x

illustr: Everyday Health

Iklan

Toto Sudiarjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Mei 2023

Sabtu, 20 Mei 2023 08:17 WIB

Resistensi Perempuan dalam Pusaran Konflik Sumber Daya Alam

Perempuan dalam arus konflik sumber daya alam harus menghadapi dua gurita besar, satu sisi ia harus melawan industri ektraktif sebagai ruang hidupnya, di sisi lain ia dihadapkan pada sistem patriarki yang terus dilanggengkan. Mereka para perempuan harus memikul beban ganda demi keberanjutan lingkungan dan kesetaraan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pergulatan kaum perempuan dalam konflik Sumber Daya Alam (SDA) mendulang berbagai cerita yang tidak pernah ada habisnya. Cerita-cerita tersebut muncul baik di kawasan hulu maupun hilir titik konflik. Mereka para perempuan adalah kelompok yang paling dirugikan dan merasakan dampak langsung dari adanya pembangunan yang berwajah ekstraktif. Bahwasanya, perempuan adalah makhluk yang tidak bisa lepas penghidupannya dari alam, kususnya air. Karena kebutuhan perempuan akan air tidak bisa dibilang sedikit. Ketika sumber daya alam yang melimpah terus-menerus dikeruk, maka kaum perempuanlah yang paling rentan ketika sumber-sumber air dan pangan mengalami krisis atau kelangkaan.

Dalam hegemoni dunia yang kapitalistik dan patriarkis, perempuan dihadapkan pada dua gurita raksasa. Secara sosial, perempuan menghadapi kuasa maskulinitas yang terus mengungkung tubuhnya. Sedangkan secara ekologis, perempuan dihadapkan pada kondisi alam yang menghidupinya  terus eksploitasi. Dengan kondisi terebut perempuan harus memikul beban ganda, baik di ranah domestik maupun sumber daya alam sebagai ruang hidup yang menyertainya. Kerentanan inilah yang mendorong para perempuan tidak punya pilihan lain selain bergerak bersama untuk mempertahankan alam sebagai sumber kehidupannya serta melawan kuasa patriarki untuk dirinya dan generasi selanjutnya.

Di tengah arus konflik agraria maupun lingkungan yang terus meluas, baik yang menyangkut kelompok petani, nelayan maupun komunitas adat, tidak sedikit yang masih menunjukan wajah maskulinitas. Strategi ekonomi-politik dalam menentukan arah perjuangan bersama masih didominasi oleh kelompok masyarakat yang masih konservatif dan memegang teguh nilai-nilai patriarki. Sehingga ruang aspirasi bagi kelompok perempuan masih sangat dibatasi. Semuanya ditentukan dan diarahkan dalam wajah politik kejantanan. Dengan realitas seperti ini, perempuan hanya menjadi pelengkap dan afirmasi kuantitas dalam perjuangan massa melawan kejahatan korporasi maupun negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu hal ini bukan bermaksud untuk mereduksi maupun melemahkan perjuangan rakyat yang telah sekian lama dilakukan oleh kaum tani, nelayan maupun komunitas adat. Namun, kondisi tersebut harus menjadi refleksi dan catatan kritis dalam sebuah gerakan rakyat. Semuanya memilik peran masing-masing dalam perjuangan dan setiap tempat punya dinamika yang berbeda-beda pula. Justru dalam beberapa tahun belakangan, perjuangan rakyat di garis depan perlawanan baik petani, nelayan maupun komunitas adat adalah para kaum perempuan.

Para perempuan tampil di depan menyuarakan langsung dampak yang mereka terima atas rusaknya lingkungan, hilangnya mata pencaharian, kesehatan yang memburuk hingga dominasi oleh kaum laki-laki. Dampak-dampak tersebut mulai dirasakan dan memicu gelombang protes kaum perempuan yang selama ini dianggap tidak punya suara maupun kekuatan politik. Sudah sepatutnya kaum perempuan bisa menentukan nasib dan arah penghidupannya sendiri demi wajah dunia yang setara dan berkelanjutan.  

Catatan Gerakan Perempaun Indonesia untuk Lingkungan Hidup

Gerakan perempuan atas kondisi ekologis dapat disebut juga sebagai ekofeminisme. Secara konseptual, gagasan ini menghubungkan antara gerakan feminis dan ekologi. Ekofeminisme sebagai sebuah gerakan, mulai mendapatkan popularitasnya ketika serikat perempuan di Amerika yang jumlahnya besar berkumpul di konferensi ekofeminis pertama “women and life on earth” pada tahun 1980-an di Amherst yang kemudian menghasilkan pertumbuhan organisasi dan ekofeminis.

Bagi Ynestra King, ekofeminisme adalah tentang keterhubungan dan keutuhan teori dan praktik. Kita melihat kehancuran bumi dan makhluk-makhluknya oleh agen korporat dan ancaman pemusnahan nuklir oleh militer sebagai keprihatinan feminis. Ini adalah mentalitas maskulin yang sama yang akan menyangkal hak kita atas tubuh kita sendiri dan yang bergantung pada beberapa sistem dominasi dan kekuasaan negara untuk memiliki jalan sendiri.

Geliat perjuangan perempuan dalam melawan rakusnya industri ekstraktif dapat ditemui dalam beberapa kasus di Indonesia dewasa ini. Di Mollo, NTT, kita dapat mendengar cerita dari Mama Aleta, seorang aktivis lingkungan yang menentang keras adanya pertambangan di gunung Mutis yang akan menghabiskan sumber pangan dan air dari hutan. Di Kampung Bawone, Pulau Sangihe, para perempuan memprotes PT. TMS yang akan melakukan pertambangan emas di wilayahnya karena akan menghilangkan sumber mata pencaharian mereka.  Cerita perempuan lain juga dapat ditemui di Jawa seperti perjuangan ibu-ibu Kendeng dan Wadon Wadas.

Ibu-ibu Kendeng atau yang sering disebut juga Kartini Kendeng, menjadi salah satu gerakan perempuan yang cukup konsisten hingga saat ini dalam melawan industri pertambangan semen di kawasan mereka. Dalam perjuanganya, sebagai petani dan masyarakat Jawa, mereka menggunakan kebaya dan caping sebagai identitasnya yang melekat. Di samping itu juga mereka kerap membawa kendi dari tanah liat sebagai simbol pentingnya akan sumber air jika alamnya ditambang. Perempuan dan air adalah entitas yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupannya. Sebab mereka menganggap alam sebagai rahim, sejalan dengan apa yang mereka miliki sebagai sumber kehidupan. Puncaknya, pada 2016 mereka melakukan aksi simbolik dengan menyemen kaki di depan istana presiden Jakarta sebagai bentuk protes atas ijin lingkungan PT. Semen Indonesia.

Dalam “Politik Rahim Perempuan Kendeng Menolak Tambang Semen,” Dewi Candraningrum menguraikan bagaimana perempuan-perempuan Kendeng memandang alamnya, dalam hal ini Pegunungan Kendeng sebagai rahim yang memberi banyak penghidupan di sektarnya. Untuk itu mereka harus mati-matian berjuang menolak pertambangan semen dan mengambil peran politk perlawanan ketika para laki-lakinya ditangkapi maupun menjadi buruh di kota-kota besar. Bagi Dewi, perubahan ini justru menjadi momen penting dalam politik perempuan untuk mendapatkan akses ke lahan atau disebut sebagai feminisasi tanah (feminization of land). Sehingga perempuan memiliki kendali atas tubuh dan tanah yang selama ini dikuasai kaum laki-laki semata, termasuk melawan pabrik semen yang akan merenggut ruang hidupnya.

Cerita lain juga dapat dilihat dalam perjuangan Wadon Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang menolak pertambangan batuan andesit di kampungnya untuk dijadikan material Bendungan Bener dari Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah Indonesia. Program dari BUMN ini digadang-gadang untuk mengaliri areal pertanian sekitar, sebagai cadangan air, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) hingga tujuan wisata. Padahal Desa Wadas sudah sangat subur alamnya dengan berbagai hasil bumi yang melimpah mulai dari durian, kopi, kelapa, vanili, kemukus, bambu dan berbagai rempah-rempah lainnya. Wadon Wadas selain bertani, mereka membuat kerajinan besek dari bambu dan gula aren yang langsung dimabil dari alamnya. Mereka tidak menggantungkan pada satu jenis pertanian monokultur yang memakan banyak biaya dan memicu perubahan iklim. Pola pertanian di Wadas justru masih alami dan berkelanjutan, sehingga secara ekonomi mereka diuntungkan juga dengan panen setiap saat dari  tanaman yang beragam.

Seperti halnya perempuan Kendeng, Wadon Wadas pun memiliki hubungan erat dengan alamnya. Mereka mengartikan alam sebagai “Tanah adalah Daging, Batu adalah Tulang, dan Air adalah Darah.” Slogan ini kemudian menjadi simbol warga Wadas yang kerap disuarakan dalam berbagai aksinya. Terkahir, Wadon Wadas melakukan aksi “Mangku Bumi” (menyelamatkan bumi) sebagai bentuk protes. Dalam aksinya mereka melilitkan kain putih (mori) ke pohon-pohon besar di Desa Wadas sekaligus menebarkan kembang setaman. Fenomenai ini megingatkan kita pada aksi memeluk pohon oleh kelompok perempuan di India pada tahun 1970-an sebagai gerakan chipko (chipko movemenet) yang menentang perusakan hutan di kawasan Uttar Pardesh.

Dari berbagai cerita perjuangan perempuan dalam pusaran industri ekstraktif, kita justru banyak belajar bagaimana mereka menghimpun dan bergerak melawan eksploitasi alamnya di tengah keterbatasan dalam masyarakat yang patriarkis. Perempuan ketika memilih untuk berjuang atas ruang hidupnya, mereka harus menembus tembok kolonisasi yang berlangsung sejak lama menguasai tubuhnya sedemikian rupa. Bagaimana negara maupun korporasi memakai modus ‘tanah tandus’ di kawasan pegunungan Kendeng sebagai narasi yang memuluskan proyek pertambangan semen. Hal senada pun terjadi ketika pembangunan Bendungan Bener sebagai dalih untuk menyejahterakan pertanian sekitar meskipun mengeruk batuan andesit dari bumi Wadas yang subur. Kita bisa melihat bagaimana koloniasai bekerja secara tersebulung untuk menguasai sumber daya alam hingga tubuh perempuan yang sudah lama terkekang atas nama pembangunan.

 

 

Referensi:

Yawer Ahmad Mir, Ecofeminism: A Brief Overview. Notions Vol. X, No. 1, 2019 ISSN:(P) 0976-5247, (e) 2395-7239, Impact Factor 6.814 (SJIF)

https://thenonviolenceproject.wisc.edu/2022/04/18/the-chipko-movement-treehuggers-of-india/ (Diakses 17/05/2023)

https://www.voaindonesia.com/a/perempuan-kian-rentan-di-tengah-konflik-sumber-daya-alam-/6659947.html  (Diakses 16/05/2023)

https://www.ekuatorial.com/2021/09/perjuangan-perempuan-sangihe-menolak-tambang-emas/  (Diakses 16/05/2023)

https://www.konde.co/2023/01/lilitkan-kain-ke-pohon-perempuan-wadon-wadas-aksi-tolak-tambang-andesit.html/ (Diakses 16/05/2023)

https://www.jurnalperempuan.org/blog/dewi-candraningrum-politik-rahim-perempuan-kendeng-menolak-tambang-semen?locale=en (Diakses 16/05/2023)

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170422102142-277-209416/aleta-baun-perempuan-pejuang-lingkungan-di-timur-indonesia (Diakses 18/05/2023)

Ikuti tulisan menarik Toto Sudiarjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler