x

Iklan

Ali Karepesina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 13:45 WIB

Pembaharuan Hukum dan Penyelamatan Bumi Manusia

Saat birokrasi, hukum dan kekuatan militer, dikuasai oleh eite kapitalisme, tiada harapan besar untuk keadilan sosial dan keadilan lingkungan. Pembaharuan hukum demi penyelamatan bumi dan manusia, adalah upaya bersama setiap elemen masyarakat yang menjadi korban sistem monopoli kapitalisme yang haus dalam industri ekstraktif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hukum dalam Kacamata Ekonomi-Politik

         Pelajaran Ekonomi-Politik (Ekopol) sejatinya menempatkan hukum (teks pasal-pasal) di dalam kolom supra structure bersama dengan pemerintahan serta seluruh organ kelengkapannya, tidak terkecuali institusi aparat. Kolom  basic structure yang menempati fondasi adalah tanah dan segala sesuatu yang ada dalam perut dan di atasnya, juga tenaga produktif, yakni; petani, nelayan, hingga tour guide di Pulau Komodo atau Labuan Bajo, termasuk buruh tukang bakar material bijih nikel yang diupah hanya untuk memulihkan energi dan membayar sewa tempat tinggal.

         Perkembangan historis Eko-pol menampilkan perlawanan terhadap kapitalisme yang hendak memonopoli SDA dan tenaga kerja serta teknologi produksi. Kehendak monopoli ini, setidaknya dijalankan dengan tiga alat, yakni; birokrasi, militer, dan hukum (peraturan-peraturan tertulis). Pada zaman kolonial, tiga alat itu “dipaksakan berlaku” di tanah jajahan, sedangkan di zaman pasca kolonial, birokrasi dan hukum menjadi rebutan antara elite-elite kapitalis di satu sisi dan lingkaran-lingkaran pro-demokrasi di sisi lain. Jika elite-elite kapitalis banyak menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan, termasuk otoritas legislasi dan kekuasaan kehakiman, maka sudah dapat dipastikan segala kebijakan akan jauh dari “keadilan sosial” dan mengarah pada akumulasi kapital golongan. Hukum akan dibikin lunak kepada setiap perusahaan raksasa pencemar lingkungan, dan perampas hak ulayat masyarakat adat.  Hukum akan tajam ke bawah, untuk mengkriminalisasi aktivis pembela keadilan lingkungan. Bahkan dengan hukum, pendidikan bisa dijual mahal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dua Kasus Satu Isu

       Sebagai pelajaran atau penguat refleksi tentang hukum dan misi menyelamatkan bumi manusia, boleh kita pelajari dua kasus ini, pertama; kejahatan otoritas legislasi di Indonesia, kedua; plin-plan dan keterlambatan otoritas PBB dan ICC untuk menetapkan Ecocide sebagai peraturan sah dalam hukum internasional. 

       Kasus pertama, Mayor Jenderal Suharto, dalam Repelita Orde Baru, menghadirkan Pasal 10 Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan. Keseluruhan pasal itu pada intinya untuk membuka keran investasi asing dan sebagai dasar hukum “kontrak karya.” Kontrak karya itu kemudian dikonkretkan  dalam PP No. 32 Tahun 1999 demi “pengendalian penuh pemerintah pusat” untuk semua jenis pertambangan. Paket regulasi hukum itu sekaligus sebagai karpet merah menuju Kontrak Karya  Indonesia-Freeport demi bagi-bagi hasil tambang emas dari tanah masyarakat adat Papua.

         Tepat di Januari, masa-masa akhir periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono, bersama Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Undang-undang ini mengubah istilah hukum “Kuasa Pertambangan” berubah nama menjadi “Izin Usaha Pertambangan (IUP).” Setelahnya, Jokowi bersama fraksi-fraksi mayoritas di parlemen menetapkan UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Produk hukum terakhir ini adalah produk hukum yang paling mengancam kelestarian lingkungan, dan masyarakat adat. Logika hukum Pasal 28 (a)  memperbolehkan semua ruang darat, laut,  tanpa terkecuali untuk ditelan kerakusan korporasi. Pasal 39 Ayat (1) huruf (n) mengenai syarat Analisis Masyarakat dan Dampak Lingkungan (Amdal) ditiadakan dalam UU No. 3/2020 sebagai dokumen syarat mengantongi IUP. Selain itu, ketentuan awal sebelum perubahan pada pasal 165 terkait pertanggungjawaban pidana praktik mal-administrasi oleh pejabat yang mengeluarkan IUP yang bertentangan dengan undang-undang pun ditiadakan. UU Minerba yang hadir bersama dengan UU Ciptaker ini rupanya tidak sedang melawak, tapi sedang menguji kewarasan rakyat Indonesia, khusus menguji kewarasan pemerhati hukum Indonesia.

        Dalam  sejarah regulasi hukum sektor pertambangan itu, pada intinya rakyat Indonesia hanya mendapatkan rembesan-rembesan dari hasil eksploitasi sektor pertambangan dan industri ekstraktif lainnya. 

        Kasus kedua, Kenapa di tahun 1960 militer Amerika menyemprotkan 90 juta galon Agent Orange di atas tanah Vietnam yang membunuh kurang lebih 400.000 jiwa yang di antaranya ada 150.000 anak-anak? Bagaimana bisa militer Amerika bebas invasi ke Iraq hanya demi eksplorasi minyak dengan alasan keamanan? Perbuatan itu sendiri telah melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai prinsip hukum internasional. Apa mungkin DUHAM itu kurang punya kekuatan untuk mengendalikan pemerintah dan militer Amerika.

          Mengingat belum ditetapkannya usulan klausul “ecocide” sejak 1970, saat pertama kali kata “ecocide” diperkenalkan pada forum PBB oleh Arthur Galston dan dilanjutkan dalam kampanye Stop Ecocide International oleh Polly Higgins,  itu mengindikasikan bahwa; otoritas pengambil kebijakan dalam hal ini PBB dan khususnya ICC tidak benar-benar serius demi pembaharuan dan penegakkan hukum atas kejahatan terhadap kemanusian dan planet bumi. (Baca ecocide M. Ridha Saleh) Sudah cukup beberapa fakta kejahatan yang banyak dan sering dilakukan oleh korporasi nasional hingga multi-nasional di sektor industri ekstraktif. Sebagaimana fakta terbaru kejahatan terhadap bumi dan kemanusiaan yang dilakukan oleh Belo Sun Mining Corp. Perusahaan asal Kanada itu sedang membangun “tambang emas lubang terbuka untuk meracuni ekosistem wilayah hutan hujan tropis Amazon dan kehidupan masyarakat Parà, Brasil dan dunia. Pertanggungjawaban ecocide lainnya adalah dari Grup Holcim Swiss, sang “Carbon Major.” Holcim, satu dari 108 perusahaan “Carbon Major” dalam 71 Tahun telah melepaskan 7 miliar ton CO2 sebagai unsur paling destruktif menurut UK Guardian. Akumulasi emisi karbon selama ini adalah faktor utama pemanasan global (Global Warming). Akibatnya dataran antartika mencair, volume air laut meningkat, hingga berdampak pada masyarakat kepulauan yang diterpa banjir rob, dan menenggelamkan pulau-pulau kecil seperti yang terjadi di Kepulauan Seribu.

Harapan-Harapan

          Bagaimana kejahatan itu dapat dikontrol di kemudian hari? Jawaban optimis dari Parlemen Eropa di Brussel, dan dari lingkaran enviromentalist pro demokrasi serta HAM mengarah pada strategi perjuangan amandemen Statuta Roma, dengan memasukkan ecocide menjadi klausul ke lima dalam jenis kejahatan internasional dan penegakkan hukumnya. Jelas generasi Eropa saat ini tidak punya pilihan lain selain melawan para sang carbon major.

         Adapun di bumi manusia Indonesia, modal sejati adalah tanah airnya yang kaya, tenaga kerja melimpah dan produktif. Sehingga logika hukum untuk produk hukum investasi uang yang berdasarkan minim kualitas SDM untuk mengelola SDA, sudah patut untuk dibakar di depan parlemen, sebagai simbol pembakar semangat pembaharuan hukum.  Hal itu karena mengingat hukum yang lahir dari hasil kerja sama birokrasi dan korporasi sudah saatnya tidak untuk dikritik demi perbaikan dalam dirinya. Yang demikian akan membawa pemerhati hukum kita dalam perdebatan-perdebatan menyita energi dengan jubir-jubir hukum yang telah disiapkan rezim. 

         Konflik agraria di Dairi, Wadas, Kendeng, Bajul Mati, hingga Sangihe, juga di Nusa Tenggara, Maluku sampai Papua, telah memberikan pelajaran penting bagi masyarakat di daerah konflik itu. Masalah pengupahan, PHK sepihak, outsorcing  di sektor perburuhan adalah pelajaran penting bagi buruh Indonesia. Masalah komersialisasi pendidikan menjadi pelajaran bagi kawan-kawan pelajar-mahasiswa. Pelajarannya adalah; tiada harapan kepada rezim monopoli untuk menjadi baik dalam sekejap. Persatuan rakyat tertindas adalah bukan lagi satu tawaran, persatuan buruh, petani, rakyat miskin kota, masyarakat adat, pekerja seni, pelajar-mahasiswa, dan semua yang tertindas, mari bersatu wujudkan Indonesia tanpa penghisapan dan penindasan. Yang demikian, sejatinya adalah langkah awal terbaik demi pembaharuan hukum untuk keadilan pada bumi manusia kita. 

 

Ikuti tulisan menarik Ali Karepesina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler