x

Foto ini diabadikan oleh Alm. Yustinus Darma : di lokasi Pertambangan Mangan Desa Supul, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2016. Pada saat penulis bersama rombongan Aliansi Masyarakat NTT Tolak Tambang sedang melakukan aksi Penolakan Pertambangan.

Iklan

Erfin Klau

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:12 WIB

Penolakan Tambang Mangan: Dampak Kolonialisme Industri Ekstraktif dan Sesat Nalar Transisi Energi

Tulisan ini mengulas tentang Dampak Kolonialisme Industri Ekstraktif dan Sesat Nalar Transisi Energi yang telah menuai berbagai aksi penolakan tambang di Nusa Tenggara Timur, Khususnya di Desa Supul Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penolakan Tambang Mangan : Dampak Kolonialisme Industri Ekstraktif dan Sesat Nalar Transisi Energi

Oleh : Serfina Hoar Klau (Erfin Klau)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejarah lahirnya Kolonialisme industri Ekstraktif dan Transisi Energi Kuno

Pada akhir abad 18 di Eropa terjadi dua revolusi besar yang dapat mempengaruhi jalannya sejarah dunia, yakni revolusi industri pada tahun 1750-1840 yang terjadi di Inggris dan Revolusi Prancis yang diawali tahun 1789-1814. Revolusi industri adalah sebuah perubahan yang terjadi secara besar-besaran, dimana semua pekerjaan yang dikerjakan secara manual oleh tangan manusia beralih ke mesin penggerak dengan di temukannya mesin uap oleh James Watt sedangkan, Revolusi Perancis adalah sebuah perubahan yang terjadi di bidang politik Prancis.

Perubahan ini menandai sejarah lahirnya masa transisi energi biomassa (kayu bakar) menjadi batu bara sebagai sumber utamanya . Fenomena ini tidak terlepas pula dari proses penjelajahan samudera oleh bangsa-bangsa barat ke Indonesia pada abad ke 15-16 dan hal ini juga, menandai awal mula lahirnya kolonialisme Industri Ekstraktif di bangsa Indonesia oleh bangsa-bangsa barat  yang datang silih berganti untuk melakukan penguasaan seutuhnya terhadap kekayaan  sumber daya alam Bangsa Indonesia. Bahan-bahan mentah atau bahan-bahan baku menjadi targetan utama dari bangsa-bangsa barat, guna memperlancar proses produksi perusahaan-perusahaan industri di Eropa.

Seiring berjalannya waktu, pada abad 18-19 Belanda berhasil menduduki dan menguasai bangsa Indonesia selama bertahun-tahun. Proses eksploitasi sumber kekayaan Bangsa Indonesia semakin dikencarkan oleh Kolonial Belanda dan salah satu diantaranya adalah timah yang telah ditambang dari Indonesia atau bijih timah yang mempunyai harga ekonomi yang murah dikirim ke Singapura dan Amerika Serikat untuk dilebur dan dijadikan timah yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena pada saat itu Indonesia belum memiliki smelter untuk mengolah bijih timah menjadi timah (Van Der Eng, 1998).

Lahirnya Kolonialisme industri Ekstraktif dan Transisi Energi Global

Berpijak pada sejarah tersebut, semakin memperkuat bahwa Kolonialisme Industri Ekskratif yang berdampak pada sesatnya nalar transisi energi sudah ada, jauh sebelum Indonesia merdeka. Eksistensi Kolonialisme Industri Ekskratif adalah suatu fenomena penjajahan gaya baru dalam penguasaan terhadap kekayaan sumber daya alam Indonesia yang kian menglobal dan cukup menjadi pusat perhatian dan perdebatan dunia saat ini. Sedangkan transisi energi adalah suatu upaya untuk merubah penggunaan energi fosil menjadi energi nol karbon. Fenomena ini telah dijadikan salah satu topik hangat dalam pembicaraan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) di Bali Nusra Tahun 2022 dalam salah satu pembahasan agenda G20 atau yang lebih dikenal dengan sebutan, Presidensi G20 Indonesia. Dalam pembahasannya, negara Indonesia melalui kepemimpinan Joko Widodo menyatakan sikap untuk turut melakukan transisi energi global dari produksi dan konsumsi energi fosil menjadi energi terbarukan atau energi nol karbon. Artinya bahwa, Indonesia akan berupaya untuk melepaskan segala ketergantungan terhadap energi Fosil terbaru (Minyak Bumi, Gas Alam dan Batu Bara) dengan berbagai alasan diantarannya bahwa, semakin berkurang dan menurunnya energi fosil serta mengurangi emisi gas rumah kaca, polutan udara dan kabut asap, sehingga harus dilakukan pergantian energi menuju energi terbarukan (angin, udara, matahari dan Bio Massa) dengan alasan, dapat memperbaiki iklim dan lingkungan yang ramah lingkungan. Hal ini dapat didukung oleh beberapa kebijakan yang jauh sebelum ada pembahasan Presidensi G20 Indonesia diantaranya adalah : Pertama ; Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Menekan Pembagian Berkelanjutan, Ketahanan Energi serta Pelestarian Lingkungan. Kedua ; Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Ketiga ; Peraturan pemerintahan Nomor 79 Tahun 2014. Dan keempat ; Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Kesepakatan Paris pada Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (Sumber : artikel Aeni Nur Siti dalam Katadata.co.id).

Dampak dari Kolonialisme industri Ekstraktif dan Transisi Energi Global di NTT

Atas dasar berbagai alasan dan regulasi di atas, telah memberikan dukungan dan keuntungan besar kepada negara dan para Investor asing untuk terus mengeruk seluruh kekayaan Bangsa Indonesia, termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini dapat dilihat pada kebijakan di bidang pertambangan, salah satunya melalui izin pertambangan yang dikeluarkan oleh Gubernur NTT pada masa pemerintahan Gubernur Alm. Frans Leburaya telah mengeluarkan izin pertambangan dengan jumlah sebanyak 309 yang menyebar di 17 Kabupaten yang berada di Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur). Dan salah satu diantaranya adalah 16 izin pertambangan di Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan). Atas izin ini maka pada tahun 2008 Alm. Gubernur NTT Frans Leburaya, memberikan ijin pertambangan kepada PT. SMR (Soe Makmur Resources) dengan luas lahan 4.555 hektar, tepatnya di Desa Supul. Diantara ribuan hektar lahan tersebut, terdapat luas lahan sekitar 4 hektar yang termasuk dalam lahan warga yang awalnya dijadikan sebagai sandaran pokok hidup yang potensial, dimana lahan tersebut ditanami ubi, jagung, padi ladang dan kacang-kacangan. Kondisi ini berbalik ketika PT. SMR mulai melakukan proses penggalian tambang yang berhasil merenggut seluruh tatanan kehidupan masayarakat, sekaligus melenyapkan mata pencaharian warga masyarakat Supul.  Dengan catatan bahwa, PT. SMR akan mengganti rugi lahan warga dengan biaya senilai 100.000/bulan. Namun pertanyaannya, apakah dengan jumlah biaya yang demikian mampu menghidupi masyarakat supul yang lahannya termasuk dalam kawasan izin pertambangan tersebut? tentu tidak.

Persoalan ini menuai berbagai upaya penolakan tambang dari masyarakat sekitar dan juga beberapa elemen organisasi yang tergabung dalam “Aliansi Masyarakat NTT Tolak Tambang”, yang dengan getol melakukan aksi pedudukan lahan, audience, penanaman anakan, ritual adat dan juga kebaktian rohahi. Namun, PT. SMR dibawa kekuasaan pemerintah daerah tetap dengan gigihnya bercokol di atas lahan pertambangan karena dijaga dan dikawal oleh keamanan yang cukup ketat, diantaranya adalah TNI, Polisi maupun para preman yang telah dipersiapkan secara matang, sehingga dengan sewenang-wenangnya dapat melakukan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat maupun para anggota Ormas yang sewaktu-waktu, melakukan penolakan terhadap area lahan pertambangan tersebut.

Berdasarkan penglihatan yang dialami langsung oleh penulis, ketika bergabung bersama Aliansi Masyaraakat NTT Tolak Tambang pada tahun 2016. Adapun dampak langsung dari penggalian tambang mangan yang dapat dikaji pada beberapa segi kehidupan yakni, Pertama : Secara Segi Ekologi dapat menimbulkan erosi tanah, kekeringan, penggundulan hutan, pengalihan lahan produksi menjadi lahan pertambangan serta menghilangkan proses interaksi manusia dengan lingkungan. Kedua : Secara Segi Sosial dapat menimbulkan konflik sosial antara masyarakat yang lahannya masuk dalam kawasan izin pertambangan dengan PT. SMR maupun Pemerintah Daerah, Konflik vertikal antara masyarakat yang lahannya masuk dalam area pertambangan dengan masyarakat yang lahanya tidak termasuk dalam area pertambangan (Masyarakat yang Pro-Pemerintah), serta terjadinya perampasan tanah rakyat oleh pemerintah daerah. Sedangkan yang, Ketiga : Secara Segi Budaya dapat merusak keterikatan dan keharmonisan manusia dengan alam yang menyebabkan bencana alam.

Berdasarkan fakta di atas, tidaklah solutif, relevan dan efisien jika pemerintah dalam berbagai alasan yang termuat dalam regulasi, semakin berusaha untuk meniadakan pemakaian terhadap energi fosil dan mulai menggunakan energi nol karbon. Hal ini, akan melahirkan koloniasme ekstraktif energi yang kian mengglobal dan semakin merugikan Negara Indonesia dalam melakukan transisi energi, karena negara telah menciptakan sebuah malapetaka yang sangat menyesatkan cara berpikir masyarakat dan membodohi diri-sendiri dalam memenangkan ketamakan dari pemerintah serta koorporasi-koorporasi asing. Sebab, proses eksploitasi terhadap energi fosil yang dilakukan oleh para investor asing melalui berbagai izin yang diberikan oleh negara Indonesia, tetap akan menimbulkan dampak fatal dan justru, semakin memberikan keuntungan besar bagi para investor asing untuk menghidupi roda-roda industrinya serta melancarkan proses pengolahan bahan mentah menjadi bahan yang siap dipakai.

Solusi

Sebagai solusi atas Fenomena perubahan iklim yang kian tidak bersahabat serta mengurangi resiko bencana alam yang di Indonesia maupun wilayah NTT secara khususnya adalah, Pertama : stop pengalihan fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi, Kedua : stop pengalihan lahan produksi menjadi lahan pertambangan, Ketiga : stop pengundulan hutan lindung, Keempat : melakukan reboisasi, Kelima : stop eksploitasi kekayaan alam yang ada dalam kandungan bumi untuk kepentingan investor asing, Keenam : kembali meninjau regulasi yang memberikan izin investasi, dan Ketujuh : siapkan syarat-syarat dalam membangun industry dasar di Indonesia guna mengolah kekayaan alam sendiri.

 #LombaArtikelJATAMIndonesiana

 

 

Ikuti tulisan menarik Erfin Klau lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB