x

Iklan

Yassar Aulia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Mei 2023

Selasa, 23 Mei 2023 17:52 WIB

Tangan Negara Global North di Lingkar Leher Indonesia yang Sekarat Karena Krisis Iklim

Jauh dari penyelesaian yang cepat atas krisis iklim, pendanaan Just Energy Transition Partnership yang diteken pada G20 di Bali untuk memberikan pendanaan kepada Indonesia berpotensi menghadirkan segudang permasalahan. Mulai dari isu transparansi, solusi palsu transisi energi, jebakan utang, hingga korupsi menghantui implementasi dari kucuran dana sebesar kurang lebih Rp298,3 triliun. Apabila tidak diantisipasi, dampak terburuknya, sangat mungkin terjadi replikasi relasi neo-kolonial antara negara-negara Global North pemberi dana dengan negara-negara Global South seperti Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ditulis oleh:  Sayyidatiihayaa Afra & Yassar Aulia

 

 

Krisis Iklim, Utang, Kolonialisasi (lagi)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cobalah buka mesin pencarian di internet, ketik “percepatan penyelesaian krisis iklim” (tentu pakai bahasa Inggris, karena yang paling butuh proyek penyelesaian krisis iklim ya orang-orang Global North, dengan mekanisme utang dan investasinya), wacana-wacana yang muncul pasti selalu dimulai dengan “negara miskin dan rentan membutuhkan bantuan pendanaan […]”. Jika di klik, maka pembaca akan diarahkan untuk membuka situs International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), World Bank, dan organisasi penyokong kapital lainnya. Direbutnya narasi krisis iklim oleh organisasi kapitalistik pengucur utang ini merupakan awal mula kekacauan dalam penanganan krisis iklim. Progressive International (2021) memperingatkan bahwa utang hadir tidak dalam ruang hampa. Ia muncul dari transaksi yang jauh dari kata adil antara dua agen rasional di pasar bebas. Terkhusus dalam konteks relasi Global North dengan Global South, utang merupakan produk sistem keuangan internasional yang dirancang dengan penuh perhitungan ekonomi untuk memfasilitasi ekstraksi neo-kolonial.

Utang adalah lingkaran setan, yang pada gilirannya si pemberi utang akan mulai masuk untuk melobi undang-undang dan kebijakan lain dari negara penerima utang agar menguntungkan mereka. Regulatory capture ini rentan terjadi di Indonesia. Sebagai informasi (dan semoga tidak menghadirkan mimpi buruk), saat ini tidak ada satupun dokumen hukum di Indonesia yang membahas mengenai pembiayaan partnership untuk menyelesaikan isu energi kotor. Mungkin beberapa bulan lagi, Amerika Serikat atau Jepang mengetuk Istana Negara membawa Rancangan Undang-Undang Transisi Energi yang dibuat oleh mereka dan hanya untuk kepentingan mereka. Ancaman bahwa kepentingan yang masuk tidak mengindahkan partisipasi menyeluruh dari publik dan justru menghadirkan solusi-solusi palsu atau greenwashing menjadi sulit dibendung.

Indonesia kemudian dengan kerelaan yang penuh khidmat dan kesalehan pada ideologi neoliberal, justru mengekor pada logika sesat di atas. Kementerian Keuangan misalnya, dalam rilisnya secara gamblang menyatakan, “[...] Menkeu mengatakan bahwa komitmen tersebut telah diterjemahkan menjadi program, kebijakan, bahkan ke dalam proyek. Indonesia memperkirakan kebutuhan pembiayaan terkait upaya penanganan perubahan iklim sekitar USD 281 miliar.” Statement publik ini memperlihatkan bahwa di tengah krisis iklim yang membunuh banyak manusia dan satwa, merusak siklus alami ekosistem, dan menyebabkan kelaparan dan kehausan ekstrim, Pemerintah Indonesianya ikut melihatnya pada sebatas proyek-proyek yang pada akhirnya hanya jadi: bancakan negara Global North.

Sekarang pertanyaannya, benarkah perhelatan megah G20 di Bali kemarin, yang kemudian menerima komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) yang bernilai sekitar Rp298,3 triliun (dengan kesepakatan tak mengikat), tidak akan memberikan solusi palsu dari krisis iklim?

Persoalannya, JETP datang dengan segudang pekerjaan rumah yang berbaku-tumpuk di Indonesia. Katakan saja: tidak adanya upaya dekarbonisasi yang serius; masih adanya pengecualian retirement coal power plant dalam Perpres 112/2020 dengan masih memperbolehkan pembangunan PLTU yang ada dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021–2030; masih terbukanya Indonesia terhadap cawe-cawe energi kotor (termasuk nikel) hingga saat ini; tidak adanya ketentuan mengenai apa itu energi yang clean and clear; dan bagaimana proses mencapai energi yang clean and clear itu dilaksanakan. Parahnya lagi, perusahaan Indonesia tidak dibebankan kewajiban melakukan uji tuntas hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan. Ketiadaan kewajiban ini memungkinkan penjahat lingkungan dan HAM dalam bentuk korporasi ikut “ambil kue” dari pendanaan JETP ini.

Sebagian besar permasalahan ini datang dari malasnya legislator Indonesia untuk membuat mekanisme hukum guna mendorong transisi energi berkeadilan. Kemalasan ini jadi lubang dimana-mana. Lubang yang paling fundamental yakni ketiadaan definisi yang memadai mengenai apa itu energi terbarukan. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) versi 2022 masih memasukkan sumber energi kotor seperti gasifikasi batubara dan batubara tercairkan secara keliru dalam definisi “energi baru.”

Tidak heran jika sekalipun upaya transisi energi bersih sudah jadi wacana setidaknya dua tahun terakhir di Indonesia, di tengah masifnya upaya-upaya memerangi krisis iklim dan ambisi raksasa pemerintah untuk ikut bergerak mendorong target Indonesia bebas emisi di tahun 2060, malangnya, dampak buruk energi kotor masih dirasakan masyarakat yang dimiskinkan hingga hari ini. Proyek energi bersih tersebut tidak dibarengi dengan upaya serius penghapusan dosa negara (juga para oligark) atas daya rusak eksploitasi energi kotor yang telah dijalankan berdekade lamanya. Tanpa pengakuan dosa dan restorasi yang serius, JETP tak ubahnya air di daun talas.

 

Anak-anak bermain di luar pagar PLTGU Jawa-1 LNG di Cilamaya, Karawang. Mereka kehilangan ruang bermain yang aman dan sehat. (foto oleh: Sayyidatiihayaa Afra/Satya Bumi)

 

Sekarang lihat bagaimana skema pendanaan JETP bekerja. Penulis percaya bahwa JETP merupakan upaya “cuci tangan” negara Global North atas eksploitasi sumber daya alam. Kondisi ini muncul dari pemahaman prinsip polluters pay (pencemar membayar) dimana mendorong pihak-pihak yang paling bertanggung jawab atas degradasi lingkungan dibebankan penuh untuk merestorasi kerusakan–termasuk memberikan kompensasi. Sepintas, kucuran dana JETP membawa semangat yang serupa. Sejak awal industrialisasi, negara Global North menggencarkan eksploitasi bumi menggunakan nexus penjajahan–kapitalisme, mengabaikan daya tampung lingkungan, hingga pada akhirnya keserakahan itu membuahkan petaka krisis iklim. Dan saat ini dana JETP dikucurkan untuk negara Global South, untuk mempercepat upaya mitigasi dampak terburuk krisis iklim.

Kendati demikian ada baiknya negara Global North tidak terlalu bersuka-ria. Sebab, skema pendanaan JETP mayoritas berbentuk utang dan sangat berpotensi memberatkan negara penerima. Tentu skema ini mereplikasi pola relasi ketergantungan (baca: kolonial) negara-negara Global South kepada Global North selaku pemegang kapital.

 

 

Pura-Pura Adil, Pura-Pura Bersih

Just Energy Transition Partnership mengadopsi model pendanaan iklim yang fokus pada aspek transisi energi berkeadilan, yakni yang dapat memitigasi dampak buruk, sosial maupun ekonomi di tengah upaya meninggalkan ketergantungan batu bara. Terlihat dari salah satu komponen pembiayaannya,  JETP berfokus pada pemensiunan dini PLTU.

Ini didasarkan pada asumsi bahwa jenis paket insentif keuangan tertentu akan mendorong adanya transisi energi berkeadilan. Oleh karena itu, kesuksesan dari JETP berlandaskan pada asumsi implisit bahwa: Negara penerima dana memiliki komitmen nasional yang kuat terhadap agenda dekarbonisasi; dan bahwa janji akan akses pendanaan akan mempercepat agenda tersebut. Sayangnya, asumsi ini menjadi terpatahkan begitu saja apabila kita benturkan dengan konteks realita peta politik Indonesia:

  1. Nihilnya komitmen penuh pemerintah untuk dekarbonisasi secara cepat;
  2. Meski secara politis sejumlah komitmen sudah diteken, atmosfer pemerintahan yang dibajak kepentingan elit dan oligark bisnis energi fosil masih dipertahankan oleh rezim dan regulasi pro-ekstraktivisme justru gencar diundangkan;
  3. Kapasitas berlebih (overcapacity) dari pembangkit listrik eksisting yang mayoritas mengandalkan energi fosil sehingga sulit bagi energi terbarukan untuk masuk; dan
  4. Tidak ada upaya demokratisasi energi dari pemerintah untuk menyetarakan akses listrik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dengan memanfaatkan kehadiran JETP (yang tidak menjadikan akses universal listrik yang terjangkau sebagai area fokus).

Terlepas dari segala persoalan di atas, prahara terkait dengan JETP belum memperhitungkan akutnya korupsi yang menjangkiti mayoritas proyek pengadaan serta industri energi maupun pertambangan di Indonesia. Padahal, akan berlangsung gencar penandatanganan kontrak jual beli listrik dengan PLN selaku pemegang monopoli bisnis penyedia listrik negara atau bahkan pengadaan infrastruktur pendukung yang relevan untuk mencapai target pencapaian bauran energi nasional dari energi baru terbarukan.

Dalam pengadaan, data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap bahwa dari 2016 sampai 2020 saja, rata-rata 40% kasus korupsi berkaitan dengan pengadaan. Lebih jauh, Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat bahwa kasus korupsi paling banyak sejak 2004 hingga 2020 ialah di sektor pengadaan. Spesifik mengenai pertambangan, ICW menyoroti bahwa nilai kerugian negara di sektor pertambangan akibat kasus korupsi sepanjang 2019 mencapai angka Rp5,9 triliun. Sektor energi empuk dikunyah koruptor, misalnya kasus korupsi PLTU Riau-1 yang dikorup berjamaah.

Gurihnya sektor energi misalnya dapat dirasakan pada satu-satunya penyedia listrik negara, PLN. PLN telah tercatat memiliki rekam jejak buruk terkait transparansi. Energy for Growth Hub menyatakan bahwa PLN hanya mendapatkan skor 6,5 karena kurang transparan dalam membuka informasi terkait perjanjian jual beli listrik yang dilakukannya.

Senada, temuan ICW menyimpulkan bahwa PLN tidak transparan dalam memberikan informasi terkait PLTU. Sulit untuk menemukan data mengenai PLTU yang rinci dan mendalam. PLN misalnya, tidak menyediakan informasi yang rinci dan berkala mengenai jumlah pasokan batubara dan penggunaan batubara dari pembangkit listrik. Termasuk diantaranya perusahaan mana saja yang memasok batubara terhadap setiap pembangkit. Selain itu, PLN tidak memublikasikan secara lengkap sebaran lokasi dari setiap PLTU. Ini meliputi PLTU yang akan dibangun maupun telah beroperasi. PLN juga tidak mengumumkan secara rinci nama-nama perusahaan pengelola proyek pembangkit. Jikapun ada informasi tersebut tersebar dalam berbagai dokumen, baik yang dimiliki PLN ataupun sumber informasi lainnya. Tentu ini akan menyulitkan publik jika hendak mengidentifikasi pihak-pihak yang paling bertanggungjawab di balik sebuah proyek PLTU.

Sehingga, jangan sampai JETP yang cenderung mengedepankan suntikan dana menambah tumpukan kasus korupsi di Indonesia yang tengah berada pada titik terendahnya pasca reformasi. Logis rasanya meneriaki JETP untuk transparan. Apalagi jika mengutip laporan dengan tajuk Elite Capture of Foreign Aid: Evidence from Offshore Bank Account di tahun 2020, diperkirakan 7,5% bantuan asing ke negara penerima bantuan diambil oleh politisi, birokrat, dan kroni-kroninya (banyak terjadi di negara korup). Secara kontekstual, menjadi penting untuk memantau secara saksama terhadap penentuan PLTU yang akan dipensiunkan dini serta perhitungan bagaimana uang yang diberikan kepada para pihak tersebut, proses perjanjian jual beli listrik dari independent power producers baru oleh PLN nantinya, hingga bagaimana seluruh proses pengadaan infrastruktur pembangkit energi terbarukan di bawah skema JETP.

Fakta bahwa hingga saat ini segala informasi detail terkait JETP yang serba ditutup-tutupi (seperti komposisi pendanaannya maupun proses penyusunan peta jalan pemerintah mengenai pensiun dini PLTU batubara) tidak membantu untuk memitigasi pola-pola koruptif atau setidaknya fraud serupa di masa lampau. Perlu diingatkan kembali bahwa transparansi seluas-luasnya merupakan salah satu obat mujarab penangkal korupsi di sektor manapun.

Tentunya segala komitmen konkret yang dapat menangkis dampak terburuk krisis iklim haruslah disambut dengan antusias. JETP secara teori pada hakekatnya hendak berkontribusi pada komitmen tersebut. Namun melihat segala dinamika dewasa ini, publik menjadi patut untuk curiga bahwa alih-alih menghadirkan transisi energi yang berkeadilan, JETP akan kembali menghadirkan pola penindasan-penindasan “lama” yang identik dari industri ekstraktif kotor, hanya dengan jubah baru yang lebih “hijau.”

 

 

 

#LombaArtikelJATAMIndonesiana

Ikuti tulisan menarik Yassar Aulia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu