x

Sumber listrik

Iklan

Mutia Fitri Nuraini

Masyarakat umum
Bergabung Sejak: 18 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 21:09 WIB

Mindho Gawe dalam Mengurangi Emisi Karbon

Langkah pemerintah yang setengah-setengah dalam menngurangi emisi karbon di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Produksi energi listrik terbarukan di Indonesia masih tergolong sedikit di antara negera-negara G20. Indonesia berada di peringkat keempat terendah dengan persentase yang hanya 18,7% pada 2021. Dapat dilihat bahwa Indonesia masih bergantung pada sumber daya tak terbarukan sebagai bahan produksi listrik. Pada event yang sama, Indonesia menjadi penerima dana Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar US$20 miliar atau sekitar Rp317 triliun. Melalui dana tersebut, Indonesia diproyeksikan mempercepat target dan ambisi transisi energi yang adil, serta menjaga batas pemanasan global tetap pada 1,5℃. Selain itu, juga mengurangi emisi di sektor ketenagalistrikan dengan batas 290 megaton CO2 pada tahun 2030, hingga mencapai nol emisi (net zero) pada tahun 2050.

Dalam upaya melakukan transisi energi, Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi pendorong peralihan pelaksanaan industri fosil menuju industri hijau yang masih mempertimbangkan ekosistem, lingkungan, dan integritas sosial. Regulasi tersebut adalah PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Di dalam salah satu pasal dalam peraturan tersebut, yakni Pasal 9 huruf (f), salah satu target bauran pada pasal tersebut adalah tercapainya peran Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% pada tahun 2025 dan paling sedikit 31% pada tahun 2050. Terdapat dua program yang digencarkan oleh pemerintah, yakni pemanfaatan biodiesel dan biomassa.

Ketenagalistrikan di Indonesia sebagian besar didapatkan melalui bahan bakar fosil, yaitu batu bara. Seperti yang kita ketahui, batu bara merupakan salah satu sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Penggunaan terus-menerus akan menyebabkan krisis sumber daya fosil. Selain itu, proses pembakaran fosil yang digunakan untuk menggerakkan pembangkit listrik menimbulkan gas karbon dengan intensitas yang tidak sedikit. Per 20 April 2022, jumlah PLTU yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yaitu sebanyak 253 unit. Untuk 100 ton batu bara saja dapat menghasilkan CO2 sebanyak 271,348 ton. Ketua APLSI Arthur Simatupang menjelaskan, dalam satu tahun total secara nasional kebutuhan batu bara mencapai 130 juta ton atau 11 juta ton per bulan. Dengan kata lain, jumlah emisi gas CO2 yang dihasilkan dapat mencapai 2,984 miliar ton per bulan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam mendukung komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon, PT Perusahaan Listrik Nasional, yang juga ikut berperan dalam menyumbang emisi terbesar mengemukakan salah satu strategi yang dapat digunakan dalam  menurunkan emisi karbon yaitu pemanfaatan bahan bakar berbasis biomassa sebagai sumber energi. Bahan bakar biomassa ini dilakukan dengan membakar biomassa, seperti pelet kayu, cangkang sawit, atau sekam padi bersama batu bara di PLTU. Co-firing biomassa ini dianggap sebagai solusi yang murah untuk menurunkan emisi karbon dalam sektor pembangkit listrik. Mengapa demikian? Karena perhitungan emisi karbon tidak akan dimasukkan ke dalam sektor pembangkit listrik melainkan ke sektor kehutanan. Mengganti sektor perhitungan emisi karbon tidak dapat menyelesaikan masalah dari emisi karbon, karena masalah emisi karbon tetap ada hanya saja itu sudah bukan masalah milik sektor pembangkit listrik lagi. Hingga pertengahan tahun 2022, pemerintah telah menerapkan co-firing biomassa di 33 PLTU dan ditargetkan untuk terus bertambah menjadi 52 PLTU pada 2025.

Apabila kita cermati kembali, penerapan co-firing sebagai solusi dalam mengurangi produksi emisi karbon tampaknya tidak tepat. Dalam penerapan co-firing, tetap terjadi proses pembakaran. Karena pada dasarnya, setiap asap hasil pembakaran pasti menghasilkan gas karbon. Bahkan dalam pembakaran skala kecil seperti asap saat memasak, gas karbon tetap terbentuk. Mengurangi jumlah batu bara dan mensubstitusinya menggunakan biomassa bukanlah suatu solusi. Karena bukan bahan yang digunakan dalam pembakaran yang menjadi permasalahannya, melainkan proses pembakaran itu sendiri.

Jumlah biomassa yang dibutuhkan pastinya tidaklah sedikit, apalagi dalam memenuhi kebutuhan listrik dalam skala nasional. Perkiraan awal PLN dalam kebutuhan co-firing 10 persen biomassa di 52 lokasi sebanyak 8 juta ton per tahun biomassa dari hutan tanaman energi dan 900 ribu per tahun dari sampah. Mengutip Trend Asia, jumlah biomasssa sebanyak itu hanya mungkin terpenuhi dari perkebunan kayu skala massal semacam perusahaan hutan tanaman energi (HTE). Diperlukan bahan baku dalam skala besar secara berkelanjutan. Namun, akankah bahan baku biomassa tersebut dapat terus-menerus ada dan memenuhi dua kondisi yakni dalam skala besar serta secara berkelanjutan?

Untuk sampah mudah didapatkan, akan tetapi bagaimana dengan biomassa yang berasal dari hutan tanaman energi? PLTU Jeranjang di NTB dan PLTU Sintang di Kalimantan Barat, terbukti tidak mampu memenuhi keberlanjutan bahan baku. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku ini, solusi termudahnya adalah dengan biomassa pelet kayu. Mengutip bantenprov.go.id, pelet kayu berasal dari kayu Kaliandra atau limbah kayu yang kemudian diolah menjadi serbuk dengan ukuran panjang 1 sampai 3 cm serta diameter sekitar 6 sampai 10 mm.

Penggunaan pelet kayu sebagai alternatif bahan bakar nampak menjanjikan karena asap hasil pembakaran tidak menghasilkan CO2. Namun, melalui riset yang dilakukan oleh Trend Asia, penggunaan pelet kayu justru menimbulkan masalah baru berupa deforestasi. Pelet kayu dan tingkat co-firing 10 persen, kebutuhan biomassa 107 unit PLTU itu mencapai 10,23 juta ton per tahun. Dalam memenuhi kebutuhan biomassa tersebut, dapat mendorong terjadinya deforestasi. Dimana lahan baru akan dibuka guna menanam tanaman yang akan digunakan untuk membuat pelet kayu.

Solusi yang dianggap tepat ini justru menimbulkan permasalahan baru. Deforestasi dapat menimbulkan masalah lingkungan yang lebih luas. Seperti yang kita tahu, salah satu fungsi hutan adalah sebagai paru-paru dunia dengan menyerap CO2 dan menghasilkan O2. Namun bila jumlah hutan berkurang akibat deforestasi untuk memenuhi kebutuhan biomassa pelet kayu, maka bukan menurun, emisi karbon akan bertambah menjadi dua kali lipat. Hutan sangatlah diperlukan dalam menyeimbangkan jumlah CO2 dan O2 di udara. Meskipun terdapat penanaman kembali terhadap lahan yang telah di alihkan fungsinya, durasi waktu yang diperlukan untuk kembali menjadi seperti ‘semula’ sangatlah lama, bisa lebih dari satu dekade.

Deforestasi tidak hanya disebabkan dari pemenuhan kebutuhan pelet kayu sebagai biomassa. Terdapat juga program pemerintah yang dapat mendorong terjadinya deforestasi, yaitu berupa pemanfaatan bahan bakar nabati untuk campuran bahan bakar solar atau yang disebut biodiesel. Produksi biodiesel saat ini menggunakan bahan baku tunggal yaitu minyak nabati dari kelapa sawit. Dengan konsep menjadikan bahan bakar nabati sebagai campuran bahan bakar solar.

Melalui program B30, 30% campuran bahan bakar nabati, tahun ini pemerintah Indonesia akan menggunakan 10,1 juta kiloliter minyak nabati untuk dicampurkan ke dalam solar. Sementara dalam program B40, 40% campuran bahan bakar nabati, pemerintah memperkirakan kebutuhan minyak nabati akan mencapai 18 juta kiloliter pada 2030. Dengan jumlah penduduk mencapai 273,52 jiwa dan mayoritas penduduk Indonesia pengguna kendaraan bermotor, program B30 serta B40 dapat dikatakan sebagai langkah yang beresiko.

Mengutip dari The Conversation, pada tahun 2022 ditemukan bahwa emisi produksi biodiesel dari hulu hingga ke hilir justru berpotensi lebih tinggi 6 kali lipat dibandingkan bahan bakar fosil. Pasalnya, perluasan perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan merambah hutan dan lahan gambut. Dalam kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI menyatakan, kebutuhan minyak nabati dalam skenario B50 berpotensi mendorong pembukaan lahan sawit baru hingga 2025. Kebutuhan lahannya diprediksi sebesar 9,29 juta hektare atau setara dengan 70% dari luas areal produksi kelapa sawit tahun 2019.

Jika kita mencoba berada di posisi pemerintah sebagai pembuat regulasi, dapat dilihat bahwa pemerintah berusaha menjadi penengah di antara dua pihak yakni, pihak yang diuntungkan dengan pemanfaatan batu bara dan pihak yang dirugikan dari pemanfaatan baru bara ini. Sehingga pemerintah nampaknya setengah-setengah dalam menangani permasalahan emisi gas rumah kaca berupa karbon ini. Jika benar-benar ingin merealisasikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29% pada tahun 2030, pemerintah diharapkan dapat lebih tegas dan adil dalam membuat regulasi mengenai pemanfaatan energi baru dan terbarukan ini.

Pada akhirnya masyarakat dan negaralah yang akan dirugikan. Karena permasalahan emisi gas rumah kaca ini dikerjakan setengah-setengah, pemerintah perlu membuat regulasi atau kebijakan baru lagi untuk mengatasi setengah bagian dari permasalahan yang belum terselesaikan. Pembuatan regulasi atau kebijakan baru berarti pengeluaran dana lagi bagi negara. Terdapat ungkapan dalam bahasa Jawa, “mindho gawe”, yang artinya pekerjaan yang dapat diselesaikan sekaligus, namun karena dilakukan setengah-setengah maka perlu dikerjakan lagi.

Masyarakat juga dirugikan karena terkena dampak buruk dari program pemerintah yang setengah jadi ini. Partikel hasil pembakaran batu bara dapat masuk ke paru-paru dan menyebabkan penyakit pernapasan. Selain itu, pembangkit listrik yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi, menghasilkan zat radioaktif 100 kali lebih banyak daripada pembangkit listrik tenaga nuklir. Limbah padat batu bara juga beracun sehingga harus dibuang ke tempat khusus.

Komitmen pengurangan emisi karbon seharusnya tidak hanya difokuskan pada penurunan atau kenaikan angka, namun konsekuensi serta manfaat dari program-program yang dibuat dalam merealisasikan komitmen tersebut.

Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) adalah langkah yang bijak dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun langkah yang dilakukan setengah-setengah hanya akan membuat usaha, dana, dan waktu yang dicurahkan menjadi sia-sia. Dalam menyelesaikan masalah jangka panjang, diperlukan pula solusi dengan jangka panjang.

 

Daftar pustaka:

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/11/produksi-energi-listrik-terbarukan-ri-sedikit-di-antara-mayoritas-negara-g20

https://www.ekuatorial.com/2022/11/mencermati-dana-transisi-energi-rp300-triliun-agar-terhindar-jebakan-utang/

https://trendasia.org/pengembangan-bioenergi-berpotensi-timbulkan-masalah-lingkungan-dan-pangan/

https://trendasia.org/transisi-energi-indonesia-dinilai-salah-arah-ini-alasannya/

https://kliklegal.com/pengamat-transisi-energi-indonesia-salah-arah/

https://trendasia.org/wp-content/uploads/2022/11/Ancaman-Deforestasi-Tanaman-Energi.pdf

https://theconversation.com/mengapa-ambisi-hijau-proyek-biodiesel-dan-pltu-dapat-memperburuk-emisi-indonesia-194073

https://theconversation.com/mengapa-ambisi-hijau-proyek-biodiesel-dan-pltu-dapat-memperburuk-emisi-indonesia-194073

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mutia Fitri Nuraini lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB