x

Jokowi Marah

Iklan

Alan Pasaribu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 21:37 WIB

Kontrak Politik Jokowi dan Kebuntuan Transisi Energi di Indonesia

Pemerintahan adalah menjadi pemerintah ketika dia telah mengeluarkan peraturan atau hukum. Hal yang sama bagi Negara Indonesia yang katanya telah berkhidmat pada masalah transisi energi, tetapi apakah benar seperti itu? Sehingga artikel ini berusaha mengulas konsistensi pemerintah Indonesia dalam masalah transisi energi yang telah disetujui dalam Perjanjian Paris pada tahun 2015. Semuanya akan didasari pada Peraturan Presiden np. 112 tahun 2022.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

  • Jejak Advokasi Perubahan Iklim di Dunia

Sejak tahun 1992, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah menyadari masalah baru bagi umat manusia modern, ialah perubahan iklim yang semakin memburuk setiap tahunnya. Tahun-tahun sebelumnya, perubahan Iklim tidak pernah disadari oleh negara-negara di Dunia, hingga PBB menganggap masalah ini sebagai masalah yang serius.

Tahun demi tahun berganti, Upaya serius dan konsolidasi antara negara-negara di dunia terus dibangun oleh PBB, semua itu bertujuan untuk mencari jalan terbaik bagi industri yang lebih ramah lingkungan atau industri yang berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT), dikarenakan Emisi Karbon yang dihasilkan oleh industri berbahan dasar Fosil menjadi penyumbang utama dari perubahan iklim yang semakin memburuk setiap tahunnya.

Dan setelah dua dekade lamanya PBB mensosialisasikan masalah perubahan iklim ini, tepatnya pada tahun 2015 telah terjadi Paris Agreement atau Perjanjian Paris yang membuat 196 negara diharuskan atau dipaksa untuk menyusun rencana pengurangan emisi karbon negara mereka secara terukur dan berkelanjutan. Dimana tidak seperti konvensi-konvensi sebelumnya, Paris Agreement dipandang sebagai salah satu titik balik bagi sejarah umat manusia, dimana semua negara sepakat dan berkomitmen untuk melakukan transisi energi yang lebih ramah terhadap lingkungan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Negara Indonesia yang juga mengikuti Konvensi Paris Agreement di tahun 2015 tersebut dan dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi mempunyai obligasi yang lebih besar daripada negara-negara kebanyakan, dikarenakan Indonesia adalah salah satu anggota dari G20, dimana G20 dibuat untuk menaungi negara-negara yang dipandang akan menjadi kekuatan ekonomi baru di masa depan. Sehingga negara-negara G20 mempunyai peran yang cukup signifikan dalam transisi energi, dimana kebijakan industri mereka akan berpengaruh pada negara non G20 secara langsung, dan dapat mensosialisasikan transisi energi selain PBB.

Dalam Paris Agreement, Indonesia diharuskan mengurangi 29% emisi karbon dengan usaha sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional untuk tahun 2030. Lalu pada 2022 kemarin, Indonesia menaikkan target Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) menjadi 32% atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030. Selain meningkatkan target E-NDC, upaya Indonesia mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060, ialah melalui Konversi BBM  ke Liquefied Natural Gas (LNG), penggunaan kompor listrik, pemanfaatan biofuel untuk menggantikan BBM dan mengakselerasi instalasi rooftop panel, dan salah satu yang terpenting adalah dengan mengurangi pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU) dan membangun pembangkit-pembangkit listrik menggunakan energi baru dan terbarukan.

  • Kontrak Politik Jokowi

Adalah hal umum bagi kita semua sebagai pemerhati pemerintah dan pemerhati politik di Indonesia, bahwa sistem pemilu yang dijalani oleh pemerintah Indonesia saat ini tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi, melainkan dengan nilai-nilai oligarki. Sudah menjadi hal yang cukup umum, bahwa pendanaan kampanye atau dukungan terhadap calon eksekutif atau legislatif di Indonesia memerlukan uang yang sangat besar, dan hampir semua kepala daerah di Indonesia didukung oleh korporasi-korporasi besar, khususnya korporasi yang bergerak dalam bidang eksploitasi Sumber Daya Alam, seperti batubara, minyak dan gas. Dan ketika pemerintah mengeluarkan seperangkat aturan yang berkaitan dengan korporasi besar, maka secara tidak langsung akan selalu menguntungkan korporasi-korporasi tersebut sebagai bentuk balas jasa.

Dalam agendanya, Jokowi tampak terlalu setengah hati dalam memahami sebuah kalimat dari "transisi energi". Karena di hadapan dunia Internasional, Jokowi seolah-olah dapat meyakinkan dunia untuk terus berinvestasi pada energi terbarukan yang ada di Indonesia, tetapi jika berada di dalam negeri dan bertemu oligarki-oligarki, Jokowi tampak ciut dan gagap. Hal ini terbukti jelas dalam Perpres (Peraturan Presiden) No. 112/2022, yang merupakan Perpres tentang percepatan transisi energi dari sumber daya terbatas menuju sumber daya terbarukan. Tetapi isi Perpresnya malah tidak berbanding lurus dengan judul Perpresnya dan cenderung setengah-setengah dalam memandang transisi energi. Dalam Perpres No. 112/2022 Pasal 3 Ayat 4 dalam Poin A dan B berbunyi.

Pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk:

  1. PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini; atau
  2. PLTU yang memenuhi persyaratan:
  1. Terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional;
  2. Berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% (tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran Energi Terbarukan; dan
  3. Beroperasi paling lama sampai tahun 2050.

Dari Perpres tersebut, kita dengan jelas melihat bagaimana pemerintah terlihat setengah-setengah dalam melakukan transisi energi. Disaat PBB mendesak setiap negara untuk membuat perencanaan transisi energi yang mulus, Jokowi malah menjadikan momen ini untuk putar balik dan membela PLTU atau energi yang berbasis fosil. Seolah-olah Jokowi masih harus menunggu lebih lama lagi untuk memuaskan perut oligarki atau Mafia batubara. Dimana kita harus menunggu hingga tahun 2050 untuk benar-benar bebas PLTU, itu artinya, oligarki migas atau tambang akan makin besar-besaran melakukan eksploitasi, karena mereka tahu bahwa tambang tersebut mempunyai masa tenggang yang sudah dipastikan umurnya, ibarat seseorang yang tahu kapan dia mati, maka ia akan mempersiapkan dirinya untuk beribadah kepada Tuhan setiap harinya.

Sehingga nantinya menjadi mustahil target Indonesia yang telah disetujui dalam Paris Agreement, dimana Indonesia harus memangkas 32% emisi karbon di tahun 2030, dan harus bebas emisi karbon secara bersih di tahun 2060. Bagaimana itu dapat terjadi, jika keberadaan PLTU masih menjadi pengecualiaan karena dia bisa meningkatkan ekonomi atau sebagai proyek strategis. Tentulah Indonesia harus mengundur terus tahun dimana kita bisa bebas emisi karbon sepenuhnya.

  • Kebuntuan Transisi Energi di Indonesia

Transisi Energi tentunya tidak mudah, karena ia melibatkan tentang teknologi baru dan juga anggaran yang cukup besar. Hal ini menjadi buntu, karena semuanya berawal dari Presiden Jokowi yang seolah-olah paham tentang transisi energi, tetapi nyatanya tidak paham. Bahwa Presiden Jokowi tidak berani mengganggu Hegemoni Oligarki tambang, karena disanalah pusat pemerintahan berlangsung, dimana pendanaan yang tak terbatas dapat turun kapanpun.

Seolah-olah Transisi Energi benar-benar akan dilakukan, ketika para oligarki tambang tidak terkena imbasnya. Karena oligarki tambang tidak peduli jika tambang-tambang mereka akan diganti dengan energi yang terbarukan dan ramah lingkungan, asal energi terbarukan dan ramah lingkungan itu tetap dikuasai oleh mereka. Hal ini yang membuat transisi energi menjadi buntu. Disatu sisi, Indonesia masih belum paham bagaimana menciptakan teknologi baru yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan di sisi yang lain, pendanaan swasta tidak akan membanth proyek transisi energi. Karena mereka adalah pebisnis, dan pebisnis selalu berbicara tentang resiko bisnis, dimana mereka tidak akan masuk atau mendanai suatu pertambangan ramah lingkungan, yang di dalam perjalanannya masih sangat rentan dengan kegagalan.

Sehingga ini menjadi konsekuensi berat yang harus ditanggung oleh masyarakat, karena pemerintah menyandarkan transisi energi kepada oligarki. Dimana mereka hanya ingin mendanai proyek transisi energi, jika keuntungan bisnisnya sudah setara dengan bisnis tambang batubara, minyak dan gas.

Dan ketika Jokowi tampak linglung dengan kontrak politiknya kepada mafia tambang yang tertuang dalam Perpresnya, sehingga yang sekarang dilakukan oleh Jokowi adalah, dengan "mengemis-mengemis" pada dunia Internasional untuk pendanaan transisi energi. Dalam kesempatan terakhir, yaitu pada pertemuan G7 yang diadakan di Jepang pada bulan Mei 2023, Jokowi berusaha menagih janji negara-negara besar seperti Kanada dan Jepang yang dulu menjanjikan bantuan dana untuk transisi energi negara-negara berkembang senilai 100 miliar dolar Amerika Serikat per tahun atau setara Rp1.493 triliun yang bukan berbentuk utang sebagai dana pendanaan konstruktif.

Hal itu mesti dilakukan Jokowi, karena ketakutannya terhadap Oligarki dalam negeri yang mana mereka sangat kuat pengaruhnya dalam kontrak politik, karena pemerintah dan kelompok intelektual di Indonesia belum bisa menawarkan satu jenis energi terbarukan yang hegemoninya sama seperti energi fosil. Oleh karena itu Jokowi lebih memilih untuk berani meminta dana kepada forum internasional dari satu negara ataupun perserikatan negara, daripada meminta dana kepada mafia tambang di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Alan Pasaribu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler