x

Iklan

Wahyu Eka Styawan

WALHI Jawa Timur
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Selasa, 23 Mei 2023 13:34 WIB

Sesat Jalan Transisi Energi di Indonesia

Mendorong transisi energi tetapi tidak jauh beda dengan sebelumnya, di mana ada praktik-praktik eksploitasi bahkan masih bergantung pada ekstraktivisme boleh dikatakan bahwa hal tersebut bukanlah transisi energi, melainkan bentuk solusi palsu. Karena sangat jauh dari transisi energi ke terbarukan di mana prinsipnya adalah demokratis, minim resiko dan tidak eksploitatif. Sampai detik ini pemerintah masih gagal dalam melakukan transisi energi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Krisis Iklim semakin nyata dampaknya. Beberapa waktu lalu kita disuguhkan aneka bencana yang melanda berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Seperti dalam rilisan World Health Organization disbeutkan bahwa buruknya keadaan iklim hari ini telah memantik gelombang panas terburuk yang pernah ada di Eropa. Korbannya hampir mencapai 15 ribu orang sampai tahun 2022 ini. Lalu mereka juga mencatatkan Eropa tengah mengalami peningkatan suhu ekstrem sejak 1961 hingga 2021 dengan rata-rata peningkatan 0.5 °C tiap dekade. Dampaknya 158 ribu orang menjadi korban dalam 50 tahun. Tetapi yang terburuk ialah 15 ribu orang menjadi korban hanya dalam satu tahun saja. Pada 2021 di Eropa hampir ratusan fasilitas publik dan rumah warga rusak, hampir 84% disebabkan oleh badai dan banjir.

Tidak hanya di Eropa, pada wilayah Asia Selatan, yakni Pakistan, terjadi dua bencana iklim yang begitu ekstrem. Pertama, di Kota Jacobabad, selama 122 tahun mereka mengalami peningkatan suhu di atas rata-rata, di mana suhu pada kota tersebut mencapai 49 °C. Dampaknya wilayah tersebut mengalami kekeringan parah. Keamanan pangan juga terganggu, karena hampir 50% produksi pangan lenyap. Tentu banyak anak kecil bahkan orang dewasa khususnya lansia dan ibu hamil menderita akibat kondisi pemanasan ekstrem. Kedua, Pakistan dilanda beberapa peristiwa banjir hebat. Sejak awal Juni pakistan dilandan banjir akibat hujan monsoon dan mencairnya glasier. Total ada sekitar 1.717 orang meninggal, termasuk 639 anak-anak, dan 12.867 lainnya luka-luka. Lebih dari 2,1 juta orang kehilangan tempat tinggal akibat peristiwa tersebut. Tidak hanya itu pertanian dan peternakan juga terdampak sehingga mengakibatkan ketidakamanan pangan.

Sementara di Indonesia berdasarkan data BNPB dalam situsnya, sejak Januari hingga November 2022 telah terjadi 2.077 kejadian yang mayoritas didominasi bencana iklim. Dampak dari kejadian tersebut telah mengakibatkan 23 orang meninggal, 178.071 orang menderita dan sekitar 25.116 penduduk mengungsi. Sebagai contoh kasus dapat dilihat di Jawa Timur, sepanjang bulan Januari sampai November awal 2022 ini terdapat 164 kejadian bencana hidrometeorologi yang tersebar hampir di seluruh titik Provinsi Jawa Timur. Tetapi kejadian bencana iklim beruntun terjadi dalam rentang September hingga awal november ini, di mana terdapat kurang lebih 84 kejadian bencana iklim yang didominasi oleh banjir, longsor dan puting beliung. Paling tidak selama hampir 3 bulan kejadian bencana tersebut telah mengakibatkan 23,891 orang menjadi korban dan sekitar 1280 orang menjadi mengungsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melihat persoalan tersebut tentu penting untuk mulai membahas dan mendiskusikan persoalan perubahan iklim ini. Mengingat pada 6-18 November juga digelar Conference of the Parties (COP) ke 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. Selain itu pada 15-16 November di Bali, Indonesia juga digelar G-20 Summit. Paling tidak dua forum besar tersebut juga membahas mengenai perubahan iklim dan upaya apa yang akan dilakukan oleh forum pemimpin dunia sebagai tindak lanjut dari Paris Agreement yang disepakati dalam COP 21 di Paris pada 2015 Silam. Penting untuk dibaca bahwa forum tersebut berpegang teguh pada upaya untuk tidak melampaui suhu 1.5 °C dengan mulai membahas skema Net Zero Emission, Reducing Deforestation and Land Degradation, Green Economic Transition dan Energy Transition.

Meskipun sudah banyak komitmen yang dicapai, tetapi semua itu belum cukup untuk memujudkan transisi energi yang berkeadilan. Karena kesepakatan-kesepakatan yang dibuat masih belum cukup untuk menjawab krisis iklim melalui transisi energi, sebab di antara banyak negara khususnya Indonesia masih setengah-setengah dalam menjalankan transisi energi, bahkan banyak di antaranya program-program transisi energi merupakan solusi palsu. Artikel ini akan mengantarkan mengapa transisi energi di Indonesia masih sesat dengan solusi-solusi palsunya.

Transisi Energi di Indonesia Salah Jalan

Merujuk pada RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) sejak tahun 2022 transisi energi ke energi baru terbarukan tampak begitu masif dan menjanjikan.  Seperti target bauran energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian ESDM yang harus mencapai sekitar 23% dalam tahun 2025. Namun hingga saat ini 2022-2023 masih 14,11% naik tidak lebih dari 2% dari tahun 2021 yang mencapai 13,65%. Sementara data dari Kementerian ESDM, menunjukkan jika PLTU masih tercatat sebagai sumber energi utama dengan produksi sekitar 42,1 GW, lalu disusul oleh PLTG/GU/MG sekitar 21,6 GW.

Progress pembangunan energi terbarukan sendiri baru mencapai 14%, itupun mayoritas berasal dari energi problematik seperti PLTA yang produksinya mencapai 6,6 GW, lalu panas bumi atau PLTP sekitar 2,3 GW, dan bioenergi sebesar 3 GW. Dapat dikatakan jika upaya transisi energi di Indonesia masih tidak bisa lepas dari fosil dan cenderung setengah-setengah, seperti yang disampaikan dalam Indonesia energy transition outlook 2022 di mana keberadaan PLTU masih dominan, serta belum ada kemungkinan untuk digantikan dalam skala progresif.

Melihat data yang tersedia tersebut komitmen transisi energi di Indonesia memang patut dipertanyakan, apalagi dalam praktik terbarunya, pemerintah Indonesia memasukkan LNG dan biomass sebagai salah satu bagian dari transisi energi. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa beralih dari batu bara ke LNG dan biomass merupakan transisi energi yang realistis. Tetapi masalahnya, transisi energi secara gamblang menyebutkan bahwa ada perubahan penggunaan energi dari fosil atau energi yang bersumber dari deforestasi menuju penggunaan energi dari sumber yang dapat diperbarui serta tidak turut mendorong deforestasi.

Masih dominannya penggunaan energi fosil bahkan dalam hal ini diklaim sebagai bagian dari transisi energi, lalu memasukkan biomass dalam bentuk co-firing yang dicampurkan dalam pembakaran bersama batu bara, sudah menujukkan betapa tersesatnya jalan pikiran pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi. Bahkan kesesatan ini dipertegas dalam Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU EBT) yang mencantumkan transisi realistis serta bermuatan mempertahankan lebih lama penggunaan energi fosil alih-alih melakukan transisi energi.

Selain itu RUU EBT juga mencantumkan nuklir sebagai salah satu energi terbarukan, tentu ini bermasalah sebab nuklir juga dihasilkan dari praktik ekstraktivisme serta termasuk energi yang tinggi resiko, sehingga memasukkannya sebagai energi terbarukan adalah kesalahan. Di samping RUU ini juga masih memasukkan energi tinggi resiko seperti panas bumi dan energi air. Mengapa demikian, kita bisa lihat betapa dampak panas bumi begitu berbahaya, mulai dari Sorik Marapi di Sumatera Utara, Mataloko di NTT, Slamet dan Dieng di Jawa Tengah semuanya mengalami masalah dan merugikan masyarakat serta mengancam keberadaan ekosistem dan masa depan pangan.

Tidak hanya itu rata-rata panas bumi akan dibangun pada tempat-tempat termasuk kawasan hulu seperti Arjuno Welirang, Argopuro, Lawu bahkan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru untuk di Jawa Timur, tentu resiko kerusakan akan sangat tinggi, apalagi keberadaan panas bumi sebagai sebuah energi ternyata sangat erat kaitannya dengan proyek investasi infastruktur dan kawasan ekonomi baru. Lalu untuk energi air, merupakan sumber energi yang rakus ruang karena mayoritas harus dibangun dulu waduk besar. Pembangunan tersebut seringkali menggusur kampung-kampung yang ada di sekitarnya, seperti yang terjadi di Waduk Kedungombo puluhan tahun lalu, lalu proyek PLTA di Sulawesi Tengah, terbaru pembangunan Bendungan Bener di Jawa Tengah yang salah satu tujuannya untuk sumber energi telah menggusur lahan pertanian, merampas hak warga dan menimbulkan konflik.

Mendorong transisi energi tetapi tidak jauh beda dengan sebelumnya, di mana ada praktik-praktik eksploitasi bahkan masih bergantung pada ekstraktivisme boleh dikatakan bahwa hal tersebut bukanlah transisi energi, melainkan bentuk solusi palsu. Karena sangat jauh dari transisi energi ke terbarukan di mana prinsipnya adalah demokratis, minim resiko dan tidak eksploitatif. Sampai detik ini pemerintah masih gagal dalam melakukan transisi energi. Tentunya sangat jauh sekali jika berbicara komitmen menghadapi perubahan iklim, karena upaya yang dilakukan pemerintah signifikansinya kecil untuk mengurangi peningkatan suhu yang saat ini hampir mencapai 1.5°C.

Transisi Energi Membutuhkan Transformasi Politik

Seperti yang sudah dicontohkan oleh pemerintah bahwa penggunaan kata transisi energi dan energi terbarukan dapat dimaknai sesuai dengan kebutuhan mereka. Pengunaan kata dalam transisi energi dan energi terbarukan versi pemerintah menunjukkan bagaimana bahasa otoritatif untuk mewadahi eksploitasi dan ektraktivisme seperti biasa, menunjukkan sebuah relasi kuasa dalam memainkan peran bahasa untuk menormalisasi keadaan serta pilihan pemerintah untuk tetap setia pada fosil atau industri ekstraktif. Hal ini menunjukkan bahwa secara politis mereka tidak mempunyai komitmen untuk melakukan transisi yang seharusnya.

Tentu kita memang perlu melakukan dorongan kebijakan, memberikan saran dan masukan ke pemerintah sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa NGO atau kelompok akademisi. Tetapi yang luput dari perhatian adalah relasi kuasa dan persoalan ekonomi politiknya. Maka tidak mengherankan penafsiran transisi energi dan energi terbarukan benar-benar dibelokkan untuk kepentingan mereka sendiri. Sehingga di sini harusnya dapat disadari transisi energi apalagi yang berkeadilan tanpa transformasi politik adalah suatu kemustahilan.

Mengapa demikian, merujuk pada Paul Robbins (2012:86) dalam Political Ecology A Critical Introduction menyebutkan bahwa pemerintah dalam hal ini aktor yang berkuasa memiliki kekuatan untuk memaksa perubahan regulasi dalam tata kelola sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan mereka terutama kelompok elite. Sama halnya dengan transisi energi Indonesia serta proyek energi terbarukan di Indonesia, tentu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan elite-elitenya terutama kelompok yang memiliki kepentingan bisnis dalam industri ekstraktif yang tidak ingin kerajaan bisnisnya hancur. Maka agar tetap menguasi setiap sendi ekonomi mereka pun juga bertransisi untuk menjadi pemain baru dalam fase-fase transisi energi. Misalnya keberadaan panas bumi, di mana rata-rata aktornya adalah pemain lama dalam industri ekstraktif sebut saja Medco dan Bakrie.

Transformasi politik benar-benar dibutuhkan karena selama ini pola politik mainstream terutama dalam transisi energi benar-benar hanya memfasilitasi kepentingan bisnis besar, bahkan tidak tanggung-tanggung bahwa dominasi sangat tampak kala bagaimana rezim kebenaran sebagaimana dikatakan Foucault, mencoba untuk menentukan kebenaran sesuai dengan watak kekuasaan yang dipaksakan melalui prosedur perwujudan kebenaran untuk dipaksakan kepada individu. Seperti yang terjadi saat ini di mana transisi energi dan energi terbarukan masih memuat ektraktivisme seperti fosil, nuklir, biomassa dan panas bumi.

Tidak akan ada perubahan selama masih ada dominasi kekuasaan dalam upaya transisi energi, justru yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah transformasi. Meminjam pemikiran Yavor Tarinski dan Alexandros Schismenos (2021:35) Common futures : social transformation and political ecology, perlu saat ini untuk mulai memikirkan sebuah imajinasi bagaimana memunculkan sebuah perubahan secara mendasar bukan hanya sekedar kebijakan, tetapi juga struktur kekuasaan serta sistem yang lebih mengarah pada demokrasi ekologis yang bertumpu pada dorongan dari bawah dan masyarakat lebih luas. Di mana suara-suara masyarakat lebih kuat dan menjadi tumpuan dalam penentuan kebijakan ekologis, bukan lagi bertumpu pada dominasi dan hirarki elite sebagaimana sekarang ini.

Pada akhirnya, sangat mustahil berbicara transisi energi berkeadilan tanpa merubah struktur kekuasaan dan sistem yang eksis. Justru yang ada adalah reproduksi kesesatan berpikir seperti sekarang ini. Maka transformasi politik menjadi hal wajib, jika ingin sesat pikir transisi energi benar-benar hilang. Krisis iklim membutuhkan perubahan yang progresif dan radikal, baik dari segi kebijakan terutama transisi energi ke energi terbarukan, mendokstruksi pertumbuhan dan bisnis seperti biasa. Sebab transisi tanpa transformasi politik dan ekonomi adalah melanjutkan krisis yang saat ini terjadi.

#LombaArtikelJATAMIndonesiana

Ikuti tulisan menarik Wahyu Eka Styawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler