Penggemukan Pertambangan Batu Bara di Kota Sawahlunto, Mengais Sisa di Tengah Tingginya Permintaan Global: Luka Lama Entah Kapan ‘Kan Disembuhkan
Rabu, 24 Mei 2023 06:15 WIBTulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Menulis Artikel Hari Anti-Tambang yang diselenggarakan oleh JATAM bekerja sama dengan Indonesiana dan Mongabay. Dalam tulisan ini, permasalahan lingkungan yang muncul karena aktivitas tambang batu bara di Kota Sawahlunto adalah inti dari bahasan. Di mana tidak ada yang baik-baik saja tentang alam jika pemanfaatannya tak mengindahkan keseimbangan. Dan kita sungguh berkewajiban untuk segera menemukan solusinya.
Sakit menusuk dengan sensasi perih tak tertahankan itu adalah ketika luka lama yang belum pulih harus terpaksa berdarah kembali akibat hantaman yang mendarat di tempat yang sama, yakni persis ditempat luka yang sebelumnya pernah ada. Sungguh itu benar-benar menyisakan kenyerian yang berkali lipat lebih dalam, menyebabkan kepedihan yang mungkin nyaris tak mampu lagi untuk diceritakan.
Dan keadaan seperti itu nampaknya kini sedang ditanggung oleh alam Sawahlunto. Tak bisa bersuara lantang untuk mengabarkan, tapi tak juga hanya diam tanpa melepaskan sinyal-sinyal meminta pengertian.
Sumber mata air yang mengeruh bahkan mengering di daerah Desa Rantih dan Sikalang, suhu ekstrim yang membakar di sekitaran Perambahan—lokasi bekas tambang yang sampai kini masih beroperasi di Kecamatan Talawi, tanah-tanah amblas yang menyebabkan banyak rumah tak bisa ditempati di sepanjang hamparan Kecamatan Barangin, mulai dari daerah pinggiran Santur sampai ke area padat penduduk di Karanganyer, bukit-bukit menggundul dan rawan longsor yang mengelilingi Kolok, kesemuanya itu, meski dijabarkan secara rinci, sebenarnya hanya mewakili secuil dari bertumpuk-tumpuk permasalahan yang timbul dan terus berkembang di Sawahlunto.
Di mana permasalahan itu jika ditarik sebab-musababnya, ternyata memiliki utas akar yang sama, yakni muncul karena adanya pertambangan batu bara yang akhir-akhir ini dikelola nyaris seperti dieksploitasi.
Sistem dan mekanisme pertambangan berupa kelegalitasan izin usaha pertambangan dan standar oprasional yang digunakan, keterlibatan pemerintah daerah dalam menganalisa dan memerhatikan dampak pertambangan terhadap lingkungan, serta kepedulian masyarakat secara luas untuk andil menyikapi perubahan alam akibat aktivitas tambang adalah tiga kategori besar yang ternyata menyumbang perluasan munculnya permasalahan-permasalahan yang telah disinggung di atas tadi.
Sayangnya belum lagi penyelesaian permasalahan itu rampung, hal baru kini terkait pengerukan emas hitam di Kota Kuali itu kembali muncul. Dan itu menambah daftar panjang permasalahan-permasalahan yang telah ada, yang mana semakin ke sini dampak negatifnya semakin terasa mengancam.
Tulisan ini dibuat sebagai bahan perenungan bersama, semoga ada gambaran solusi yang bisa diperoleh. Terlepas dari segala subjektifitas yang bermunculan, usaha untuk tetap menampilkan nilai integritas faktual dan opini terpercaya selalu dikedepankan dalam menyajikan setiap kalimatnya.
Sebagai informasi umum, Sawahlunto adalah kota kecil yang dijuluki dengan nama Kota Kuali atau Kota Arang. Kota ini berjarak sekitar 95 km dari Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat dan secara astronomis berada pada 0’.34 – 0’.46 Lintang Selatan dan 100’.41 – 100’.49 Bujur Timur. Hal tersebut menunjukkan bahwa Sawahlunto terletak di daerah dataran tinggi pada bagian tengah Bukit Barisan, pegunungan yang membujur di sepanjang pulau Sumatera.
Sedikit membuka sejarah, Sawahlunto dahulunya adalah daerah penghasil batu bara yang terbilang cukup bersinar di Indonesia. Kota kecil ini memasok batu bara untuk kebutuhan dalam dan luar negeri. Dengan adanya penambangan batu bara di daerah ini, jalur kereta api sebagai penghubung vital pun dibuat hingga mampu membawa hasil tambang ke pelabuhan teluk bayur yang ada di Padang. Dan bagian itu mendorong perkembangan pertumbuhan ekonomi yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PT. Semen Padang pada tahun 1910 silam.
Jika ada yang berani mengatakan bahwa batu bara adalah anugerah berlimpah sebagai tanda kasih sayang Tuhan untuk kota kecil yang dikelilingi bukit itu, maka sungguh itu bukanlah sebuah kalimat berlebihan. Karena pada masanya, emas hitam itu memang keluar dari bumi Sawahlunto dengan jumlah yang sangat banyak.
Perusahaan pertambangan yang ada juga sudah berganti-ganti kepemilikan, mulai dari dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda, diambil alih oleh Jepang pada masa penjajahannya, sampai kembali lagi ke tangan bangsa Indonesia di bawah kekuasaan negara, pertambangan batu bara di Sawahlunto tetap tak ada matinya. Bahkan Tambang Ombilin yang diakuisisi oleh PT Bukit Asam menjadi PT BA UPO atau PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin, juga pertambangan-pertambangan yang dilakukan banyak penambang atas kepemilikan pribadi sempat mengalami masa jaya-jayanya di Sawahlunto.
Singkat cerita, jikapun saat ini batu bara di Sawahlunto tidak seberlimpah dahulu karena memang sumber daya alam itu tidak bisa diperbaharui lagi setelah diambil, kelekatan antara Sawahlunto dengan tambang batu bara tetap tak bisa dijarakkan.
Bahkan meski masa kejayaan itu telah berlalu bertahun-tahun lamanya dan meninggalkan beragam kerusakan alam di bumi Sawahlunto, pertambangan demi pertambangan tetap saja beroperasi meski dalam keadaan yang minim pengawasan.
Sudah bukan rahasia umum lagi jika kecelakaan tambang dalam kurun waktu sepuluh tahun ke belakang sering terjadi di Sawahlunto. Sebut saja yang terbaru ada kasus meledaknya tambang batu bara di bawah kepemilikan PT Nusa Alam Lestari (PT NAL), yang meledak pada tanggal 9 Desember 2022 lalu dan menewaskan 10 orang.
Lalu juga ada ledakan yang terbanyak memakan korban yang terjadi pada tahun 2012 silam, menewaskan lebih dari 32 orang. Tambang dalam naas itu beroperasi di bawah kepemilikan PT Dasrat Melawi yang bekerja sama dengan CV Cipta Perdana.
Sungguh, jika melakukan pertambangan tanpa meningkatkan kesadaran keselamatan saja efeknya fatal bagi para penambang seperti terjadinya kasus ledakan yang telah disinggung di atas tadi, maka jangan ditanya saat kegiatan tambang itu dilakukan tanpa memikirkan keadaan alam tempat bahan alami titipan Tuhan itu diambil. Pasti dampaknya jauh lebih luas lagi. Mungkin tidak hanya mengancam satu atau dua nyawa, mungkin juga tidak hanya sekadar meledak saja.
Sangat diketahui bahwa, ketika mengambil bahan alam secara langsung dan menjadikannya kegiatan industri ekstraktif seperti pertambangan batu bara yang ada di Sawahlunto, maka jika tak mengedepankan analisa dampak lingkungan untuk menekan risiko rusaknya alam akibat kegiatan tambang tersebut, daerah lahan bekas tambang dan daerah sekitar lokasi penambangan akan mengalami ketidakseimbangan. Hal itu bisa ditandai dari rusaknya struktur tanah, terjadinya kenaikan suhu udara karena kegersangan dan minimnya tumbuhan yang mengakibatkan rusaknya sumber air bersih, adanya polusi udara hingga yang paling dikhawatirkan adalah amblasnya permukaan tanah yang terjadi tanpa pernah memberi peringatan.
Di Sawahlunto sendiri, rata-rata kegiatan pertambangan dilakukan di daerah perbukitan. Di mana saat kegiatan tambang berjalan, semua pohon-pohon di tebang, bebatuan perbukitan dikikis dan lahan-lahan dibuka untuk kemudian dibongkar lapisannya demi menggali batu bara yang masih tersisa. Mengenyahkan peresapan air tanah oleh akar tumbuhan. Mengeyampingkan keberadaan pohon-ponoh yang sebenarnya juga sama pentingnya dengan batu bara.
Pertambangan yang dilakukan saat dulu-dulu, ketika semua orang masih beruforia dengan ketersediaan batu bara yang ada di Sawahlunto ternyata kini meninggalkan jejak yang sangat menyedihkan. Terlalu bersemangat mengambilnya dalam porsi besar-besaran, membuat ketidakseimbangan ekosistem bertahun-tahun setelahnya.
Meski pemerintah daerah telah berupaya semaksimal mungkin untuk membuat lahan-lahan bekas tambang kembali berdaya guna demi menekan dampak negatifnya, tetap saja upaya itu belum menampakkan hasil optimal dalam menyembuhkan keadaan alam bekas tambang Sawahlunto.
Adakah yang mengetahui kalau sebelumnya Sawahlunto pernah punya slogan “Tahun 2020 Sawahlunto akan Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”?
Slogan itu mendorong pemerintah daerah mengelola semua lahan bekas tambang untuk menjadikannya tempat wisata.
Sayangnya, PR besar terus ditemukan pemerintah dan menjadi kendala dalam melakukan make over lahan bekas tambang tersebut. Kegersangan, struktur lahan yang tandus, minimnya tenaga ahli, dan dibutuhkannya dana yang besar untuk kembali menghidupkan lahan yang telah mati adalah beberapa kendala yang ada di antaranya.
Sebut saja Taman Wisata Kandi yang kini telah berdiri dengan kebun binatang, taman buah dan taman pemandiannya. Dibuka di daerah bekas tambang terbuka yang cekungannya telah menjadi danau buatan. Untuk mengadakan itu saja, butuh waktu bertahun lamanya karena memang mengelola lahan bekas tambang yang semula tidak ada kehidupan apa-apa di sana kembali bergeliat bukanlah perkara gampang. Itu pun belum pasti terlepas dari hambatan lainnya seperti risiko banjir yang berulang atau risiko longsor yang tak terdeteksi.
Bisa dibilang sebenarnya untuk menggantungkan nasib kota pada kesediaan alam batu bara saat ini sudah tidak lagi dapat dilakukan. Namun efek dari pertambangan secara besar-besaran dimasa lalu tetap tak bisa dikesampingkan karena pada kenyataannya kini masyarakat yang bertempat tinggal disekitaran kawasan tambang benar-benar harus terbiasa hidup berdampingan dengan keadaan alam yang mungkin tak mereka ingini.
Pernah adanya penambangan di wilayah Perambahan, membuat desa-desa di sekitarannya memiliki suhu panas yang tinggi dibanding dengan daerah lain yang ada di Sawahlunto. Desa Salak adalah salah satu contohnya. Banyak perbukitan di sekitar desa itu tandus dan kondisi udaranya tidak sehat, sangat berdebu.
Di daerah Sikalang, baik lahan bekas tambang akibat pertambangan masa lalu ataupun pertambangan yang saat ini sedang dijalankan sama-sama memperburuk keadaan sumber air tanah yang dimanfaatkan masyarakat di sana. Beberapa mengeluh dengan keruhnya sumber air dan susahnya mendapatkan air bersih. Padahal bagi kehidupan, air adalah elemen utama untuk menopang segala jenis kegiatan.
Belum lagi beberapa keadaan tentang ketidakstabilan struktur tanah yang sering menyebabkan permukaan tanah amblas di sepanjang pemukiman warga dibentangan Kecamatan Barangin. Minimnya resapan air tanah, lama dan susahnya proses reboisasi lahan bekas tambang membuat keadaan struktur tanah dibeberapa daerah di sekitaran lahan tambang menjadi tidak stabil.
Keadaan yang terpampang nyata itu sampai saat ini belum menemui solusi jitu untuk mengatasinya. Masyarakat hanya berusaha hidup berdampingan dengan cara menyesuaikan diri. Mereka yang sebagian besar tak terlalu merasakan manisnya keberadaan batu bara harus menanggung amarah alam tanpa bisa menghindar.
Dengan kondisi seperti itu sekarang, ternyata kekhawatiran harus ditambah lagi oleh fakta baru bahwa semua perusahaan tambang yang ada di Sawahlunto sedang bersemangat-semangatnya mengeruk sisa batu bara yang ada. Tingginya permintaan pasar dan melambungnya harga emas hitam itu dari beberapa bulan ke belakang menjadi pemicu bergairahnya kegiatan penambangan. Bahkan pada bulan September tahun 2022 lalu, harga batu bara meningkat 138% secara global dan menjadi kenaikan harga tertinggi sepanjang sejarah.
Dan karena saking menguntungkannya fenomena itu, di Sawahlunto sendiri semakin sempit lahan pertambangan, malah semakin banyak batu bara yang diambil.
Sebagai catatan, data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik menunjukkan grafik lahan dan hasil tambang yang berkebalikan selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2018, luas area tambang yang masih berfungsi di Sawahlunto sebesar 3.539,78 meter persegi dengan hasil tambang sebanyak 542. 869,48 ton. Pada tahun 2019, luas daerah tambang hanya enam ratus meter persegi, dan hasil yang diperoleh sebanyak 552.368,09 ton. Sedangkan untuk tahun 2020 dan 2021, lahan tambang berkurang nyaris setengahnya namun batu bara yang dikeluarkan tak kurang dari lima ratus ton. Dan di tahun 2022 lalu, saat permintaan dunia tinggi akan batu bara, terutama China dan negara-negara Eropa yang terdampak krisis energi akibat pengaruh iklim global, di satu lubang tambang dalam yang ada, batu bara ratusan ton berhasil dikeluarkan dalam seminggu.
Pengakuan DT* (28 tahun), salah satu pengawas lulusan jurusan pertambangan yang telah bekerja lima tahun di tambang milik PT BMK yang berlokasi di Kecamatan Talawi Kota Sawahlunto membuktikan betapa berpengaruhnya kenaikan harga terhadap kegiatan pertambangan.
DT menuturkan bahwa mereka bekerja lebih giat bahkan lembur untuk mencapai target baru yang dibuat usai harga batu bara melambung tinggi, “kami bekerja dalam sehari itu dari pagi sampai pagi lagi untuk bisa mengeluarkan dua ratus ton batu bara. Selagi harga naik, batu bara harus cepat dijual. Lubang yang memintanya sangat banyak.”
Dan lagi fakta yang mengejutkan adalah, disaat pekerja tambang selesai dengan kegiatan mereka, para perempuan seperti ibu rumah tangga atau pun mereka yang bertempat tinggal di sekitar area pertambangan masuk ke area tambang untuk memungut batu bara yang terjatuh saat proses pengangkutan.
Mereka semua membersihkan area tambang dengan tujuan menjual kembali sisa angkutan batu bara itu pada pihak perusahaan untuk memperoleh tambahan uang belanja. Bagian ini dimanakan bersih-bersih yang memang sudah menjadi kebiasaan tak tertulis dan dimaklumi hampir oleh semua pihak di area pertambangan, terkhusus saat batu bara sedang banyak-banyaknya dikeluarkan.
Permintaan akan kebutuhan batu bara meningkat seiring dengan kelangkaannya di Sawahlunto. Pertambangan terus dan terus dilakukan dengan giat padahal alam sekitar masih butuh banyak perhatian untuk dibenahi.
Keadaan ini tentu tidak bisa diberatkan menjadi tanggung jawab satu pihak saja, karena sungguh, semuanya harus bersinergi untuk saling membenahi.
Batu bara yang masih tersisa di Sawahlunto bukan berarti tidak boleh dimanfaatkan. Hanya saja butuh kesadaran tinggi untuk memedulikan alam sekitar sembari mengambil apa yang telah alam sediakan.
Ada beberapa langkah awal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan, dan ini tentunya melibatkan semua lapisan masyarakat. Terutama pemilik perusahaan tambang dan pemerintah daerah yang sebenarnya punya porsi tanggung jawab lebih besar.
Pertama, bagi semua perusahaan yang memang telah beroperasi dan punya Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sawahlunto, baik itu PT NAL, CV Tahiti Coal, PT Dasrat, PT BMK, juga beberapa pemilik pertambangan yang legalitasnya masih diragukan (ada 10 pertambangan), rancanglah sistematika penambangan yang tidak merusak alam. Gunakan standar operasional yang punya AMDAL tinggi terhadap lingkungan sekitar dan manfaatkan dana CSR perusahaan untuk andil menyejahterakan kehidupan masyarakat yang lahan dan udaranya sudah digunakan untuk kegiatan tambang.
Menghindar dari kewajiban dan hanya fokus mengumpulkan keuntungan adalah kesalahan besar. Alam punya batas sabarnya sendiri, dan Penguasa Alam tidak menitipi amanahNya dalam bentuk sumber daya alam hanya untuk membuat sesama manusia saling menzalami.
Jika memperbaiki yang telah lalu terasa berat dan belum mampu, maka tolong jangan merusak yang akan datang. Sebab dunia ini masih akan selalu ada dan generasi penerus masih butuh bumi mereka untuk tetap baik-baik saja.
Kedua, sebagai pemegang tampuk kekuasan tertinggi di Sawahlunto, pemerintah daerah harusnya punya ketegasan yang kaku untuk masalah tindak-tanduk pertambangan di Sawahlunto. Meski ada beberapa perusahaan pertambangan swasta yang meminta dukungan lebih tinggi ke pihak keprovinsian, tetap saja sebenarnya pemerintah daerah tak bisa longgar untuk masalah perizinan.
Jika mendapati ada perusahaan yang tetap beroperasi padahal jatuh temponya untuk berada di Sawahlunto telah habis, maka ambillah langkah-langkah tegas. Ini jelas bukan hanya tentang pendapatan daerah saja, tapi pikirkan juga keselamatan dan kondisi alam bekas tambang yang memang butuh perbaikan.
Ketegasan dan konsistensi dalam pergerakan sekecil apa pun akan membuat regulasi tambang yang ada di Sawahlunto berjalan tertib dan disiplin. Hilangkan budaya mengambil apa yang dibutuh seenaknya, saatnya lebih peka dan lebih peduli. Karena banjir tidak datang saat kita siap saja, juga longsor tak terjadi hanya ketika kita siaga saja.
Lalu, ketika menyadari batu bara bukan lagi satu-satunya sumber yang bisa diandalkan untuk perekonomian, buka seluas-luasnya peluang baru yang mungkin bisa menjanjikan. Meningkatkan aspek pertanian dan perternakan adalah salah satu langkah kecil yang bisa dioptimalkan, juga memaksimalkan slogan Kota Wisata untuk Sawahlunto dengan sesungguh-sungguhnya usaha. Benar-benar asli mencurahkan dedikasi, tidak hanya sekadar tercatat dikertas sebagai bahan dokumentasi.
Ketiga, secara luas, untuk masyarakat pada umumnya yang memang hidup dan berkembang di sepanjang hamparan Sawahlunto, mari bersama aktivasi alarm kepekaan terhadap lingkungan. Kerusakan alam yang memang telah terjadi tak sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan tambang dan pemerintah daerah saja. Sebagai komunitas terbesar dan punya andil luas untuk kesejahteraan kota, masyarakat adalah elemen penting perpanjangan tangan nyanyian alam.
Apa salahnya kegiatan membuang sampah pada tempatnya, tak ikut mengotori sungai, membentuk kelompok-kelompok kecil yang berafiliasi untuk lingkungan dengan kegiatan penanaman pohon, pengembangan pengolahan air bersih dan lain sebagainya menjadi kegiatan yang benar-benar mengakar dalam kehidupan.
Dan sebagai pengunci tulisan ini, onggokan kalimat berikut semoga mampu menjadi penutup yang tak terlupakan—kegiatan pertambangan untuk mengambil bahan alam dari alam memang tak pernah dilarang, tapi bukankah sebaiknya manusia menambang selayaknya manusia menambang? Memperhatikan keseimbangan lingkungan, peduli dan peka, serta yang paling penting adalah sadar bahwa bukan hanya ada kita yang hidup di bumi ini, pertimbangkan setiap tindakan yang dilakukan karena semua makhluk punya hak masing-masing untuk sama-sama dilindungi.
-zerryizka-
.
.
*narasumber tidak bersedia jika namanya ditampilkan secara utuh. Wawancara personal yang dilakukan menyepakati menjaga privasi
Asoka Andi, 2004, Sawahlunto Dulu, Kini dan Esok : PSH Padang
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Penggemukan Pertambangan Batu Bara di Kota Sawahlunto, Mengais Sisa di Tengah Tingginya Permintaan Global: Luka Lama Entah Kapan ‘Kan Disembuhkan
Rabu, 24 Mei 2023 06:15 WIBKejahatan Terhadap Perempuan Vs Pendidikan dalam Keluarga
Minggu, 21 Mei 2023 18:07 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler