x

Cover

Iklan

Hasan M Thaib

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Mei 2023

Jumat, 19 Mei 2023 08:53 WIB

Penjarahan Pulau untuk Industri Kendaraan Listrik

Atikel ini berfokus pada Penjarahan Pulau yang diakibatkan oleh keberadaan industri pertambangan nikel di Kab. Halmahera Selatan yang menambah dastar Panjang jejak kotor kendaraan listrik di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penjarahan Pulau untuk Industri Baterai Kendaraan Listrik

Penulis: Hasan M. Thaib & Ahmad S. Imam

Alamat: Desa Amasing Kota Utara, Kec. Bacan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Identitas diri: Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Yogyakarta

 

Penjarahan pulau yang diakibatkan oleh keberadaan industri pertambangan nikel di Kabupaten Halmahera Selatan menjadi fokus utama tulisan ini. Hal ini juga dipicu dari ambisi pemerintahan Jokowi untuk menyediakaan pasar kendaraan listrik di Indonesia. Melalui Harita Group, sebuah perusahaan yang dimiliki keluarga konglomerat Lim Hariyanto Wijaya Sarmono, yang bergerak dari bisnis nikel, bauksit, batubara, perkebunan sawit, hingga perkapalan dan perkayuan, menyebabkan masalah yang berkaitan dengan lahan, lingkungan, dan kesehatan hingga kemiskinan di Pulau Obi.

Penjarahan pulau merupakan proyek kapitalisme. Sebagai sebuah ruang geografis yang dibentuk oleh negara, pulau Obi – sejak ditetapkannya sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas) – adalah komoditas, di mana kapitalisme pertambangan beroperasi secara membabi buta. Proses penjarahan pulau sebagai sebuah proyek kapitalisme pertambangan, yang menjadikan pulau Obi sebagai komoditas, mudah diidentifikasi.

Pertama, pada tahun 2018 ada suntikan modal dari Harita Group untuk pembangunan pos Koramil dan kunjungan ke wilayah operasi Harita di pulau Obi. Kedua, keterlibatan negara yang menjadikan Kawasi sebagai kawasan industri dan ditetapkannya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan kata lain, keduanya merupakan proses ekonomi politik yang dipandu oleh kapital dan negara.

Harita Group dan Ambisi Pemerintah Menyediakan Pasar Kendaraan Listrik

Harita Group adalah bisnis konglomerasi Indonesia yang dimiliki dan dikendalikan keluarga Lim Hariyanto Wijaya Sarmono. Bisnis inti dari Harita Group berada di sektor sumber daya alam, seperti perkebunan kelapa sawit, penambangan nikel dan smelter, penambangan bauksit dan kilang alumina. Sementara bisnis lain atau bisnis pembuka ekspansi dari operasi bisnis inti Harita Group di mulai pada tahun 1980-an. Bersama dengan anaknya, Lim Gunawan Harianto, mereka mengembangkan bisnis kayu dengan nama PT Tirta Mahakam Resources (TMR). Melalui TMR, Harita Group telah menyumbang naiknya angka eksploitasi sumber daya kehutanan, khususnya kayu di Kalimantan.

Berbeda dengan Kalimantan, di Pulau Obi, Harita Group mengendalikan dua perusahaan pertambangan Nikel pada tahun 2007. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dikantongi oleh PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS) dari Bupati Halmahera Selatan, Muhammad Kasuba, dengan konsesi seluas 5.524 hektar[1]. Selain TBP dan GPS, ada tiga perusahaan dibawah kendali Harita Group yang beroperasi menunjang kelancaran pabrik smelter bijih nikel, yaitu PT Trimegah Surya Pertiwi (MSP), PT Halmahera Persada Lygend (HPL), dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF). Ketiganya beroperasi di atas IUP TBP[2].

Produksi pertambangan nikel Harita Group di pulau Obi, mendorong Presiden Jokowi untuk merealisasikan industri kendaraan listrik di Indonesia. Bahkan pada tahun 2019, pemerintahan Jokowi menunjuk Harita Group sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Tentu hal ini merupakan mekanisme negara untuk membuka peluang agar Harita Group dapat beroperasi secara “legal” dan sejalan dengan proyeksi Jokowi dalam menciptakan pasar kendaraan listrik di Indonesia. Ambisi pemerintah untuk menyediakan industri kendaraan listrik sangat jelas terlihat dalam Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja (UU Omnibuslaw Ciptaker).

Hilirisasi Nikel Sebagai Proses Komodifikasi

Nikel adalah bahan baku utama baterai kendaraan listrik. Logam itu memiliki kepadatan energi tertinggi sehingga baterai dapat menyimpan energi lebih besar dan kendaraan listrik dapat melaju lebih jauh. Namun, pertambangan nikel yang ada di Indonesia, hanya diproduksi dalam bentuk mentah. Untuk mencapai ambisi Jokowi, pemerintah mendorong hilirisasi bahan tambang mineral dengan mengajak investor membangun pabrik pengolahan atau smelter. Hilirasasi juga dilakukan dengan melarang ekspor tambang mineral dalam bentuk mentah.

Pada tahun 2014, Jokowi mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel (ore) sebagai upaya mendesak perusahaan-perusahaan pemegang IUP untuk meningkatkan nilai tambah bijih nikel[3]. Kemudian pada tahun 2015, Harita Group membangun pabrik peleburan bijih nikel berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Setahun setelahnya, Harita Group menghasilkan feronikel dengan kapasitas produksi mencapai 240 ribu ton per tahun. Sampai pada tahun 2021 Harita Group menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang memproduksi komoditas Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).

Adanya investasi smelter ini membuat nilai guna dari lahan konsesi yang mulanya hanya dipakai memproduksi bijih nikel bertambah dengan adanya produksi komoditas MHP demi perputaran sirkuit kapital properti kendaraan listrik di Jakarta. Nantinya kendaraan listrik juga menjadi kendaraan yang beroperasi di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) baru. Jadi, akumulasi kapital yang bergerak masuk di pulau Obi, perantara yang digunakan adalah pembentukan (produksi) fixed capital dalam bentuk tiga pabrik pengolahan/smelter di Kawasi. Tak pelak lagi, hal ini akan mempengaruhi pulau Obi dihimpit oleh pertambangan nikel.

Di Balik Ambisi Harita dan Pemerintah Jokowi vs Fakta di Lapangan

Tambang nikel adalah bahan utama baterai kendaraan mobil listrik yang dikampanyekan sebagai kendaraan ramah lingkungan. Kisahnya menjadi ironis karena prores ekstraksinya di Kawasi berlangsung sebaliknya[4]. Aktivitas Harita Group di Obi, telah menghancurkan ekosistem sungai dan merusak sumber air minum dan air kebun masyarakat. Dalam laporan JATAM (2023:11) disbeutkan,“Kawasi yang semula warga hidup damai, bertani dan melaut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga berubah menjadi erea pertambangan yang meluluh-lantahkan wilayah daratan, pesisir, dan laut. Lahan-lahan warga dicaplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara disesaki debu dan polusi, air laut keruh-kecoklatan, bahkan ikan-ikan tercemar logam berat”.

Selain kerusakan lingkungan, ada pelbagai sketsa empiris dengan sumber-sumber dari peneliti, aktivis gerakan sosial, media, akademisi, bahkan pekerja (buruh) dan warga setempat yang bercerita akan dampak industri pertambangan serta proses penyingkiran warga di desa Kawasi. Melky Nahar2 mengatakan langkah Trimegah IPO perusahan Harita Group, berlangsung di tengah derita warga dan lingkungan “Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasaan beruntun terhadap warga lokal[5].

Hal yang juga diceritakan oleh buruh di salah satu perusahaan Harita Group, Alveda, ketika bertemu beberapa orang di Kawasi. Dia mengatakan, “Torang tara seperti yang dulu seperti sebelum ada tambang, di Kawasi semuanya sudah hilang, torang singsara, torang yang masih ada kobong pun susah untuk ke kobong karena akses jalan pihak perusahan tutup dan kalau yang so tarada kobong banya yang bekerja di tambang, dan selain itu banya warga yang sakit apalagi anak-anak bayi”.  Alveda mengatakan orang-orang Kawasi yang masih bertahan atas tanahnya, kadang mereka tidak punya tujuan atau pilihan. Ada yang merelakan tanahnya untuk dijual karena dihimpit wilayah operasi pertambangan, ada yang terdesak karena kebutuhan ekonomi, ada yang takut karena diintimidasi, diteror dan ada yang menjual tanah akibat perubahan iklim, dan kerusakan ekologi.

Pencemaran lingkungan dan kesehatan warga

Hampir seluruh sumber air warga di Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahan. Air Cermin dan sungai Loji yang sebelumnya dipakai warga sebagai sumber air bersih, kini telah lenyap pasca perusahan membongkar sebagian besar kawasan hutan di daratan hingga pesisir. Sementara Sungai Akelamo, sungai terbesar di Pulau Obi, kawasan hulunya tengah dibongkar oleh perusahan tambang. Adapun air terjun, salah satu sumber air warga juga masuk dalam areal pertambangan. Menurut keterangan warga mata air ini sering kali keruh meski dimusim kemarau (mengutip Jatam [2023:14-15]).

Gambaran dari cerita dan kasus di Kawasi adalah aspek dari perkembangan kapitalisme dan perekonomian dunia yang dibentuk dan dipandu oleh negara. Hal ini mengharuskan ketidakberdayaan warga lokal–merelakan tanahnya ditilap industri pertambangan. Muncul konflik hak atas tanah, hak pendapatan, jaminan mata pencaharian, serta ketimpangan kualitas hidup atau harapan hidup.

Dalam kisah tentang Kawasi kita berjumpa dengan topik masalah yang sudah akrab dalam sejarah konflik agraria di dunia modern, yakni perebutan tanah, dan untuk penggunanaan yang berbeda. Dalam kasus ini adalah orang-orang lokal Kawasi berjuang melawan kepungan kapitalisme pertambangan.

 

[1] https://www.mongabay.co.id/2021/11/14/cerita-warga-dari-pulau-penghasil-bahan-baku-baterai-kendaraan-listrik-1/

[2] https://www.walhi.or.id/uploads/buku/Kuasa_korporasi_di_bumi_pertiwi-FA_1.pdf

[3]  https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/04/16/babak-baru-hilirisasi-nikel-di-pulau-obi

[4] https://www.walhi.or.id/uploads/buku/Kuasa_korporasi_di_bumi_pertiwi-FA_1.pdf

[5] https://www.mongabay.co.id/2023/04/16/mereka-suarakan-kerusakan-pulau-obi-dampak-industri-nikel/

Ikuti tulisan menarik Hasan M Thaib lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler