x

kendaraan listrik vs industri ekstraktif

Iklan

Nur Inayati. Fauziyah.

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Mei 2023

Senin, 22 Mei 2023 08:20 WIB

Bagai Pisau Bermata Dua di Balik kendaraan Listrik

Hubungan dilematis antara kendaraan listrik vs industri ekstraktif. Disatu sisi kendaraan listrik telah menjadi simbol ekonomi "rendah karbon". Namun, disisi lain terdapat jejak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang ditimbulkan dari kegiatan industri ekstraktif dalam hal penambangan logam sebagai bahan baku dasar pembuatan kendaraan listrik. Jadi, siapa yang dirugikan dan diuntungkan dalam hal ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#LombaArtikelJATAMIndonesiana

Pernahkah kalian menonton film Blood Diamond? Ya, film ini menceritakan tentang konflik yang terjadi pada sebuah tempat tambang berlian di Afrika. Keberlimpahan sumber daya alam utamanya berlian di zona perang seperti di Liberia dan Sierra Leone membuat wilayah ini menjadi sasaran empuk bagi para oknum yang ingin mengambil profit semaksimal mungkin tanpa mengindahkan aspek kemanusiaan.

Berbagai cara kotor tetap dilakukan untuk mengambil keuntungan termasuk menghabisi nyawa musuh. Kelompok pembelot negara juga mencoba menguasai wilayah tambang dan mengambil keuntungan berlian untuk dijual dan membeli senjata. Kondisi yang memprihatinkan seperti ini membuat kawasan tambang di Afrika tersebut dijuluki sebagai blood diamond atau berlian darah, karena berlian yang didapatkan dari hasil tambang tidak lepas dari tetesan darah para budak dan pekerja yang diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejatinya, fenomena yang terjadi di Afrika tersebut sampai sekarang masih marak terjadi termasuk di Indonesia. Kejadian ini pada dasarnya bersumber pada kegiatan industri ekstraktif yang masih merajalela bak jamur tumbuh di musim hujan. Industri ekstraktif bahan baku utamanya berasal dari alam dan diambil secara langsung. Industri ekstraktif banyak terdapat di Indonesia, terlebih kekayaan alam Indonesia yang berlimpah ruah.

Masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia yang mendunia sebagai bahan baku industri. Dengan kekayaan yang bermacam-macam maka jenis industri ekstraktif di Indonesia pun bisa beragam. Adapun tujuan utama industri ekstraktif adalah untuk mengolah kekayaan alam agar menjadi barang-barang yang bermanfaat bagi manusia, sehingga bisa dijadikan berbagai macam produk yang bisa dimanfaatkan. Salah satu jenis industri ekstraktif yang memiliki profit ekonomi berlimpah adalah industri ekstraktif pertambangan.

Pertambangan memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan jenis industri ekstraktif lainnya. Pasalnya pertambangan merupakan kegiatan yang melibatkan proses panjang mulai dari upaya pencarian, penggalian, penambangan, pemurnian, pemanfaatan dan penjualan bahan galian. Bahan galian yang didapat biasanya berupa mineral, batubara, logam, panas bumi dan migas.

Menurut Gatot (2012) setidaknya terdapat empat karakteristik khas dari industri ekstraktif pertambangan yaitu: (1) lokasi penambangan (site) pasti jauh dari kota besar dan umumnya merupakan desa terpencil. Oleh karena itu, diperlukan akses yang memadai untuk mobilisasi segala peralatan penambangan dari pusat ke daerah tersebut; (2) bahan baku penambangan jumlahnya tidak dapat diprediksi dan tidak dapat diperbaharui; (3) memerlukan modal besar dan termasuk dalam bisnis yang padat risiko; dan (4) cenderung merusak lingkungan. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penambangan yang berujung pada pencemaran lingkungan karena limbah hasil penambangan tidak dikeola dengan baik. 

Fakta menunjukkan bahwa lingkungan bekas tambang tidak bisa dikembalikan seperti 100% lingkungan awal sebelum kegiatan pertambangan dilakukan.  Dari berbagai fakta tersebut, industri pertambangan tetap menjadi pilihan yang empuk bagi para pelaku bisnis karena memiliki return atau imbal hasil profit yang sangat besar walaupun diperlukan modal besar pula dan memakan waktu yang lama.

Seperti yang kita ketahui industri ekstraktif pertambangan akan terus berjalan seiring permintaan pasar (ekonomi) yang juga meningkat. Salah satunya adalah program pemerintah Indonesia untuk melakukan akselerasi pertumbuhan industri kendaraan listrik nasional. Hal ini sejalan dengan tren dunia yang bergerak ke arah penggunaan kendaraan yang hemat energi dan ramah lingkungan.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Taufik Bawazier, menyatakan pemerintah telah menetapkan target pada 2025 produksi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) mencapai 400 ribu unit untuk roda empat dan 1,76 juta unit roda dua. Target produksi ini akan terus meningkat hingga pada 2030 mencapai 600 ribu unit roda empat dan 2,45 juta unit roda dua. Target tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk merealisasikan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada 2030. Hal itu akan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama produsen otomotif dunia. Pengembangan kendaraan listrik juga diyakini dapat menarik investasi di sektor industri komponen utama seperti baterai, motor listrik dan power control unit (PCU) yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi.

Bahan baku utama untuk baterai mobil listrik adalah logam lithium-ion (Li-ion). Logam ini dominan dipilih untuk kendaraan listrik karena memiliki efisiensi energi tinggi. Selain itu sistem pengisian baterainya lebih cepat dan mampu bertahan dalam waktu yang panjang. Selain logam lithium, nikel juga digunakan dalam kendaraan listrik. Nikel dianggap memiliki kepadatan baterai yang besar. Masa pakai baterai nikel ini cukup banyak, yaitu bisa digunakan untuk 500-1000 kali siklus charge daya. Oleh karena itu, kedua jenis logam ini menjadi incaran para produsen industri baterai untuk menyuplai bahan baku utama pembuatan kendaraan listrik tersebut.

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif khusus kepada para pelaku industri KBLBB dan sejak 20 Maret 2023 lalu pemerintah Indonesia resmi memberikan insentif untuk pembelian sepeda motor baru berbasis baterai sebesar Rp 7 juta per unit. Hal ini tentu akan meningkatkan demand masyarakat untuk membeli kendaraan listrik dan menjadi pemicu pelaku bisnis industri KBLBB untuk semakin menggeliat. Sebagai konsekuensinya, banyak bermunculan perusahaan baru yang bergerak dibidang penambangan nikel ataupun jenis logam lainnya sebagai komponen utama dalam pembuatan kendaraan listrik.

Secara garis besar terlihat bahwa akselerasi pembuatan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) menjadi solusi yang tepat untuk mendukung usaha pemerintah mengurangi GRK. Namun, pada kenyataannya ekpansi kegiatan ekstraktif pertambangan membuat lingkungan di lokasi penambangan (mining) tersebut menjadi rusak dan tercemar. Pasalnya, banyak perusahaan yang mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan demi mendapatkan profit yang besar. Tidak hanya itu, isu kemanusiaan juga menjadi sorotan penting untuk diperhatikan karena para pelaku industri ekstraktif tersebut sering menggunakan tindakan kekerasan dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Menurut Laporan dari Jaringan Advocacy Tambang (JATAM) yang dirilis pada bulan April 2023 lalu menyatakan bahwa  dampak negatif dari ekstraksi mineral dan logam yang dibutuhkan seringkali diremehkan, meskipun seluruh rerantai pasokannya bertumpu pada ribuan situs ekstraksi dan perluasan infrastruktur serta logistiknya merusak kehidupan.

Industri ekstraktif seperti pertambangan nikel menuntut pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal. Operasional industri tambang dan smelter nikel – dimana seluruh suplai energi listriknya bersumber dari batubara, menuntut pembongkaran pulau-pulau lain yang kaya akan batubara. Setiap pulau dipaksa untuk saling memangsa. Seluruh daya rusak ini tidak dianggap sebagai bagian dari kerugian negara, semua dibebankan kepada warga lokal.

Sebaliknya, ragam insentif melalui kebijakan dan regulasi, termasuk jaminan keamanan investasi terus diberikan pemerintah kepada para pelaku industri ini. Salah satu contoh nyata kejadian ironi seperti ini terdapat di  Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara yang menjadi lokasi penambangan nikel sejak 2019 silam. Sumber utama kehidupan warga Desa Kawasi sebelum adanya aktivitas penambangan ini adalah berkebun dengan komoditas kelapa dan jambu monyet sebagai komoditas utama. Akan tetapi, semenjak perusahaan penambangan smelter nikel itu masuk, semua lahan perkebunan itu digusur paksa dengan menggunakan siasat licik, dengan menerobos terlebih dahulu baru melakukan negosiasi.

Di saat yang sama, perusahaan mengklaim jika lahan-lahan yang diterobos itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak. Sementara, warga Kawasi yang mayoritas adalah petani terpaksa beralih kerja. Selain beralih menjadi buruh-buruh di perusahaan tambang, para perempuannya juga terpaksa bergantung pada ekonomi pertanian yang dikelolah oleh perusahaan lewat jalan “pemberdayaan”. Ekonomi pertanian yang biasa mereka kelola untuk kebutuhan sehari-hari dan sekolah anakanak diokupasi distribusinya kepada perusahaan.

Selain itu, aktivitas penambangan nikel di Desa Kawasi juga telah melenyapkan sumber air akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Warga yang sebelum tambang masuk dan beroperasi bisa mendapatkan air secara gratis kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air telah tercemar.

Setelah ruang hidup warga di darat dihancurkan, ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi pun turut dirusak dan dicemari. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan. Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat. Selain itu, limbah beracun yang dibuang ke laut itu berdampak pada keberlangsungan ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan sumber daya perikanan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan dan penghidupan.

Rangkaian panjang kejahatan kemanusiaan dan lingkungan dibalik industri ekstraktif penambangan ini masih terus berlanjut hingga detik ini. Namun, berbagai regulasi dan upaya penegakan hukum bagi warga yang terintimidasi masih belum mendapatkan jawaban yang jelas. Sementara itu, promosi pembuatan kendaraan listrik terus digalakkan dan telah menjadi simbol ekonomi “rendah karbon”. Hal ini membuat fenomena kendaraan listrik menjadi seperti pisau bermata dua, yaitu di satu sisi mendapatkan keuntungan namun disisi lain terdapat bahaya atau ancaman yang terus berlanjut. Pembuatan kendaraan listrik secara massal tentu memperlukan bahan baku baterai yang berasal dari industri ekstraktif.

Hal ini membuat terbukanya lapangan pekerjaan baru karena banyaknya perusahaan yang bermunculan untuk melakukan kegiatan penambangan sehingga tingkat pengangguran dapat ditekan. Selain itu, pemakaian mobil listrik memang dapat mengurangi jumlah pelepasan emisi GRK karena mesinnya tidak menghasilkan pembuangan residu emisi CO2 (karbondioksida) dan CO (karbonmonoksida).

Terlepas dari sisi positif yang ditawarkan, pengembangan kendaraan listrik secara massal juga memberikan dampak serius pada lingkungan utamanya pada lokasi tempat dilakukannya penambangan bahan baku baterai serta tidak luput dari kejahatan kemanusiaan seperti yang telah diuraikan diatas. Ironisnya, berdasarkan data yang dilansir oleh PWYP Indonesia, industri ekstraktif seperti penambangan migas dan minerba memiliki track record yang buruk dalam isu gender. Lingkungan kerja industri ekstraktif cenderung didominasi oleh maskulinitas, sehingga banyak terjadi diskriminasi, pelecehan seksual hingga kekerasan pada perempuan di lingkungan kerja dan sekitar. Perempuan seringkali mendapatkan perlindungan sosial yang buruk, jauh dari jaring pengaman sosial tradisional, dan kurang terwakili dalam industri ekstraktif. Beberapa bentuk kasus kekerasan pada perempuan yang umum terjadi di lingkungan pertambangan industri ekstraktif di Indonesia seperti: (1) pelecehan seksual pada perempuan di lingkungan pekerjaan; (2) pencemaran pada sumber air dan tanah oleh limbah mengakibatkan perubahan kondisi ekonomi dan kesehatan perempuan; (3) meningkatnya KDRT; dan (4) tumbuhnya prostitusi berkedok warung kopi pangku, dimana wanita dijadikan sebagai objek seksual.

Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang inklusif untuk mengatasi dilema yang ada pada fenomena industri ekstraktif di Indonesia sebagai bagian dari bahan baku pembuatan kendaraan listrik. Pertama, perusahaan wajib menciptakan lingkungan yang aman untuk warga sekitar sebelum menciptakan SOP kegiatan penambangan. Kedua, pemerintah harus menegakkan regulasi yang mengatur tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan dari kegiatan perusahaan serta menjamin HAM setiap warga yang terlibat di lokasi sekitar penambangan. Ketiga, perusahaan harus bertanggung jawab penuh terhadap pemulihan kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas ekstraktif yang dilakukan dan akan mendapatkan sanksi berat dari pemerintah jika tidak melaksanakannya. Keempat, diperlukan teknologi mutakhir untuk mengolah hasil limbah penambangan agar tidak merusak lingkungan. Terakhir, pemerintah sudah seharusnya memprioritaskan kebijakan pembuatan kendaraan listrik untuk transportasi umum dibandingkan untuk kendaraan (transportasi) pribadi. Diharapkan kedepannya dilema yang muncul dari pembuatan kendaraan listrik ini dapat teratasi dengan baik yang tentu saja dibutuhkan sinergi kolaboratif antara negara-korporasi-masyarakat.

#LombaArtikelJATAMIndonesiana

Referensi :

https://style.tribunnews.com/2017/04/27/sinopsis-blood-diamond-leonardo-dicaprio-taruhkan-nyawa-demi-berlian-langka-malam-ini-di-transtv

https://ilmugeografi.com/geografi-teknik/industri-ekstraktif

https://kemenperin.go.id/artikel/22304/Upaya-Pemerintah-pada-Pertumbuhan-Industri-Kendaraan-Listrik

https://www.voaindonesia.com/a/mulai-20-maret-pemerintah-berikan-insentif-kendaraan-listrik/6992960.html

https://pwypindonesia.org/id/perempuan-dan-kekerasan-pada-industri-ekstraktif-di-indonesia/

Supramono, Gatot, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta

Jalan Kotor Kendaraan Listrik. Jejak Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan di Balik Gurita Bisnis Harita Group

Ikuti tulisan menarik Nur Inayati. Fauziyah. lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler