x

freepik

Iklan

Idatus sholihah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 November 2022

Selasa, 23 Mei 2023 13:57 WIB

Lelaki yang Mencintai Laut

Seharusnya pasangan suami-istri itu tidak menjadi sepasang pelaut hingga tua. Bukankah menjadi petani sudah lebih dari cukup? Mereka memiliki tanah yang bisa digarap, lalu mengapa harus bersusah payah setiap pagi buta menembus kedinginan dan menghirup dingin dan amis laut?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sarti, berdiri dan mengambil anak  hiu banteng dari kolam lalu dilepasnya ke laut. Dilarungkan segala duka dan kenangannya di sana, kelebat pagi dan petang ketika dia mengantar dan menjemput kepulangan.

****

Hari masih gelap, bahkan azan subuh belum berkumandang ketika ia harus pergi melaut. Sepagi itu pula, Sarti harus menyiapkan perbekalan suaminya, sarung, air minum, serta makanan untuk sarapan dan makan siang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Darto. Di usia menjelang setengah abad itu masih belum berhenti melaut, tidak sekali dua kali ia diminta istrinya untuk istirahat saja, biarlah mereka mencari uang dengan menjual hasil kebun kecil belakang rumah. Toh, mereka hanya berdua dan tidak memerlukan banyak kebutuhan dan kemewahan. Bagi Sarti, di masa tua yang serba sepi, cukuplah suaminya menjadi kawan. Namun Darto adalah lelaki yang biasa hidup berkalang ombak dan angin laut. Laut adalah bagian dari jiwanya. Jika sudah demikian, Sarti tidak mampu berkata-kata  lagi.

Pernah suatu ketika Sarti pura-pura sakit biar suaminya tidak pergi melaut, ia berpura muntah dan diare sehingga badannya lemas. Jadi untuk keperluan apapun agar disiapkan suaminya. Kekonyolan itu bukan tanpa alasan, itu bermula ketika seperti biasanya, mengantar Darto melaut. Sejak keluar rumah ia didera perasaan tidak enak, tapi ia tidak mungkin melarang suaminya melaut tanpa alasan, yang jelas akan ditolak.

Rumah mereka tidak berada di pesisir pantai, butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai di pantai. Sepanjang perjalanan ketika dibonceng sepeda ontel tua, Sarti masih dihantui perasaan aneh itu. Sesampai di pantai, dilihatnya Darto yang mencoba melepas ikatan perahu dengan senyum yang aneh. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali Darto memasang senyum seaneh itu, tapi sial ingatannya ternyata sama tua dengan usianya. Terpaksa ia melepas kepergian suaminya dengan keanehan yang belum terjawab.

Dilihatnya Darto dan perahunya yang kian menjauh.

****

Seharusnya pasangan suami-istri itu tidak menjadi sepasang pelaut hingga tua. Bukankah menjadi petani sudah lebih dari cukup? Mereka memiliki tanah yang bisa digarap, lalu mengapa harus bersusah payah setiap pagi buta menembus kedinginan dan menghirup dingin dan amis laut?

Bagi Darto, laut adalah jiwanya yang utuh, ia bisa bahagia melihat ikan-ikan yang seolah mengajaknya bicara. Dan ingatan akan ibunya, konon kata ayahnya ibunya meninggal sebab pelayaran untuk pulang ke Jawa setelah ibadah haji. Dalam perjalanan ibunya sakit keras, keadaan tidak memungkinkan jika menunggu sampai di darat untuk dimakamkan, jadi dengan berat hati dilarungkan jenazah ibunya ke laut.

Dulu perjalanan haji membutuhkan waktu berbulan-bulan, Darto sementara dititipkan pada neneknya. Ketika ayahnya sampai tanah air dan ia tidak mendapati sosok ibunya ia memberondong pertanyaan. Dengan terus terang ayahnya menjelaskan bahwa ibunya sakit dan meninggal di perjalanan. Sejak saat itu, Darto hanya tinggal dengan ayah dan neneknya. Ia cukup tabah menghadapi kehilangan, namun jiwanya masih anak-anak sekalipun sudah berusia 12 tahun, ia akan pergi ke laut setiap petang, entah sekadar berjalan menyusuri pantai atau berenang. Ia merasakan bahwa ibunya ada di sana, dengan keberadaan gerombolan ikan yang mengelilinginya ketika berenang. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, kelak ia akan menjadi pelaut.

Di usia dewasa ia menikahi Sarti, perempuan yang ditemui sejak setahun terakhir ketika petang saat di pantai. Sarti adalah pendatang di sekitar pesisir sana, setiap sore ia dan kawan-kawannya akan mencari remis - kerang kecil, untuk dijadikan lauk tambahan atau bahkan dijual untuk ditukar jajanan. Ia mengatakan pada Sarti bahwa ia akan menjadi pelaut hingga tua, istrinya itu tidak keberatan. Dengan senang hati selalu mengantar dan menyambut tiap berangkat dan pulang. Semenjak menikah Sarti tinggal di rumah Darto, sebuah desa yang mayoritas penduduknya sebagai petani. Setelah mengantar suaminya melaut, ia akan menyibukkan diri dengan bertanam sederhana di tanah belakang rumah. Dulu orang tuanya adalah petani, sebelum pindah ke pesisir itu untuk sekadar berganti suasana.

Halaman belakang rumah ditanami kunyit, jahe, serai, serta beberapa sayuran. Setidaknya itu cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari, jika dirasa lebih dibolehkan para tetangga mengambil jika ada yang butuh. Ikan-ikan hasil melaut suaminya tidak pernah dijual ke pasar, biasanya tetangga akan dengan sendirinya datang ke rumah Darto untuk membeli. Mereka suka sebab ikan yang ditangkap Darto masih segar.

Kehidupan sederhana mereka tidak diwarnai percekcokan, namun usia pernikahan mereka sudah sepuluh tahun sedangkan belum juga dikaruniai keturunan.  Sore itu setelah suaminya mandi, mereka duduk di beranda. Sarti menceritakan kerisauan hatinya.

"Setelah tua kita akan jadi apa, pak?"

Darto bergeming dan hanya membalas tatapan sedih istrinya. Ia paham, bagaimana perasaan istrinya setiap hari jika ditinggal melaut. Di rumah seorang diri.

"Apakah kita akan kesepian? Bagaimana jika salah satu dari kita meninggalkan dunia ini lebih dulu?" Tanyanya dengan terisak.

"Tidak, kita akan tua namun jiwa kita tidak akan pernah sepi. Kesepian jiwa manusia itu berasal dari batinnya yang sukar menerima segala perkara."

Ditenangkan istrinya itu.

****

Sehari sebelum pura-pura sakit, Sarti melihat Darto dan perahunya didorong sepasang ikan hiu. Darto tidak menyadari sebab sedang mencoba menyalakan mesin perahu, anehnya hiu itu tidak mendorong dengan keras. Itu terlihat jelas namun suara Sarti terlalu lirih untuk berteriak dan memanggil Darto. Sarti masih penasaran, ada apa gerangan? Sepanjang hari itu pikirannya tidak tenang, ia was-was jika sesuatu buruk menimpa suaminya. Dalam kepercayaan keluarga buyutnya yang juga seorang nelayan, munculnya hiu adalah pertanda yang tidak baik. Kakeknya meninggal setelah tombak yang digunakan untuk melaut tidak sengaja melukai hiu. Selang beberapa Minggu kakeknya jatuh ke laut, sebelah kakinya hilang dimakan hiu.

Untung, hari itu Darto baik-baik saja. Dia datang dengan ikan yang lebih banyak dari biasanya. Namun pikiran Sarti tetap tidak tenang, ia harus mencari cara agar esok hari suaminya tidak mencari ikan. Sarti tidak bisa bersandiwara sakit lebih dua hari, sebab suaminya akan membawanya ke dokter. Selama dua hari itu, Darto hanya libur melaut, ketika Sarti tidur siang Darto akan tetap pergi ke laut untuk berjalan-jalan dan menyapa nelayan sekitar. Ada perasaan yang hilang jika sehari saja ia tidak ke sana. Namun anehnya, meskipun berada di bibir pantai, ikan-ikan itu tetap menghampiri namun tiap kali akan diambil mereka melarikan diri dan bubar dari gerombolan.

Darto tidak mengambil pusing itu, pikirnya karena sejak kecil ia sudah terbiasa di laut maka tak asing jika ikan-ikan seolah menjalin pertemanan dengannya dengan cara begitu.

Di sisi lain, Sarti bingung mencari alasan apa lagi untuk mencegah kepergian suaminya melaut. Di pagi ketiga itu, ia tidak kuasa menahan Darto di rumah. Ia mengantar seperti biasanya. Dilepas kepergian suaminya dengan sangat berat hati. Ia tidak mengatakan peristiwa tempo hari, sebab khawatir suaminya akan berpikir yang tidak-tidak. Dipendamnya seorang diri dan ia hanya berdoa semoga suaminya baik-baik saja. Dicium punggung tangan Darto sembari menangis.

"Buk, laut memberi kita kehidupan. Ia adalah tempat yang baik, kawan yang baik, seperti yang bapak ceritakan, sejak kecil mencari sisi lain kehidupan dari sini," ujarnya sembari mengusap kening Sarti.

"Tak usah khawatir, ini akan baik-baik saja, kita semakin tua, wajar jika muncul kekhawatiran seperti itu," Darto kembali menambahi.

"Hati-hati" Sarti hanya bisa mengucap itu singkat.

Dilihatnya Darto yang perlahan jauh.

Sore itu, Sarti menunggu kepulangan suaminya, perahu suaminya terlihat dari jauh, namun sosok Darto tidak terlihat berdiri.

Semakin dekat terlihat di perahu itu bahwa Darto tidak ada. Hanya ada sepasang hiu yang berada di geladak perahu, keduanya lemas. Ia kebingungan, akan dicari kemana suaminya itu? Ia tidak berpikiran bagaimana hiu itu ada di kapal Darto, pikirannya kalut, ia hanya berpikir dimana suaminya dan bagaimana keadaannya?

Ia menanyai pelaut lain yang datang namun nihil, mereka mengatakan  tidak melihat Darto.

Ia menangis sambil memegangi perahu itu. Malam itu para nelayan mencoba mencari Darto, siapa tahu ikut kapal nelayan lain yang melaut hingga berhari-hari. Malam semakin.larut, namun Darto tidak juga datang. Dengan diantar nelayan lain, Sarti diantar pulang. Kedua hiu tadi dilepas kembali ke laut oleh para nelayan.

Ia mencoba kembali mengingat hari itu, tidak ada yang aneh pada diri suaminya. Semua berjalan normal seperti biasanya, bahkan Darto tidak menunjukkan tanda apapun. Esok harinya, Sarti kembali ke pantai, tidak ada tanda-tanda suaminya pulang. Dari kejauhan terlihat kecipak air laut, terlihat anak hiu mendekat di perahu Darto. Sarti menghampiri, ia masih tidak paham atas apa yang terjadi. Air matanya tumpah begitu deras, diraihnya anak hiu itu. Kepalanya berdarah seperti habis menabrak karang, Sarti mencari wadah yang bisa digunakan untuk mewadahi hiu kecil itu, diambilnya ember berukuran sedang di perahu suaminya. Diisinya air lalu dibawa pulang.

Hiu kecil itu sementara menjadi teman Sarti, dibuatkannya kolam di halaman belakang. Dia bisa hidup di air tawar, setiap pagi dan petang Sarti akan memberinya makan. Di malam kedua belas sejak ia memelihara hiu itu, ia bermimpi melihat Darto datang dari laut, dengan dikawal sepasang hiu. Hiu banteng. Darto tidak mengucapkan apapun, hanya tersenyum.

****

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Idatus sholihah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB