Pada Februari tahun lalu The Guardian melaporkan air bersih warga Kawasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan terkontaminasi logam beracun. Ada zat karsinogenik cromium heksavalen (Cr6) sebesar 60 bagian per miliar (ppb) dari operasi pertambangan nikel Harita Group. Menurut pakar, zat ini mematikan bagi yang terpapar, tapi sebagian warga tidak punya pilihan lain.
Beberapa bulan kemudian, investigasi Narasi menyatakan perusahaan tambang nikel yang sama membuang limbah ore nikel ke Sungai Ake Lamo dan Sungai Toduku. Angka kandungan nikel di Sungai Toduku bahkan capai 0.045 miligram/liter lewati ambang batas aman biota laut dari peraturan pemerintah, dan nelayan desa tetap melaut di perairan yang tercemar.
Dua investigasi ini menguatkan temuan awal liputan saya di akhir tahun 2021 dan awal 2022. Faktanya cukup mencengangkan. Pembongkaran bentang ekologi di belakang pemukiman Desa Kawasi, terjadi secara ugal-ugalan. Daya rusak industri nikel di Kawasi mengerikan. Lumpur sisa pengolahan (ore nikel) dibuang ke Sungai Toduku. Sungai ini rusak total. Ekosistem sekitarnya rusak parah. Kalau musim hujan, lumpur pekat-berminyak mengalir ke muara laut.
Riset Pusat Studi Aquakultur pada 2019 bahkan menyatakan parameter kualitas air laut di wilayah industri nikel di atas ambang batas dan melampaui baku mutu. Muhammad Aris, periset studi itu menemukan ada 12 jenis biota laut yang diduga tercemar logal berat. Hasil uji laboratorium menyimpulkan, di dalam jaringan ikan terjadi kerusakan berat, mulai dari daging, usus hingga otot.
Kerusakan parah pada sumber-sumber air warga dan ruang tangkap nelayan di perairan terjadi berbarengan dengan penghancurkan bentang sosial-ekologi warga Kawasi di Pulau Obi. Pertambangan berikut kawasan industri pengolahan nikel merupakan dasar pembentuk perubahan brutal[1] atau krisis sosial-ekologi.
Rezim ekstraktivisme[2] menjarah ruang hidup warga Kawasi di Pulau Obi sejak tahun 2007. Muhamad Kasuba, Bupati Halmahera Selatan kala itu memberi karpet merah kepada industri tambang nikel. Setahun kemudian, pada 2008, MS Gaban, Menteri Kehutanan waktu itu juga beri izin pinjam pakai dan pemanfaatan kawasan hutan (IPPKH) untuk ekspolitasi tambang nikel kepada PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS)--pada 2010 lalu dibawah bendera Harita Group.
Kedua industri tambang ini adalah anak usaha Harita Group dengan konsesi seluas 5.524 hektar, yang menjepit kampung Kawasi dari sisi kiri dan kanan dengan fasilitas produksi dan bangunan penunjang pabrik. Di konsesi itu, tiga perusahaan lain juga terafiliasi dan beroperasi di atasi IUP PT TBP, yaitu PT Megah Surya Pertiwi (MSP), PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF) dan PT Halmahera Persada Lygend (HPL).
Penghancuran ruang makin masif ketika ekspansi pembangunan pabrik PT Halmahera Persada Lygend (HPL) medio 2017-2018. Pabrik ini patungan dari Zhejiang Lygend Investement Co., Ltd. dan Harita Group, dan mulai konstruksi pada 2018 dengan modal US$ 1,5 miliar. Zhejiang Lygend perusahaan nikel asal Tiongkok dengan anak usaha Ningbo Lygend Mining kuasai 36,9 persen saham, Harita melalui TBP punya mayoritas saham 63,1 persen.
Dibawah rezim Jokowi, dengan target hilirisasi nikel, smelter tambang memproduksi nikel kadar rendah dengan teknologi padat modal, yaitu teknologi hidrometalurgi Higth Pressure Acid Leach (HPAL). Teknologi ini menghasilkan produk campuran padatan hidroksida dari nikel dan kobalt (Mixed Hydroxide Precipitate atau MHP), yang merupakan bahan baku dasar bateri kendaraan listrik.
Luhut Bisnas Pandjaitan, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Juni 2021 datang jauh-jauh dengan bangga meresmikan pabrik HPAL. Dia mengatakan industri ini ikut berkontribusi mewujudkan cita-cita dalam upaya penurunan kadar emisi dari penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil.
Dalam laporan perusahaan semester pertama 2021, PT TBP menargetkan selama 13 tahun beroperasi akan meningkatkan produksi dari 6 juta menjadi 15,2 juta ton bijih nikel per tahun. Hasilnya diolah oleh pabrik HPAL dalam bentuk MHP--yang ditergetkan hasilnya sebanyak 365 ribu ton per tahun.
Seperti yang dikatakan Surya Saluang dkk, logika surplus memang selalu menghendaki perluasan arena kerja, atau ekspansi produksi. Ekspansi produksi adalah kata lain perluasan penghancuran gila-gilaan untuk surplus kapital industri nikel. Logika kapitalistik tidak peduli ruang hidup warga lenyap, atau penghuninya diusir paksa, terpenting adalah akumulasi besar-besaran.
Pabrik pengolahan nikel dibangun dengan menerabas perkebunan kelapa dan jambu mente warga Kawasi di belakang pemukiman. Aparat kekerasan dan kaki tangan perusahaan di kampung dikerahkan mengintimidasi warga agar melepas lahan. Hingga, seorang warga bernama Dominggus dipenjarakan karena mempertahankan tanahnya, dan Andrias Datang, warga lain dipukul dengan popor senjata karena menolak harga ganti rugi yang tidak adil.
Di tengah protes, laju kerusakan dibiarkan berjalan mengkafling-kafling sumber kehidupan warga termasuk melenyapkan sumber-sumber air. Air Cermin misalnya, lenyap sejak penjarahan ekstraksi nikel pada awal operasi. Danau Karo dalam kawasan industri di privatisasi, dan Sungai Loji rusak total, tubuh alir dan muaranya berantakan, mungkin sudah lenyap sekarang.
Rezim ekstraktivisme mengemas perubahan brutal dan operasi ugal-ugalan industri nikel Harita Group ini dengan klaim ramah lingkungan dan mengurangi emisi karbon. Menciptakan ilusi seolah-olah dengan kendaraan listrik, suhu bumi bisa pulih, target zero emision tercapai, lalu membiarkan kenyataan bahwa solusi palsu itu dibangun dari penghancuran ruang hidup warga, terutama di Pulau Obi.
Jika Anda bertanya kepada warga Pulau Obi, apakah mereka butuh kendaraan listrik? Tidak perlu menjawab tidak. Melihat kondisi ekologis Pulau Obi yang makin berantakan dengan pencemaran dan kerusakan atas sumber penghidupan warga saja sudah menjawab.
Atau ide gila rezim ekstraksi saat ini yang sedang merancang memindah-paksakan warga Kawasi ke daerah perbukitan, yang jauh dari pesisir pantai. Dimana, daerah yang kini dibangun perumahan baru (ecovillage) itu juga sebetulnya berdiri di atas kebun sagu terbesar di Pulau Obi. Kebun sagu digusur, dihancurkan, ditimbun dengan material lalu di bangun perumahan. Sampai sekarang, warga masih menolak, tapi laju kerusakan saat ini bakal mengusir warga dari kampung, cepat atau lambat.
Proyek kendaraan listrik memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasar global, bukan kepentingan warga Pulau Obi--atau daerah-daerah lain di Maluku Utara yang sedang berhadap-hadapan dengan petaka yang sama dari industri nikel.
Jejak kerusakan di mana ekstraktivisme ini berjalan dilupakan begitu saja. Sementara, keuntungan dari penghancuran ruang besar-besaran diraup segelintir elit dan pemilik bisnis. Harita Group beberapa waktu lalu telah tercatat meraih laba bersih 4,7 triliun rupiah pada selama periode tahun 2022. Pemilik Harita Group, Lim Haryanto Wijaya Sarwono, punya kekayaan bersih $4,3 miliar per 23 Mei 2023 berdasarkan Forbes. Hasil ini diperoleh dari menghancurkan bentang sosial-ekologi warga Kawasi dan membiarkan warga menanggung risiko dari bencana dan kerusakan yang saat ini terjadi.
Warga tak punya kontrol terhadap kerusakan total pada sumber-sumber penghidupan mereka. Sejak rezim ekstraktivisme ini diberi ruang, kata Vandhana Shiva, sistem manajemen kolektif atas air bukan saja terkikis[3], tapi lenyap diganti pipanisasi dari air tercemar dan ketergantungan pada air kemasan.
Sistem pangan warga juga beralih dari bertani tradisional menjadi ketergantungan pada industri pupuk dan bibit tanaman impor. Pangan-pangan lokal tidak laku dipasarkan. Sagu nyaris tidak ditemukan di kampung Kawasi. Sebagai pangan lokal, sagu bukan lagi menjadi makanan pokok. Warga tak lagi mengonsumsi minyak olahan dari pohon kelapa, semua praktis menggunakan minyal kemasan dari sawit. Komoditas lokal dianggap tertinggal. Produksi konsumsi pangan lokal tercerabut. Semua bencana ini dikangkangi rezim ekstrativisme.
Perubahan pola produksi dan konsumsi warga dari pangan lokal ke industri kemasan dianggap satu kemajuan. Kemajuan diukur dari sajian makanan olahan pabrik, bukan dari kebun-kebun yang selama ini warga kelola. Ilusi ini diciptakan dan dipertahankan untuk melanggengkan ekonomi ekstraktivisme kapitalistik di pedesaan yang telah tercerabut ruang penghidupannya.
Logika sesat lain dilanggengkan, mengganggap kemajuan ekonomi berada pada daerah dimana operasi produksi pertambangan berlangsung. Padahal daerah dimana industri tambang beroperasi tidak menjamin warga tempatan sejahtera secara ekonomi, yang terjadi justru sebaliknya, dimana ekstraksi tambang beroperasi adalah dimulainya satu krisis besar. Krisis dari meja makan di kampung-kampung. Oleh Andre Gorz disebut penanda krisis bukan produksi kapitalis diperkotaan ambruk[4], tapi sistem ekologi di pedesaan rusak tak terpulihkan.
Seperti yang direkam Tania Murray Li[5], bagaimana penghuni perbukitan di Sulawesi tidak lagi mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, atau kerusakan sama persis di Pulau Gebe yang, secara sosial-ekologis telah bangkrut akibat penjarahan ugal-ugalan ekstraksi tambang.
Problem macam ini bakal terus berlangsung dan makin parah selama rezim ekstraktivisme dibiarkan mengeruk tanpa henti. Yang sudah terjadi saat ini dari krisis air, gangguan kesehatan, lenyapnya sumber pangan, penciptaan kondisi konflik, hingga kemudian bakal diusir dari kampung, akan menjadi cerita tragis bagi generasi akan datang. Disamping, anak-anak yang lahir setelah industri ini beroperasi, bakal kehilangan memori kolektif bagaimana kondisi sosial-ekologi sebelum kehancuran.
Krisis air dan pangan warga, beserta pencerabutan sosial-ekologi kampung Kawasi di Pulau Obi kelak akan lebih buruk, jauh lebih buruk[6], dan ini bukan cerita dongeng selama ekstraktivisme tak dihentikan. Untuk menghentikan laju kerusakan dan krisis yang terjadi, tidak bisa tidak, sistem ekonomi esktraktivisme yang bertumpu pada akumulasi kapital harus dicegat sesegera mungkin. Kalau tidak, pilihan politis kita hanya sosialisme atau ekofasisme?
Rujukan
- Surya Saluang dkk, Perampasan Ruang Hidup: Cerita Orang Halmahera, Penerbit Tanah Air Beta 2015.
- Ekstraktivisme adalah istilah sistem ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Istilah ini berkembang dan sangat populer di Amerika Latin. Di sana, ekstraktivisme digambarkan sebagai model ekonomi warisan kolonial. Di Indonesia, Jatam menyebutnya dengan ideologi keruk yang bertumpuh pada oligarki, atau kolonialisasi sumber daya alam.
- Vandhana Shiva, Water Wars: Privatisasi, Profit, dan Polusi, Insist Press 2002
- Andre Gorz, Anarki Kapitalisme, Resist Book 2011
- Tania Murray Li, Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat, Marjin Kiri Cetakan Kedua, April 2022
- David Wallace-Wells, Bumi Yang Tak Dapat Dihuni: Kisah Tentang Masa Depan, Gramedia 2019
Ikuti tulisan menarik Rabul Sawal lainnya di sini.