x

Foto Tempo

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Minggu, 21 Mei 2023 16:54 WIB

Edukator

Cerpen Edukator. Cerita harapan senantiasa ada. Menghadapi oknum anti-keadilan, menepis kekuatan semesta keimanan. Arogansi sembunyi di balik waktu peradaban. Salam kasih sayang saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nenek, berkisah di geladak kapal, ketika kami hijrah meniti hidup kedunia dongeng menuju kedamaian surgawi. Aku, senantiasa pendengar setia dongengan Nenek, meski usiaku kini genap, dua puluh lima tahun. Kami selalu gembira tak lepas dari bahagia. Keindahan, panorama sebuah negeri awan-awan, keadilan di kejauhan sungguh estetis. Gugusan pegunungan itu, indah nian berseri-seri. Ya Ilahi, terima kasih atas segala karuniamu.

Kata Nenek Hanaroki "Eksistensi tak penting. Tak guna baginya. Dia, hanya ingin berbagi pengetahuan, keahliannya." Piawai memberi pengajaran anatomi struktur jenjang karakter.

"Semoga tak ada lagi semena-mena," suara Nenek lembut penuh kesabaran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Lempar batu sembunyi tangan maksud Nenek?"

"Serupa tapi tak sama." 

"Oh, gitu ya Nek."

Hanya itu, mungkin, atau lebih detail, dia, akan melihat kemampuan, penalaran, sikap mental, watak dari peranan, memerankan multi dimensi perilaku, mungkin. Tak dapat dipungkiri penetrasi pengamatan pada setiap individu di hadapannya, ketika berhadapan dengan kisah sejarah panjang peradaban, bidang keahliannya.

"Strata sosial?" dia, tak perduli. Catat. Camkan. Lakukan. Dia, mengawasi dengan caranya, tak satupun tahu, ketika dia ada didekat target sekalipun, ahli berperan, menentukan fokus, sebelum menyasar individu berikutnya. Terus berlanjut bertahap, pelahan tak terasa, by one get one. Penurut, pembangkang, diapun tak peduli. Sasaran, target utama, dari sejumlah pilihan edukasi.

Dia, tidak marah, orang terkasih tak pernah kembali, tidak dendam, tak menggugat siapapun. Hanya melaksanakan kewajibannya, mengajar, tuntas, selesai. Kalau luput, dia akan mengulangi dengan sikap puncak dari kesabaran. 

"Mereka ambil cinta itu. Baiklah, itu artinya meraka siap membayarnya di akhirat nanti, itupun kalau mereka masih percaya, Tuhan ada, mengawasi mereka," lanjut Nenek, lama bersabar, rencana matang, satu persatu, utuh ataupun sebagian, dia melakukannya, super intens.

**

Pada suatu dekade, seolah-olah carut marut. Demonstrasi, seakan-akan pula membentuk opini. Dia ada di antaranya, slogan simpang siur, yel-yel berteriak-teriak. Sulit membedakan keadilan keset kaki dengan keadilan simbol dari sektarian. Saat sang waktu menumbangkan kekuasaan monorel, terlihat seperti mudah. Berjumpa beragam pertanyaan di benak Nenek Hanaroki. Dia, tak mencari dalang dari suatu kekejian kemanusiaan. 

"Dihilangkan, puisi hitam di angkasa kata niskala dari acuan arogansi misterius di ranah perubahan cuaca terik matahari siang bolong. Mencipta badai berlalu di ruang bisu dalam kitab aturan kemaslahatan tampak indah dari balik jendela. Prosa melati catatan putih tersimpan di hati doa-doa para ibu, khusyuk, ikhlas, di tengah sahara harapan tak pernah membeku, di hadapan gerbong logam terkunci bersikukuh, keadilan telah dinyatakan." Nenek menghela napas sejenak, mengurai kesabarannya. 

Lanjut Nenek Hanaroki. "Hak dari kehilangan, tak pernah tumbuh pohon kebijaksanaan, seiring teknologi berjalan, seolah-olah terlupakan. Mata-mata tekno mengintip di angkasa maya, mungkin mereka khawatir. Kedok akan terungkap, badut-badut sembunyi tak menari lagi. Para kompanyon kembali jadi tengkulak, mencuci muka, membasuh tangan sebersih-bersihnya. Kaum resmi bungkam, seakan-akan tak paham data kejadiannya, dianggap saja tak ada. Selesai," memandang cakrawala, matanya bagai mampu menembus rahasia langit. 

**

"Hah! Cuma manusia pemula, libas saja. Itu, artinya pembohong besar sukses mengelabui para ibu, telah kehilangan," suara dari balik awan-awan.

"Telah tercatat," suara lain lagi dari langit.

"Tersimpan di pustaka langit," suara lainnya.

"Sudah ditinjau kembali," lain suara lain ladang dari langit sebaliknya. 

"Sedang dipertimbangkan," lain suara lain pula maknanya. 

Waktu bergulir lewat sudah, puluhan tahun silam, melawan lupa tak guna bagi sejarah. "Oh, sejarah? Tak penting banget. Loyalitas, profit ambiguitas berdansa di atas derita," suara lain lagi muncul, terdengar begitu saja. Suara-suara datang pergi silih berganti.

"Apakah dia demokrasi?"

"Ahai, barangkali."

"Bergincu tebal?"

"Mungkin loh ..."

"Hihihi ... Yuk kita ke diskotik aza lah hai." 

Forum diramaikan, gosip berdengung, talk show, menjaring peringkat kosa kata orientasi profit promo aksi, sekenyang keserakahan koruptif, sepenuh isu-isu kebajiran order cepat saji, simfoni asal bunyi meramaikan ruang bisu, terbungkam.

"Keren, sah sih suh. Maka, sus, sih, suh. Dialog kepedulian kemanusiaan, telah ditulis dunia internasional. Berita utama mengangkasa, menjadi headline cerita dunia sebelum tidur, meski tak semirip dongeng putri salju, sekalipun langit dunia, mencatat peristiwa-peristiwa tak terselesaikan," menggema suara itu menjauh, sirna.

**

Nenek Hanaroki, matanya menerawang rembang petang, harapan senantiasa ada di sana, suaranya lirih. "Himne almamater, terus berkumandang, mazmur kasih sayang menuju surga-surga harapan. Doa-doa mengangkasa dari rumah-rumah kasih sayang," harapan itu terlukis bening di matanya.

"Anakku, tak pernah kembali pulang."

"Keadilan? Bagai peluru melayang-layang," sembari memeluk bahu Nenek Hanaroki.

"Harapan selalu ada," senyum Nenek Hanaroki, mengembang.

"Menjadi dongengan selayang pandang," aku, memahami perasaannya di hatiku, kalimat pendek haiku, menulis serpihan pedih.

"Ikhlas ..." Bersandar kepala Nenek, di bahuku. Matahari sembunyi malu-malu.

***

Jakarta Indonesiana, Mei 20, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler