x

PT EWF membangun tanggul setinggi 5-7 meter dengan panjang 11-13 kilometer untuk melindungi kebun dari banjir dan mencegah air keluar dari kebun saat musim hujan.

Iklan

Suwandi Wendy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 21:29 WIB

Omong Kosong Restorasi Gambut

Tulisan ini menyoroti kebijakan pemerintah terkait restorasi gambut yang berada di lahan masyarakat dan perusahaan. Keberadaan perusahaan ternyata tidak sepenuhnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, justru sebaliknya meningkatkan angka kemiskinan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya merasa kicep mendengar pernyataan Badan Meteorlogi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) awal Maret lalu, El Nino datang lebih awal pada tahun ini. Kata ini mulai akrab di telinga sejak peristiwa mengerikan pada 2015 lalu. Semua tempat berselimut kabut. Orang memakai masker dan anak-anak meninggal.

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menyemburkan kabut asap sampai ke negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Penerbangan pesawat terganggu, sekolah libur dan banyak orang menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Kerugiannya di Jambi mencapai Rp12 triliun, secara nasional menembus angka Rp220 triliun.

Satu nyawa lebih berharga dari dunia dan isinya. Tahu kah kamu, kematian akibat Karhutla hasil studi 12 peneliti asal Universitas Harvard dan Columbia menyatakan ada 100.300 kasus kematian yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Indonesia pada September-Oktober 2015. Dari jumlah itu diperkirakan 91.600 kematian ada di Indonesia, 2.200 kasus kematian di Singapura, dan 6.500 kasus kematian di Malaysia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Krisis air di lahan gambut adalah pemicu kebakaran. Maka saya senang, Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi gambut, agar tidak terjadi kebakaran. Mereka mau membasahi gambut, menanam pohon dan memberdayakan masyarakat. 2-3 tahun awal memang sedikit terjadi kebakaran, tetapi ketika kata “El Nino” kembali hadir dalam pembicaraan pada 2019 lalu, kebakaran hebat kembali terjadi.

Langit Jambi viral di media sosial, karena berwarna merah darah. Dengan segala keterbatasan saya mengumpulkan bahan-bahan bacaan dari hasil riset, berita dan kampanye para aktivis lingkungan. Saya menyimpulkan omong kosong restorasi gambut.

BRG bekerja di lahan masyarakat dan hutan negara sedangkan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertugas merampungkan restorasi gambut di lahan konsesi. Pekerjaan maha kurang BRG diperparah dengan lemahnya kinerja KLHK di ranah perusahaan. Dalam buku berjudul Restorasi Lahan Gambut di HLG Londerang dan Tahura Orang Kayo Hitam, Provinsi Jambi restorasi tampak sukses gemilang. Tapi kedua tempat itu pada 2019, hangus terbakar.

Gambut dan air itu berteman. Sehingga semua pihak yang mendiami lahan gambut harus bekerja sama untuk berbagi air, bukan memonopoli air. Saya buktikan dengan menyuguhkan jurnal Turmudi dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang menyebut terganggunya hidrologi gambut dalam lanskap tertentu karena kegiatan pengeringan dan monopoli air, akibatnya lahan gambut mengalami penurunan (subsiden) dan dekomposisi.

Hasil kajian Walhi Jambi, monopoli air di perusahaan PT Erasakti Wira Forestama (EWF) dan PT Wira Karya Sakti (WKS) anak usaha Sinarmas Grup, membuat lahan HLG Londerang dan Tahura Orang Kayo Hitam mengalami kebakaran. Menurut Walhi mereka tidak memiliki prinsip berbagi air.

Dari banyak temuan Walhi Jambi, saya tertarik dengan Desa Rukam, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Jaraknya hanya sekitar 1 jam dari kota dengan kondisi jalan bagus. Saya merasa sepi saat berada di desa yang terjepit dua perusahaan raksasa yang bergerak di perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Orang-orang hingga petang masih sibuk bekerja, untuk mencukupi kebutuhan dapur. Berbeda dengan desa lainnya di Jambi, pada sore hari banyak warga sudah bersantai di beranda rumah.

Untuk mengakses desa itu, ada 4 jalur, jalur pertama melalui jalan perusahaan PT WKS, jalan kedua melalui lahan PT EWF, ketiga jalan milik pemerintah yang rusak berat, terakhir jalur sungai dengan perahu ketek. Saya pergi ke sana menggunakan jalur terakhir, lebih aman tanpa harus meninggalkan kartu tanda penduduk (KTP) di pos penjagaan perusahaan atau terjerembab dalam lumpur jalan yang berlubang-lubang.

Lokasi Desa Rukam yang memiliki jumlah penduduk sekitar 1.644 jiwa dan luas wilayah 3.216 hektar menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terjepit. Pada bagian belakang terbentang kebun PT EWF. Bagian depannya terbujur Sungai Batanghari, lalu hamparan tanaman PT WKS.

Saya merasa luasan wilayah Desa Rukam ribuan hektar hanya ada dalam angka. Sebab petani-petani menanam padi, sayuran, pisang dan jagung di bantaran sungai. Menurut Datuk Syafei, Ketua Lembaga Adat, tempat saya menginap, lebih dari separuh lahan warga sudah dijual ke PT EWF. Saya yang penasaran bertanya banyak hal, termasuk sumber mata pencaharian masyarakat. Menurut Datuk Syafei, nelayan sudah kehilangan ikan, sebab danau-danau besar di desanya ditimbun perusahaan. Tidak hanya itu, PT EWF juga mendirikan tanggul raksasa sepanjang 11-13 kilometer setinggi 5-7 meter, yang memisahkan desa dengan perusahaan.

Semenjak tanggul raksasa dibangun sawah di belakang desa kehilangan air. Protes petani tak digubris perusahaan, bahkan diancam akan dipenjara. Oleh sebab itu, mereka akhirnya berkebun di bantaran Sungai Batanghari. Ketika musim hujan, masyarakat Desa Rukam kebanjiran. Namun perusahaan tak tersentuh air sedikit pun.

Kala musim kemarau menerjang, warga Desa Rukam kekeringan dan membeli air galon untuk kebutuhan masak, tetapi perusahaan berlimpah air. Mereka memonopoli air di lahan gambut, kata Datuk Syafei. Saya mengurut dada mendengar cerita ini.

Selain Walhi Jambi, rupanya ada banyak pihak yang peduli dengan kondisi masyarakat Desa Rukam. Mereka adalah para jurnalis. Sejak 2019-2021 pemberitaan terhadap kondisi warga Rukam muncul di media. Salah satunya, jurnalis DW Indonesia, Rizki Nugraha yang menulis asal usul orang Rukam masuk perangkap PT EWF, Mongabay Indonesia yang menulis monopoli air di lahan gambut dan Liputan 6 yang memotret tanggul raksasa PT EWF dan kubah gambut di PT WKS.

Saya heran ada banyak publikasi tentang kondisi orang Rukam, tetapi restorasi gambut di daerah itu masih lamban. Pada akhir 2020, barulah BRG menjalankan dua program di Rukam. Tetapi tanggul raksasa PT EWF tetap berdiri dan perusahaan sawit ini masih bebas dari tanggung jawab restorasi gambut.

 

Krisis air dan kesulitan mencari penghidupan yang dialami warga Rukam, seharusnya tak terjadi apabila semua pihak mematuhi Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis. Aturan ini mampu meningkatkan aspek keberlanjutan ekonomi dari pelaku usaha untuk mendukung pertumbuhan ekonomi baik pada lingkup regional maupun global dengan tetap memperhatikan ekosistem gambut.

Kajian Peneliti Ekonomi Universitas Jambi, Dwi Hastuti menyatakan masyarakat Rukam dengan jumlah sekitar 1.644 orang, hampir 80 persen hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini karena mereka kehilangan sumber pencaharian sebagai nelayan dan petani. Potensi ekonomi yang hilang dampak aktivitas perusahaan mencapai Rp26 miliar.

Hasil penelusuran Peta PRIMS Gambut, perusahaan kebun sawit ini, berada di KHG Sungai Batanghari-Sungai Kumpeh. Menurut Laporan Kinerja Restorasi Gambut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, pada 2018 lalu, dalam KHG ini dijejali lahan hak guna usaha (HGU) seluas 13.140,08 hektare, hampir setengahnya masuk dalam PT EWF, seluas 6.314,99 hektar.

Saya kembali mengurut dada, sebab dari total luasan lahan HGU perkebunan sawit di Jambi, yakni 98.206,55 hektar, lahan milik PT EWF hanya sekitar 6 persen. Namun daya rusaknya terhadap ekosistem lahan gambut, sudah begitu pahit dirasakan warga Rukam.

Dampak perubahan iklim sudah nyata di depan mata. Bahkan telah menembus kulit. Sinar mentari begitu panas menyengat di siang hari. Saya merasakan itu beberapa tahun belakangan. Untuk melihat kaitan antara restorasi gambut dengan perubahan iklim, maka saya mengotak-atik laman Climate Central, Inc. Hasilnya bisa diakses melalui laman https://coastal.climatecentral.org/map. yang menunjukkan pada 2030 tiga kabupaten seperti Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi bagian timur akan tenggelam.

Tiga wilayah ini didominasi gambut dalam. Dengan semakin nyata perubahan iklim, akan menimbulkan bencana di kawasan gambut yang mengalami kerusakan. Untuk diketahui, Desa Rukam terletak di Kabupaten Muaro Jambi, kabupaten yang akan tenggelam ketika laju kenaikan permukaan air laut terus meningkat.

Tampak pada peta, dominasi warna merah menyala pertanda daerah itu, telah berada di bawah permukaan air. Termasuk Desa Rukam telah tertutup warna merah. Ketika level tahun dinaikkan pada 2050, maka air memasuki Kota Jambi. Sedangkan pada 2070 hampir semua Kota Jambi telah terendam air.

Gambut dan air berteman. Maka sudahilah omong kosong restorasi gambut sejak sekarang. Para pemangku kebijakan berpikirlah dengan keras dan cepat, agar “El Nino” tahun ini tidak lagi membawa kabut dan membunuh puluhan ribu jiwa.

 

Ikuti tulisan menarik Suwandi Wendy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB