x

Perempuan Pemulung Tambang Batu Bara

Iklan

saniati

Saniati
Bergabung Sejak: 21 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:19 WIB

Mitos Hijau yang Bertumpuk: Menimbang-nimbang Keterwakilan Perempuan di Industri Tambang

Watak dari industri adalah profit, ciri utama dari tambang adalah eksploitasi; karakteristik ini tak akan banyak berubah, meski representasi perempuan ditingkatkan seoptimal mungkin. Sebab korporasi beroperasi di bawah rambu nilai-nilai bisnis, bukan nilai moral. Mempekerjakan perempuan, oleh karenanya, hanya terdengar sebagai jargon yang membuai; produksi mitos-mitos kemuliaan yang bertumpuk, dari skema ekonomi berkelanjutan, ekonomi hijau, hingga tambang hijau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam produk yang dihasilkan oleh budaya pop, perempuan dan interaksinya dengan tambang kerap digambarkan secara keliru: romantik dan hampir ideal. Kita dengar misalnya lagu yang digubah Ivan Lee Meece, Miner’s Lady, dengan percaya diri mengandaikan wanita yang hidup di sekitar wilayah tambang sebagai makhluk yang tinggi seperti pinus, cantik seperti bunga, tapi pada saat yang bersamaan terlihat pasif tak berdaya tanpa kehadiran laki-laki. Atau cermati lirik  Country Roads, lagu tenar milik John Denver, yang menjadikan perempuan tambang sebagai personifikasi dari kejayaan industri ekstraktif di Virginia Barat; ”All my memories gather round her, miner’s lady, stranger to blue water”.

Tapi budaya pop adalah budaya pop, sementara fakta yang terhidang di lapangan justru berkata sebaliknya. Interaksi antara perempuan dan industri tambang jauh dari kata romantis, tak cukup untuk disebut ideal. Malahan keduanya saling bertentangan, berkonfrontasi  terus menerus, sejak pertama kali industri ini berkembang, sampai kini berjaya dan menjadi koloni-koloni di seluruh benua. 

Pada takaran tertentu, sangat mudah ditarik kesimpulan bahwa perempuanlah—bukan laki-laki—yang paling vokal menolak industri ini di belahan bumi mana pun, tak terkecuali di Indonesia. Dari gerakan Wadon Wadas yang menolak tambang andesit, hingga barisan ibu-ibu di Rembang yang menentang tambang semen. Dari emak-emak di Seluma yang merisaukan tambang pasir besi, hingga ibu-ibu di Wawonii yang berjuang melawan korporasi. Rasa-rasanya, kita perlu menimbang-nimbang kembali industri tambang, sebagai momok yang merugikan perempuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejumlah studi menunjukkan bahwa keyakinan moral—yaitu sikap transenden dan penilaian benar atau salah terhadap sesuatu—sangat berperan dalam penerimaan sosial terkait sektor sumber daya alam. Ketika satu individu mengambil sikap moral atau nilai ideologis terhadap suatu industri, entah menolak atau mendukung, hal itu dapat sangat memengaruhi pandangan mereka terhadap proyek tersebut secara keseluruhan. Dalam konteks ini, perbedaan gender turut berperan dalam menanggapi proses operasi formal industri tambang; perempuan lebih tinggi dalam kepekaan ekosentrisme, yang secara langsung mencerminkan kepedulian lingkungan tingkat lanjut, sementara kebanyakan pria lebih cenderung  mengabaikan kepekaan ekologis, sebab bisa meraup kepentingan ekonomi secara optimal (Measham dan Zhang, 2019).

Sikap apriori—dengan kompas moral yang teramat tegas ini—membuat perempuan semakin dipandang sebelah mata oleh korporasi. Perempuan bukan pilihan utama untuk dijadikan kandidat pekerja, bahkan tak menarik untuk sekadar dilirik. Jika tidak menentang secara vokal, setidak-tidaknya perempuan memiliki potensi untuk melawan dalam diam. Situasi semacam ini, bila ditambah dengan kultur korporasi yang dominan patriarkis, tak ayal  mendatangkan konsekuensi logis: representasi pekerja perempuan di industri tambang sangat minim. 

Dalam Survei Angkatan Kerja Nasional, yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 lalu, perempuan yang bekerja di industri ini diperkirakan tak sampai angka 10%. Dalam lanskap yang lebih luas, presentase yang timpang ini tak jauh berbeda, perempuan hanya mewakili sekitar 8-17% dari tenaga kerja pertambangan global (Fernandez, dkk, 2019).

Syahdan, untuk urusan meraup keuntungan ekonomi dari industri ekstraktif, akhirnya kita tahu bahwa saat ini perempuan tak memiliki peluang besar, atau setidak-tidaknya tak sebanding dengan laba yang diperoleh laki-laki. Namun, bilamana dampak ekologis seperti perubahan iklim—sebagai sesuatu yang niscaya dari industri ini—mulai terendus kehadirannya, maka korban paling dirugikan adalah perempuan.

Ini bukan semata omong kosong. Tinjauan sejumlah literatur mutakhir menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak lebih negatif pada perempuan dibandingkan laki-laki, terutama di lima bidang berikut: (1) produksi pertanian; (2) ketahanan pangan dan gizi; (3) kesehatan; (4) air dan energi; (4) bencana terkait iklim, migrasi, dan konflik (Awiti, 2022). Terang sekali, keyakinan moral perempuan yang memandang industri tambang sebagai pembawa ekses buruk, didasarkan pada argumentasi ekologis semacam ini. 

Kuota Keterwakilan Perempuan

Inisiatif dan advis dihadirkan untuk mendongkrak angka representasi pekerja perempuan di industri tambang, salah satunya dengan pencanangan kuota keterwakilan yang harus terpenuhi—sebagaimana  yang diterapkan lebih dulu di partai politik dan parlemen.

Pada satu titik, wacana ini terdengar merdu di sepasang telinga dan melegakan hati. Ia akan sangat berguna, terutama karena mengakomodasi nilai-nilai dasar inklusivitas dan kesetaraan. Cara ini dengan sendirinya akan mendatangkan keuntungan ekonomi untuk perempuan. Tapi pada titik yang lain, saran semacam ini tak bisa membawa kita beranjak ke mana-mana, dan pada dasarnya tak mengubah banyak hal.

Watak dari industri adalah profit, ciri utama dari tambang adalah eksploitasi; karakteristik ini tak akan banyak berubah, meski representasi perempuan ditingkatkan seoptimal mungkin. Sebab korporasi beroperasi di bawah rambu nilai-nilai bisnis, bukan nilai moral. Mempekerjakan perempuan, oleh karenanya, hanya terdengar sebagai jargon yang membuai; produksi mitos-mitos kemuliaan yang bertumpuk, dari skema ekonomi berkelanjutan, ekonomi hijau, hingga tambang hijau.  

Bila kita berharap korporasi bekerja di bawah rambu nilai-nilai moral (yang mana itu mustahil, karena tak ada yang mau menggali kubur untuk dirinya sendiri), maka langkah yang seharusnya kita dorong adalah hentikan proyek tambang. Titik. Berdayakan perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, masyarakat adat, dengan memberi mereka akses pada pendidikan, kebebasan mengatur sumber daya, hingga mampu berdikari di tanahnya sendiri, dengan kedua kaki sendiri, tanpa kooptasi dari pihak mana pun. Permisif pada industri ekstraktif, sembari berharap mereka mengulurkan bantuan, adalah perilaku naif yang harus kita timbang ulang.  

Pada titik ini, kami setuju pada ungkapan Siti Maemunah dalam satu kesempatan wawancara dengan Jurnal Perempuan, bahwa seluruh fungsi sosial perusahaan sebenarnya dikerahkan untuk memperbesar margin, memperbesar laba (Elisabeth dan Aulia, 2014). Pasalnya, bila dirinci lebih jauh, kehendak mencanangkan kuota representasi untuk perempuan dibangun dari satu asumsi yang cenderung mengarah pada logika bisnis; bahwa kehadiran gender yang beragam dalam satu rantai produksi akan melonjakkan nilai produktivitas dan laba—sebagaimana telah diverifikasi oleh sejumlah studi mutakhir.

 

Mitos Hijau yang Bertumpuk: dari Ekonomi Hijau hingga Tambang Hijau

Kami percaya, industri ekstraktif tidak akan pernah sanggup mengatasi dampak perubahan iklim, meski mengikuti skenario “ekonomi hijau” (green economy) atau bahkan “tambang hijau” (green minning), yang diandaikan peduli pada lingkungan.  Sebab corak utama dari  kapitalisme adalah privatisasi keuntungan, dan distribusi kerugian. Meski beberapa di antaranya ilegal, tapi lebih banyak lagi yang beroperasi atas restu hukum, dengan pengesahan undang-undang, tentu di bawah kendali negara.

“Tambang hijau”, seperti juga “ekonomi   hijau”, adalah frasa yang bagi kami sangat lucu. Bertentangan sejak dalam istilah. Contradictio in terminis. Sama seperti mengatakan “pemerkosa yang saleh”. Keduanya, meski memiliki konteks dan sejarah yang berbeda, namun kompak telah menjadi mitos yang memuliakan korporasi.  Dengan penggunaan dua jargon ini, didorong oleh sejumlah produk hukum yang bermasalah, perusahaan-perusahaan tambang seolah telah ditahbiskan sebagai institusi yang bersih. 

 

 

Pustaka:

Measham dan Zhang, “Social licence, gender and mining: Moral conviction and perceived economic importance”. Resources Policy, volume 61, 2019.

Alex O. Awiti, "Climate Change and Gender in Africa: A Review of Impact and Gender-Responsive Solutions." Front. Clim, Volume 4, 2022.

Fernandez, Karina, dkk. "Industry 4.0 in Developing Countries: The Mine of the Future and the Role of Women". Worldbank.org, 2019. 

Elisabeth dan Aulia, "Siti Maemunah: Filosofi Tanah sebagai Tubuh Perempuan: Krisis Lingkungan akibat Tambang". Jurnal Perempuan, Vol. 19 No. 1, 2014. 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik saniati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler