menyebut fenomena ini dengan masa paling kritis dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Berbagai evaluasi mengenai keadaan demokrasi saat ini juga menunjukkan kemerosotan sedang melanda banyak negara demokratis.
Keresahan juga tampak nyata di kalangan pendukung dan pejuang demokrasi, khususnya di kalangan masyarakat sipil. Berbagai kritik dialamatkan pada menguatnya kecenderungan semangat otoritarianisme, menyempitnya civic space, menurunnya toleransi negara terhadap sikap kritis serta dorongan untuk menjalankan dan mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan hukum secara diskriminatif.
Pemilu 2014 misalnya, menjadi penanda benturan identitas dalam politik di Indonesia. Benturan ini kemudian mengkristal dan berlanjut pada pelaksanaan Pilkada DKI 2017 hingga Pemilu 2019. Yang mencemaskan dari situasi ini bukanlah penguatan identitas, melainkan kemunduran kualitas demokrasi secara spektakuler akibat polarisasi suku, Agama dan golongan yang dipolitisasi sedemikian rupa demi meraih keuntungan elektoral. Pada tahun ini juga muncul fenomena intolerant democratic syndrome yang artinya preferensi terhadap demokrasi tidak disertai dengan toleransi politik yang matang.
Benturan identitas yang terjadi menunjukkan toleransi politik dalam iklim demokrasi di Indonesia masih lemah. Padahal, toleransi politik berperan penting dalam membuat demokrasi bekerja secara efektif. Semakin kuat toleransi politik, semakin baik kinerja demokrasi di negara tersebut.
Namun terlepas dari berbagai catatan itu, dinamika demokrasi di Indonesia menunjukkan fase-fase yang masih dalam jalur ideal. Pasca Orde Baru, Indonesia menjalani transisi demokrasi besar-besaran – sering disebut sebagai big bang transition, bahkan dengan variasi politik antar daerah yang sangat kompleks dan beragam.
Dari keseluruhan catatan penyelenggaraan demokrasi pada masa transisi hingga konsolidasi demokrasi, iklim politik di Indonesia berhasil beradaptasi dengan cepat, meski menyisahkan beragam tantangan pula yang menjadi refleksi bagi perbaikan demokrasi.
Trajektori Demokrasi di Indonesia
Pemilu-pemilu pasca reformasi yakni Pemilu tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019 memang terselenggara jauh lebih demokratis dibandingkan dengan pemilu di era rezim orde baru, walaupun secara hasil dari demokrasi elektoral tersebut belum bisa mempercepat fase konsolidasi demokrasi akibat terhalang berbagai tantangan.
Sejak tahun 1999, secara formal Indonesia diakui sebagai sebuah entitas demokrasi, khususnya terkait dengan pergantian rezim yang mengakhiri kekuasaan diktator Presiden Soeharto. Pada tahun ini pula Indonesia telah digolongkan sebagai rezim demokrasi karena telah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum dengan baik. Meskipun pada tahun 2004 hingga 2014 muncul penilaian bahwa negeri ini berada di ‘simpang jalan’ besama dengan 29 negara lainnya.
Beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada posisi kritis tersebut adalah karena rezim pasca reformasi tahun 1998 berkali-kali gagal memenuhi terwujudnya hak-hak politik dan kebebasan sipil yang merupakan parameter utama tercapainya demokrasi liberal. Dalam bahasa lain, Indonesia dinilai masih berada pada tahap demokrasi elektoral. Oleh sebab itulah, Indonesia dikategorikan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) ke dalam kelompok flawed democracy atau demokrasi yang cacat sejak tahun 2006 hingga saat ini.
Dengan berpijak pada evaluasi trajektori demokrasi tersebut, dapat ditarik sebuah kerangka umum. Kerangka pertama adalah tidak akan ada arah evaluasi dan pemahaman yang jelas jika tidak ada parameter preskriptif yang disepakati terlebih dahulu mengenai model demokrasi apa yang sejatinya diinginkan oleh rakyat Indonesia. Kerangka ini secara langsung atau tidak langsung akan menjawab pertanyaan: “Demokrasi model apa yang saat ini sedang berlangsung, masih pada fase konsolidasi atau telah bergerak ke kematangan demokrasi?”.
Kerangka kedua adalah urgensi untuk memiliki lintasan sejarah Indonesia sebagai sebuah entitas politik dan sosial budaya yang terus berproses. Peletakan lintasan sejarah ini sangatlah penting agar upaya mereorientasi demokrasi Indonesia pasca reformasi menjadi memadai dan menemukan format laju yang jelas ke depan demi memenuhi amanat landasan konstitusional.
Pemilu 2024: Pertaruhan Demokrasi
Pemilu 2024 menjadi arena paling strategis dalam sejarah penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, bukan hanya karena Pilkada juga diselenggarakan di tahun yang sama, tapi Pemilu 2024 menjadi momentum politik untuk mengakhiri (endgame) fase konsolidasi demokrasi sepanjang harus benar-benar luber dan jurdil serta memenuhi parameter demokratis.
Adagium yang berkembang mengatakan bahwa jika rezim demokrasi telah melewati 7 (tujuh) kali pelaksanaan Pemilu demokratis secara aman, adil dan legitimate maka akan terjadi peralihan fase konsolidasi demokrasi ke tahap kematangan demokrasi. Indonesia sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2024 (kecuali pelaksanaan Pemilu pada Orde Baru) terhitung telah melewati 7 kali pelaksanaan Pemilu demokratis.
Ada beberapa mekanisme kerja yang harus dibangun guna menjadikan Pemilu 2024 sebagai pintu gerbang menuju fase kematangan demokrasi. Pertama, memperkuat kapasitas kelembagaan demokrasi baik Partai Politik, penyelenggara Pemilu yang berintegritas hingga masyarakat sipil dan media yang kuat. Kedua, memastikan pertumbuhan budaya politik di Indonesia sesuai dengan proses demokratisasi di Indonesia. Berbagai aspek yang harus dipastikan antara lain pemilu yang bebas dan adil, ruang partisipasi publik yang akomodatif dan setara serta kebebasan sipil. Ketiga, menghadirkan regulasi yang demokratis dan berlandaskan aspek-aspek kesetaraan, pendanaan politik yang transparan, penyelenggara pemilu yang berintegritas serta sengketa pemilu yang adil dan legitimate.
Mekanisme kerja tersebut harus didasari oleh political will para aktor politik untuk melakukan pembaruan demokrasi di Indonesia. Sebab, Pemilu 2024 menjadi titik balik demokrasi, jika Indonesia berhasil melewati ragam tantangan yang melatarbelakangi maka Indonesia akan mencapai fase kematangan demokrasi. Sebaliknya, jika Indonesia gagal menghadapi beragam tantangan tersebut maka akan terjadi kemunduran demokrasi atau bahkan peralihan kembali ke rezim otoritarianisme.
Ikuti tulisan menarik yayan hidayat lainnya di sini.