x

Ilustrasi kendaraan listrik. Sumber foto: misautomoviles.com

Iklan

Arristo Herbawono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 21:31 WIB

Kapitalisme dan Pergeseran Ketergantungan Energi: Analisis Perspektif Green Criminology terhadap Sisi Lain Kendaraan Listrik

Artikel ini membahas bagaimana transisi kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik hanya menggeser ketergantungan industri ekstraktif dari minyak ke lithium (baterai) alih-alih mengurangi ketergantungan industri ekstraktif. Selain itu, kendaraan listrik yang menggunakan tenaga listrik sebagai daya utamanya memberikan masalah baru khususnya bagi negara-negara yang masih menggunakan pembangkit listrik yang tidak ramah lingkungan seperti batu bara. Perspektif Green Criminology membantu kita untuk melihat bahwa kerusakan lingkungan dilegitimasi di dalam agenda "pembangunan berkelanjutan" baik oleh pemerintah maupun korporasi. Kendaraan listrik memang menampakkan sisi "zero emission" dalam penggunaannya, namun di sisi lain proses produksinya yang seharusnya dipertanyakan justru jarang disinggung. Pada akhirnya, kendaraan listrik hanya menjadi produk kapitalisme baru yang digunakan sebagai "tren hijau" bagi kalangan menengah ke atas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gemerlap Kendaraan Listrik

Kendaraan telah menjadi salah satu teknologi penunjang kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan. Tidak hanya sebagai kebutuhan, kendaraan juga telah menciptakan tren baru dan menjadi simbol bagi kelas-kelas sosial. Cerovsky & Mindl (2008, dalam Martins, et al., 2013) mengemukakan bahwa pasar otomotif akan terus tumbuh selama beberapa dekade mendatang, dimana antara tahun 2000-2050 diperkirakan populasi manusia akan bertambah 1,7 kali lipat, namun jumlah mobil akan bertambah lebih banyak lagi, yaitu mencapai 3,6 kali lipat (belum termasuk kendaraan lain). Berdasarkan data tersebut, wajar apabila perusahaan-perusahaan otomotif semakin gencar untuk bersaing dalam perkembangan bisnis otomotif karena adanya prediksi pasar yang cukup besar terhadap kendaraan.

Kendati demikian, penggunaan kendaraan konvensional yang berlebihan telah menciptakan polusi udara yang cukup tinggi. Emisi yang dihasilkan oleh transportasi merupakan kontributor terbesar dalam polusi udara dan menyebabkan risiko kesehatan lingkungan secara global, dimana emisi transportasi berbahan bakar fosil telah bertanggung jawab setidaknya terhadap 5,38 kematian per 100.000 orang secara global pada tahun 2015 (Anenberg, et al., 2019). Hal ini tentu memicu keresahan khususnya bagi para pemerhati lingkungan maupun pemerintah, ditambah dengan adanya kesadaran pribadi dari masyarakat (khususnya menengah ke atas) akan polusi udara yang ditimbulkan oleh kendaraan konvensional yang berbahan bakar fosil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Data yang diambil dari Statista menunjukkan peningkatan penjualan kendaraan listrik yang cukup signifikan dari tahun 2012-2021. Pada tahun 2020-2021, penjualan kendaraan listrik meningkat hingga lebih dari dua kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19 dimana adanya kesadaran akan green recovery di antara masyarakat. Selain itu, pemerintah juga berperan penting dalam peningkatan transisi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik dimana adanya pemberian insentif dan subsidi bagi para pengguna ataupun calon pengguna kendaraan listrik, seperti subsidi pembelian, potongan pajak, pembebasan pajak, maupun kebijakan lain yang dapat mempermudah dan mempercepat transisi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik (International Energy Agency, 2017). Adanya kebijakan-kebijakan tersebut merupakan angin segar bagi para pemilik perusahaan-perusahaan produsen kendaraan listrik karena dapat mendongkrak penjualan mereka.

https://ibb.co/QPFV04m

Dengan melihat statistik penjualan dan kebijakan-kebijakan insentif yang diberikan oleh pemerintah, kendaraan listrikpun nampaknya mulai mengalami masa kejayaan pada saat ini hingga tahun-tahun mendatang. “Kendaraan ramah lingkungan” menjadi julukan kendaraan listrik yang menghasilkan emisi karbon bahkan hampir 0 ini, jauh dibandingkan emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan konvensional. Namun, terkadang sesuatu yang dipresentasikan terlalu berlebihan justru menyimpan sisi lain di baliknya, ibarat teori self-presentation yang diutarakan oleh Erfing Goffman (1956), dimana interaksi sosial terbagi menjadi dua, yaitu front stage dan back stage. Front stage merupakan area dimana individu berinteraksi dengan orang lain secara langsung dan berusaha untuk menciptakan kesan yang diinginkan, sedangkan back stage merupakan area dimana individu dapat melepaskan peran yang dimainkannya di front stage dan menjadi lebih otentik karena tidak perlu menciptakan kesan yang harus ditampilkan kepada orang lain. Untuk itu, mari kita melihat ke sisi yang tidak diperlihatkan oleh industri kendaraan listrik di dalam front stage.

 

Green Criminology dan Kendaraan Listrik

Istilah Green criminology pertama kali dikemukakan oleh Lynch pada tahun 1990 yang kemudian menjadi salah satu kajian dalam disiplin ilmu kriminologi yang membahas mengenai isu-isu kerusakan dan kejahatan terhadap lingkungan (White, 2008). Kerusakan lingkungan memang tidak dapat kita hindari seiring dengan berkembangnya teknologi dan keserakahan manusia atas industri-industri ekstraktif. Lebih lanjut lagi, Gibbons (1994, dalam Eman, Meško, & Fields, 2009) mendefinisikan kejahatan lingkungan sebagai tindakan kriminal baik yang disengaja maupun dipertimbangkan dengan baik, sehingga mengakibatkan kerusakan air, lingkungan, udara, tanah atau daerah pedesaan secara aktual dan material.

Green criminology dapat membantu kita memahami perbedaan antara kerusakan lingkungan yang timbul akibat adanya ketidaksengajaan atau bencana seperti tumpahan minyak di laut dengan kerusakan lingkungan yang timbul akibat adanya bentuk-bentuk aktivitas yang disetujui secara normatif dan sistemik seperti PLTU batu bara. Menurut White (2008), poin yang pertama dianggap sebagai ‘kriminal’ atau ‘berbahaya’, namun poin yang kedua tidak. Adanya pertentangan ini membuat definisi kejahatan lingkungan menjadi semakin timpang, karena kerusakan lingkungan yang timbul akibat aktivitas-aktivitas yang dilegalkan dapat lebih tinggi daripada yang diilegalkan.

Dalam ranah politik, sering terjadi semacam penyangkalan atas apa yang menjadi definisi dari kerusakan lingkungan sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan seakan dikaburkan relevansinya dalam hukum. Hal ini kemudian memunculkan fenomena netralisasi dari pihak negara maupun korporasi yang pada akhirnya melegitimasi aktivitas-aktivitas yang tidak ramah pada lingkungan. Penyangkalan terhadap kerusakan lingkungan ini biasanya didasarkan pada tujuan ekonomi melalui bentuk ‘pembangunan berkelanjutan’ yang pada kenyataannya justru menyebabkan degradasi lingkungan yang lebih lanjut (White, 2008).

Dalam konteks bisnis, contoh yang paling jelas adalah fenomena greenwashing, yang menurut Concise Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai disinformasi yang disebarluaskan oleh suatu organisasi atau perusahaan dengan tujuan untuk membentuk citra publik yang bertanggung jawab terhadap lingkungan (Ramus & Montiel, 2005). Dilansir dari Energytracker.asia, contoh dari fenomena greenwashing dapat dilihat pada salah satu perusahaan multinasional jaringan restoran cepat saji McDonald, dimana pada tahun 2019 mereka melakukan kampanye untuk mengurangi jumlah plastik sekali pakai yang ada di tokonya seperti mengganti sedotan plastik dengan sedotan kertas. Kampanye ini dinilai sangat sukses dalam menggambarkan McDonald sebagai salah satu perusahaan yang berkomitmen dalam mengurangi sampah plastik dan menawarkan solusi yang berkelanjutan. Namun, pada kenyataannya sedotan kertas mereka tidak dapat didaur ulang dan proses pembuatan sedotan kertas tersebut telah menimbulkan banyak pertanyaan. Dengan demikian, kita tetap harus skeptis terhadap perusahaan yang menggunakan isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan dalam kampanye mereka.

 

Kendaraan Listrik dan Industri Ekstraktif

Walaupun kendaraan listrik secara permukaan tampak menggoda dalam hal emisi knalpot, proses produksi kendaraan listrik pantas untuk mendapatkan investigasi lebih lanjut, khususnya daya yang digunakan untuk mengoperasikan kendaraan listrik. Kendaraan listrik umumnya menggunakan rechargeable battery yang menggunakan listrik sebagai daya utamanya dan bahan-bahan pembuatannyapun membutuhkan bahan-bahan Rare Earth Elements (Levy, Rosen, & Iles, 2017) yang bersifat ekstraktif, seperti Nikel, Kobalt, Lithium, dan lain-lain. Menurut International Energy Agency (2019, dalam Henderson 2020), untuk tahun 2030 permintaan kobalt dan lithium di seluruh dunia akan melebihi pasokan saat ini, hingga nikel juga akan menghadapi kelangkaan pada tahun 2030.

https://ibb.co/nwprjn1

Pertanyaannya kemudian, apakah produsen kendaraan listrik yang menyemarakkan “zero emission” peduli dan memahami sumber dari bahan-bahan produksi kendaraan mereka? Hal ini penting untuk dipahami lebih lanjut, karena desain suatu produk dapat berdampak besar pada apa yang dianggap sebagai sustainability, dimana seringkali bahan yang digunakan justru menimbulkan kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan bahan mentah, merugikan pekerja, hingga menciptakan limbah akhir pada masa pakainya (Levy, Rosen, & Iles, 2017).

Tujuan utama dari kendaraan listrik hingga pemerintah memberikan subsidi tidak lain adalah karena kualitas udara yang semakin menurun, khususnya di daerah perkotaan yang tingkat mobilitasnya tinggi dan memiliki jumlah kendaraan yang cukup besar. Namun, tampaknya kendaraan listrik memiliki peran dalam kerusakan lingkungan, karena produksinya memerlukan material ekstraktif dan harus ditambang. Tentunya tak perlu dijelaskan lagi kondisi pertambangan di Indonesia bukan?

Daerah-daerah terpencil seperti pedesaan seringkali menjadi tumbal bagi pembangunan perkotaan. Demi meningkatkan kualitas udara di perkotaan dengan kendaraan listrik, maka tidak dapat ditampik bahwa pertambangan ekstraktif akan terus berjalan untuk memenuhi kebutuhan dari kendaraan listrik tersebut. Belum lagi sumber daya kendaraan listrik yang tentunya membutuhkan energi listrik, dimana negara kita hingga saat inipun masih belum dapat lepas dari batu bara sebagai pembangkit listrik. Salah satu tantangan terbesar dalam kendaraan listrik adalah menyediakan sumber energi listrik yang bersih dan bebas karbon, dimana sebagian besar negara masih menggunakan batu bara sebagai pembangkit listrik. (Ajanovic & Haas, 2018). Sebagaimana yang dideskripsikan oleh White (2008), tumpahan racun atau kontaminasi yang terjadi di tengah kota besar akan menarik perhatian publik dan tindakan pemerintah dibandingkan dengan kerusakan lingkungan lain yang terjadi di hutan belantara yang terpencil atau di laut lepas.

 

Kesimpulan

Transisi energi kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik dinilai dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, kita perlu mengkaji secara holistik terkait kendaraan listrik khususnya material yang digunakan dalam pembuatan baterai dan kebutuhan akan listrik, dimana dampak sebenarnya tergantung pada beberapa faktor seperti sumber energi listrik itu sendiri maupun dampak sosial yang dihasilkan akibat penggunaan kendaraan listrik. Seberapa signifikan kebijakan-kebijakan kendaraan listrik ini jika sumber daya yang menyokongnyapun justru masih memiliki dampak pada kerusakan lingkungan?

Selain permasalahan energi, faktor dampak sosialpun perlu lebih diperhatikan, karena faktor ini seringkali diabaikan dalam agenda pembangunan berkelanjutan. Tidak hanya diabaikan, mereka juga dikorbankan, khususnya akibat dampak dari masifnya industri ekstraktif yang melibatkan daerah-daerah terpencil. Banyak masyarakat yang terkena banyak masalah akibat adanya aktivitas pertambangan di wilayah mereka. Jika dampak sosial terus diabaikan, maka terciptanya keadilan energi hanyalah suatu utopis. Penggunaan kendaraan listrik pada akhirnya hanya akan menjadi “tren hijau” bagi kelompok menengah ke atas.

Adanya kapitalisme energi harus kita pahami bahwa demi mengejar akumulasi profit, lingkungan sering dikorbankan sebagai upaya meminimalisir pengeluaran. Dengan demikian, kita tetap harus bersikap skeptis terhadap korporasi yang menawarkan produk dengan menggunakan kampanye hijau, sampai kita mengetahui sendiri kebenaran dibalik produk tersebut. Transisi kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik mungkin bukanlah solusi jangka panjang dalam permasalahan industri ekstraktif. Kita sebagai umat manusialah yang seharusnya merubah perilaku kita dalam hal mobilitas sehari-hari. Namun, perubahan perilaku ini nampaknya tidak akan didukung oleh kebijakan sebagaimana pemerintah menerapkan subsidi kendaraan listrik. Daripada subsidi kendaraan listrik, bagaimana kalau subsidi untuk bersepeda?

 

Referensi

Ajanovic, A. & Haas, R. (2018). Electric Vehicles: Solution or New Problem?

Anenberg, S. C., et al. (2019). The Global Burden of Transportation Tailpipe Emissions on Air Pollution-Related Mortality in 2010 and 2015. Environmental Research Letter, Vol. 14, No. 9.

Eman, K., Meško, G., & Fields, C. B. (2009). Crimes Against the Environment: Green Criminology and Research Challenge in Slovenia. Journal of Criminal Justice and Security, Vol. 11, No. 4, pp. 574-592.

Goffman, E. (1956). The Presentation of Self in Everyday Life. University of Edinburgh.

Henderson, J. (2020). EVs Are Not the Answer: A Mobility Justice Critique of Electric Vehicle Transitions. Annals of the American Association of Geographers, Vol. 110, No. 6.

IEA. (2017). Global EV Outlook 2017, IEA, Paris https://www.iea.org/reports/global-ev-outlook-2017, License: CC BY 4.0

Koons, E. (2022, July 12th). Greenwashing Examples 2022: Top 10 Greenwashing Companies. Energytracker.asia, https://energytracker.asia/greenwashing-examples-of-top-companies/

Levy, S., Rosen, C. M., & Iles, A. (2017). Mapping the Product Life Cycle: Rare Earth Elements in Electronics. Case Studies in the Environment, Vol. 1, No. 1, pp. 1-9.

Martins, J., et al. (2013). Real-Life Comparison Between Diesel and Electric Car Energy Consumption. In C. A. M. Silva (eds.), Grid Electrified Vehicles: Performance, Design, and Environmental Impacts (pp. 209-232). Nova Science Publishers.

Ramus, C. A. & Montiel, I. (2005). When Are Corporate Environmental Policies A Form of Greenwashing? Business & Society, Vol. 44, No. 4, pp. 377-414.

Richter, F. (2022, February 15th). Global Electric Car Doubled in 2021. Statista. https://www.statista.com/chart/26845/global-electric-car-sales/

United Nations. (2021, July 8th). Frontier Technology Issues: Lithium-Ion Batteries: A Pillar for A Fossil Fuel-Free Economy? Department of Economic and Social Affairs, https://www.un.org/development/desa/dpad/publication/frontier-technology-issues-lithium-ion-batteries-a-pillar-for-a-fossil-fuel-free-economy/

White, R. (2008). Crimes Against Nature: Environmental Criminology and Ecological Justice. Willan Publishing.

Ikuti tulisan menarik Arristo Herbawono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler