x

Perspektif

Iklan

Emanuel Kosat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 21:35 WIB

Menggugat Nalar “Pembangunanisme” Indonesia!

Menakar konsistensi Indonesia dengan masifikasi pembangunannya terhadap isu lingkungan seringkali menimbulkan situasi paradoksal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menggugat Nalar “Pembangunanisme” Indonesia!

 

*Emanuel Kosat

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

(Warga Negara Republik Indonesia - Tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur)

 

 

Sengkarut Hegemoni Pembangunan

Manusia dan alam sebagai satu rantai dalam ekosistem kehidupan di bumi. Relasi ekologis di antara dua entitas ini merupakan suatu keniscayaan. Manusia sadar akan eksistensinya yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada alam. Lebih lanjut manusia meyakini alam pun menginginkan perlakuan bijaksana dari manusia. Jika sampai pada suatu fase yang dengan mengatasnamakan pembangunan, manusia sendiri lalu mengingkari relasi ekologis itu maka pastilah akan timbul persoalan. Tindakan menggerogoti kelangsungan simbiosis kehidupan yang telah terjalin secara alamiah memungkinkan bencana menjadi konsekuensi logisnya (logical consequences).  Karenanya, urgensi usaha manusia kini sebetulnya terletak pada rekonsiliasi dengan alam untuk mencegah kerusakan yang lebih parah mencuat ke permukaan.

Isu lingkungan konsisten  menjadi fokus perhatian kolektif pasca-Perjanjian Paris 2015 menyepakati toleransi suhu global maksimal hingga 1,5 derajat celsius. Manusia berefleksi bahwasanya segala kerusakan alam, bencana, degradasi hutan, pemanasan global, cuaca ekstrim, dan wabah penyakit terjadi akibat absennya perhatian umat manusia pada alam semesta. Keberlangsungan ekosistem dan keberlanjutan kehidupan seakan-akan terancam terganggu. Manusia, tetumbuhan, dan hewan yang tercerabut dari habitatnya ini dapat terkonfirmasi dari Laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2022 yaitu; setidaknya 6 persen spesies serangga, 8 persen spesies tanaman, dan 4 persen spesies vertebrata akan musnah. Penyebab dari itu semua ialah sifat eksploitatif manusia, kemudian melegitimasi perilaku hegemonik terhadap alam sekitar. Pelbagai problematika yang berkelindan dalam diskursus pembangunan hari-hari ini merepresentasikan bahwa etika lingkungan (environmental ethics) milik para pengambil kebijakan (policy makers) nampak tidak lagi berpihak pada wacana konservasi lingkungan hidup.

Menakar konsistensi Indonesia dengan masifikasi pembangunannya terhadap isu lingkungan seringkali menimbulkan situasi paradoksal. Padahal Indonesia telah mendorong Reducing emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) ke forum PBB dimana sebagai negara berkembang Indonesia berpihak merawat hutan melalui konservasi dan pengelolaan lingkungan. Lebih lanjut dalam  pertemuan forum G20 lalu, Presiden Indonesia, Joko Widodo dengan bangga mempresentasikan kemampuan Indonesia dalam merealisasikan cita-cita tersebut. Namun terlihat naif ketika dalam cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya di Media Twitter (3/11/2021) menjadi perbincangan publik. Beliau menandaskan bahasanya pembangunan yang dimotori oleh pemerintah pada rezim Jokowi tidak boleh berhenti akibat emisi karbon dan isu deforestisasi. Tak pelak kemudian hal ini dikecam oleh publik terutama pemerhati lingkungan karena menunjukan superiotitas pembangunan pemerintah yang eksploitatif dan berdampak kerusakan ekologis.

Dalam implementasi kebijakan di Indonesia nyaris konsisten mendegradasi lingkungan hidup. Untuk disebut, representasi dua kasus yang viral diprotes ialah kegiatan penambangan batu andesit guna pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Barat dan proyek pengeboran panas bumi (geothermal) di Desa Wae Sano, Manggarai Barat, NTT. Warga Desa Wadas dan Wae Sano khawatir dampak galian akan merusak sumber mata air dan persawahan para petani setempat. Proyek-proyek tersebut terus digencarkan pemerintah pusat dengan menggunakan seluruh instrumen kekuasaanya untuk memaksakan konsensus pada warga desa yang pro lingkungan. Akibatnya hiruk pikuk kerumunan pada peristiwa 8 Februari 2022 telah mempertontonkan ribuan aparat keamanan menahan puluhan warga Desa Wadas di tengah kesunyian jaringan komunikasi dan pemadaman listrik. Kerumunan juga persis terjadi di depan Kantor Bupati Manggarai Barat, 2 Februari 2022 ketika aparat keamanan musti berkonfrontasi dengan massa aksi dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan warga Desa Wae Sano.

Resistensi dari masyarakat itu pada gilirannya timbul dalam wajah ganda untuk menggugat pemerintah. Di satu sisi atas nama pembelaan terhadap keberlanjutan lingkungan dari tindakan eksploitatif manusia dan pada sisi lainya untuk menyelamatkan masyarakat dari hegemoni penguasa. Dalam kaca mata pembangunan pemerintah menunggangi jaringan kesadaran masyarakat untuk secara sadar, takluk pada kehendak pembangunan. Pemerintah menggiring masyarakat dalam kerangka kebijakan pembangunan yang telah ditentukannya. Hegemoni Pemerintah, oleh Antonio Gramsci (1891-1937) dijalankan agar masyarakat pasrah begitu saja pada keadaan umum dominasi pembangunan negara. Skenario konsensus itu menjadi suatu jalan mundur dalam pembangunan. Sebab upaya reifikasi lokasi lahan desa telah menyandera masyarakat dengan ganti rugi material. Padahal harga ganti rugi material tidak sebanding dengan lenyapnya keramatamahan masyarakat dan punahnya ekosistem lingkungan.

 

Pembangunan Sesat Nalar

Proses perbaikan rakyat yang diusung oleh para pembuat kebijakan pembangunan di negeri ini tak pelak telah meminggirkan rakyat. Apa yang disangka sebagai usaha mengelola bumi/tanah/lahan menjadi sumber keuntungan ternyata pada waktu yang sama ialah perampasan (pengerukan dan pengrusakan) atas ruang hidup (life world) rakyat dan penggusuran penduduk. Negara menjustifikasi kealpaan dari rakyat sebagai alasan untuk merampas hak milik (eigendom) rakyat itu sendiri. Inilah logika ekonomi modern bak suatu mitos yang terus dianut oleh birokrasi nasional dan korporasi transnasional dalam menggalangkan pembangunan (development) dengan mengkonsolidasi oligarki kapital di Indonesia. Konsekuensinya, rakyat digerakan oleh perluasan kesadaran kritis tuk berjuang mempertahankan ruang hidupnya yang telah dinegasikan sebagai tanah/lahan kosong.

Kata kunci untuk mengoreksi kebijakan pembangunan (development) dan pertumbuhan (growth) memerlukan otonomi sebagai prinsip utama rakyat. Pertumbuhan ekonomi dalam tafsir tunggal pembangunan negara malah memperkuat disparitas dan sengketa struktural agraria di banyak daerah. Dan godaan semacam ini mengiming-imingi kemakmuran rakyat dalam ikatan materialisme praktis. Padahal sekian lama kita coba melupakan trauma dari watak kolonialisme, tapi kini rakyat kembali terperangkap dalam penjajahan oleh nalar kapitalisme negara, yang oleh Bung Karno dianggap sebagai pendiktean dari neo-kolonialisme dan imperealisme. Oleh sebab itu pembangunan harus dipahami sebagai cara merangsang rakyat untuk gerak majunya menjadi otonom dengan berakar pada kekuatan sendiri.

Pembangunan bukan untuk menghancurkan atau mematikan rakyat. Model pembangunan yang disangka universal dan lasim diterapkan pada negara-negara berkembang, telah luput untuk mengkompromikan dan menghitung pengalaman rakyat. Karena itu kita berada pada situasi anomi, yaitu sebagai suatu harga yang digaransikan terhadap nalar ekonomi. Pembangunan tidak selamanya dari atas (wali) dalam perencanaan, pengendalian, dan managemen, namun haruslah disertai pembangunan dari bawah (akar rumput) yang menitikberatkan aspek emansipatoris, egaliterianisme, dan etikabilitas. Peran perwalian digunakan sejak era kolonial hingga reformasi dijalankan oleh politisi, birokrasi, korporasi, teknokrasi, lembaga donor, dan lembaga agama. Naifnya bahwa lebih banyak tidak berpihak pada manusia yang seutuhnya sebagai tujuan pembangunan yang utama. Proses penyejahteraan manusia itu berlangsung tidak manusiawi.

Pelenyapan rasa keadilan sosial menghimpit kelompok inferior subsiten di kampung-kampung. Untuk menyelisik biang keladi dari persoalan ini ialah dengan melakukan pembacaan ulang terhadap semua bentuk glorifikasi pada paradigma “development” yang pada giliranya memaksimalkan “growth” di level pusat (elite) dan akan meneteskan “trickle down effect” ke pinggiran (massa-rakyat). Seluruh kebijakan dengan tafsir pembangunan ini dioperasikan pada wilayah hutan, sungai, kebun, padang rumput, tambang dan tanah ulayat (adat). Ironisnya dilangsungkan secara prosedural dan legal. Yang disebut pertama itu sebab pembangunan itu melalui segala tahapan yang terencana untuk merasionalkan pembangunan dengan mengadopsi mode produksi modern. Lalu yang disebut kemudian itu nampak secara sistemik melalui unsur regulatif, hukum negara (state laws) untuk menggusur hukum adat (customary laws) sebagai otonomi lokal dan menegasikannya menjadi hukum yang kosong dan tidak berarti.

Pertanyaanya, keadilan sosial sebagai cita-cita negara memakai format yang mana? Apakah dapat dibenarkan jika keadilan yang diusung logika pembangunan negara malah di saat yang sama merebut ruang hidup rakyat menjadi tidak berumah (homeless) dan tidak bertanah (landless)? Masihkah negara bicara jargon keadilan bila karena pembangunan yang sama kaum inferior, subsisten, atau marginal kian miskin dan melarat? Kebijakan ekonomi pemerintah (the government economic policy) yang diimpor sejak dulu hingga rezim Jokowi turut dilegitimasi di daerah-daerah, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam proyek strategis nasional; e.g. tambang, Ibu Kota Negara (IKN), bendungan, wisata super prioritas, etc. Banyak kasus fakta pembangunan di lapangan lebih menguatkan model manusia satu dimensi (one dimensional man) dengan tidak acuh pada isu lingkungan hidup, kearifan lokal, dan elemen emansipasi.

Walhasil masalahnya ialah disaat “growth” diukur berdasarkan pendapatan per-kapita dalam kesejahteraan sebagai konsekuensi logis dari “development” pada gilirannya menguatkan disparitas antara kelas atas dan kelas bawah sebab redistribusi tidak tercapai malah akumulasi berganda kapital. Belum lagi isu kerusakan lingkungan hidup yang pada beberapa dekade terakhir menjadi concern dunia. Pengalaman ini mengingatkan kita untuk bermenung dan berdialog  dengan pikiran dari seorang metafisikus keseharian dari Meßkirch, Jerman, Martin Heidegger (1889-1976) bahwasannya esensi di dalam hidup eksitensial ialah kebersamaan dalam mengalami alam. Manusia berjalan, bertumbuh, dan terlibat (sorge) seiring dengan lingkungan, bukan merusak lingkungan dengan dalih pembangunan. Keterlibatan manusia dengan alam inilah yang bisa kita anggap sebagai suatu cara eksitensial agar manusia tidak teralienasi menjadi manusia keji (homo brutalis) dalam rezim pembangunanisme (developmentalism) dan pertumbuhan (growth) di Indonesia.

 

 

Sumber Bacaan:

Candraningrum Dewi (2014). Ekofeminisme II Narasi Iman, Mitos, Air, dan Tanah. Yogyakarta: Jalasutra.

Femia V. Joseph (1981). Hegemony, Conseicousness, and the Revolutionary Process. New York: Oxford University Press.

Keraf A Sonny (2006). Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.

Michael Moran, cs. (2015). Handbook Kebijakan Publik. Bandung: Nusa Media.

Parsons Wayne (2005) Public Policy. Jakarta: Kencana

Ruwiastuti Maria Rita (2000). Sesat Pikir Politik Hukum Agraria. Yogyakarta: Insist Press

Sood Mohammad (2019). Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta Timur: Sinar Grafika

 

Ikuti tulisan menarik Emanuel Kosat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB