x

Aksi 350 ID di depan gedung ESDM

Iklan

Cak Daus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Juli 2021

Rabu, 24 Mei 2023 14:06 WIB

Jalan Gelap Transisi Energi di JETP

Jalan gelap itu telah membuat arah pengurangan emisi GRK, penyebab krisis iklim, menjadi salah arah. JETP yang sebelumnya ditujukan untuk membiayai transisi enegri, kini menjadi sekedar transaksi energi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keinginan Indonesia untuk bisa melakukan transisi energi dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim, nampaknya akan menemui jalan berliku. Skema pendanaan JETP (Just Energy Transition Partnership) untuk membiayai transisi energi nampaknya masih menemui jalan gelap.

Jalan gelap itu telah membuat arah pengurangan emisi GRK, penyebab krisis iklim, menjadi salah arah. JETP yang sebelumnya ditujukan untuk membiayai transisi enegri, kini menjadi sekedar transaksi energi.

Ada beberapa jalan gelap transisi energi dalam JETP. Pertama, jalan gelap komitmen negara-negara G7 untuk serius membiayai transisi energi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baru-baru ini dikabarkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi marah-marah kepada negara-negara donor yang akan mendanai transisi energi di Indonesia melalui skema JETP (Just Energy Transition Partnership).

"Waktu saya di Washington sebulan lalu, kita paparin rencana transisi energi, mereka sudah iya, terus saya bilang, where is the money? Ao ao... ngomong doang," papar Menteri Marves Luhut Binsar Panjaitan, dalam acara Hilirisasi dan Tranasisi Energi Menuju Indonesia Emas di Jakarta di awal Mei ini.

Seperti diberitakan di berbagai media, di tahun lalu, di sela-sela KTT G20 di Bali, Indonesia meluncurkan skema pendanaan transisi energi bernama JETP. Skema yang sama sebelumnya juga diberikan ke negara Afrika Selatan.

Jalan gelap komitmen negara-nagara maju dalam ikut membiayai JETP sebenarnya sudah nampak sejak awal. Bagaimana tidak, skema JETP ini bukan didasarkan atas penebusan ‘dosa-dosa ekologi’ negara maju yang telah lebih dahulu, bahkan hingga kini, mengotori atmosfer dengan emisi GRK. Skema pendanaan JETP didasarkan atas transaksi bisnis, berupa utang komersial dan bunga lunak. Artinya, alih-alih menebus dosa ekologi yang dibuatnya, negara maju justru akan mendapat laba dari utang yang disalurkan ke negara-negara berkembang untuk melakukan transisi energi.

Pemilihan pembiayaan transisi energi berbasiskan utang dan bukan penebusan dosa-dosa ekologi ini menyiratkan bahwa sesungguhnya negara-negara kaya tidak sepenuhnya memiliki komitmen untuk melakukan transisi energi ke 100% energi terbarukan.

Menurut analisa Carbon Brief, Amerika Serikat menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar sejak 1850, yakni 509 miliar ton atau 20 persen dari total emisi secara global. Sementara itu, emisi GRK di Jepang juga mengalami trend kenaikan. Emisi gas rumah kaca Jepang naik 2% per tahun per Maret 2022. Kementerian Lingkungan Jepang mencatat nilai emisi naik dari 1,15 miliar ton karbon dioksida per 2021 menjadi 1,17 miliar metrik ton karbon dioksida tahun sebelumnya.

Dengan kata lain, selama negara-negara kaya masih belum serius menurunkan emisi di negaranya sendiri, tidak bisa terlalu berharap mereka akan kebaikan hati mereka akan membantu negara-negara berkembang untuk melakukan transisi energi. Pembiayaan transisi energi yang berbasiskan utang dalam JETP mengindikasikan bahwa mereka tidak pernah mengakui dosa-dosa ekologinya dalam mengotori atmosfer bumi ini.

Kedua, jalan gelap tata kuasa energi di Indonesia. Apapun skema pendanaan transisi energi di Indonesia, harus mampu mengubah tata kuasa energi di Indonesia. Selama ini tata kuasa energi di Indonesia, yang berbasiskan energi fosil, dikuasai segelintir elite ekonomi-politik. Minyak, gas, batu bara di Indonesia telah dikuasai segelintir elite ekonomi-politik. Meskipun sejatinya di dalam UUD 1945, negara yang memiliki kuasa atas energi itu.

Jika kemudian energi berbasiskan fosil itu ditinggalkan dan berpindah ke energi terbarukan, apakah mengubah tata kuasa dari energi di Indonesia? Apakah segelintir elite ekonomi-politik yang semula menguasai energi fosil itu, tiba-tiba berubah menjadi penguasa energi terbarukan?

Transisi energi dalam JETP harusnya mulai memasukan pembiayaan-pembiayaan energi terbarukan di tingkat komunitas. Pembiayaan energi terbarukan di tingkat komunitas akan sedikit banyak mengubah peta tata kuasa energi di Indonesia yang dikuasai korporasi.

Mungkinkah JETP akan membiayai energi terbarukan di tingkat komunitas? Sampai artikel ini ditulis, belum ada pernyataan dari pengambil kebijakan energi di negeri ini, bahkan juga dari Sekretariat JETP sendiri, bahwa mereka akan membiayai inisiatif komunitas untuk energi terbarukan. Artinya, inisiatif energi terbarukan di tingkat komunitas tidak masuk dalam radar Sektretariat JETP untuk mendapatkan pembiayaan.

Tidak masuknya insiatif energi terbarukan oleh komunitas dalam radar Sekretariat JETP untuk dibiayai sebenarnya konsekuensi logis dari skema pembiayaan yang berbasiskan utang. Insiatif energi terbarukan dari komunitas dinilai tidak akan mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar dibandingkan dengan inisiatif energi terbarukan dari korporasi-korporasi besar. Tanpa ada keuntungan keuangan yang besar, mustahil akan dibiayai oleh utang, apalagi utang komersial.

Ketiga, jalan gelap berikutnya adalah terkait tata kelola JETP. Sejak awal proses di JETP berada dalam ruang tertutup dan mengesampingkan keterlibatan publik. Bahkan sejak di luncurkan di sela-selah KTT G20 di Bali, sudah diwarnai dengan berbagai pembungkaman suara-suara masyarakat sipil di Bali. Tidak boleh ada suara yang berbeda terkait transisi energi.

Setelah diluncurkan kerja-kerja di ruang tertutup masih terus dipertahankan dalam mengelola transisi energi dalam JETP ini. Hingga artikel ini ditulis misalnya, belum ada informasi terbuka dari Sekretariat JETP, tentang bagaimana caranya keterlibatan publik dalam pengambilan kebijakan di JETP. Belum ada informasi pula dari JETP tentang prosentase hibah, utang berbunga rendah dan komersial dalam skema pembiayaan proyek-proyeknya.

Keempat, jalan gelap JETP yang terakhir adalah munculnya wacana masuknya solusi palsu transisi energi yang akan didanai. Solusi palsu transisi energi adalah upaya untuk terus mempertahankan penggunaan energi fosil dengan penggunaan berbagai macam cara, termasuk teknologi yang siberikan label hijau.

Tak lama setelah Sekretariat JETP diluncurkan misalnya, kementerian ESDM justru mengeluarkan wacana agar penggunaan gas didanai oleh JETP. Padahal gas adalah bagian dari energi fosil.

Wacana penggunaan solusi palsu tidak berhenti sampai disitu. Tak berselang lama, ADB (Asian Development Bank), yang mendukung penuh keberadaan Sekretariat JETP memublikasikan iklan untuk rekrutmen staf yang mengisi beberapa posisi di sekretariat JETP. Dalam iklan tersebut, disebutkan bahwa capaian salah satu posisi puncak di sekretariat JETP adalah menyukseskan program prioritas transisi energi JETP. Salah satu program prioritasnya adalah CCS (Carbon Capture and Sequestration).  Lalu, apa itu CCS?

CCS merupakan salah satu teknologi yang diklaim mampu memitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Teknologi CCS ini sangat mahal dan tidak efektif mereduksi GRK. Lantas kenapa penggunaan teknologi mahal dan tak efektif ini justru diwacanakan? Sulit untuk tidak mengatakan bahwa itu semua terkait dengan transaksi energi bukan transisi.

Lantas, apa yang bisa dilakukan dengan kondisi ini? Pemerintah Indonesia harus mulai berani melakukan renegosiasi ulang skema JETP ini. Pendanaan JETP yang berbasis utang harus diubah. Basis pendanaan dari utang luar negeri untuk transisi energi bukan saja akan memberatkan negara-negara berkembang namun juga akan mengubah orientasi transisi energi menjadi sekedar transaksi untuk mengakumulasikan laba dari lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional dan juga negara-negara kaya.

Selain renegosiasi, pemerintah perlu memasukan insiatif energi terbarukan dari komunitas sebagai salah satu proyek yang akan mendapatkan pendanaan. Pendanaan ke energi terbarukan berbasis komunitas bukan saja menguntungkan masyarakat banyak namun juga upaya menggeser tata kuasa dari energi di Indonesia.

 

 

 

 




 

 

Ikuti tulisan menarik Cak Daus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu