x

Hasil Nikel Indonesia Terbaik

Iklan

Dinar Rahayu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Kamis, 25 Mei 2023 08:21 WIB

Tambang dan Utopia

Ditulis dalam rangka mengikuti lomba menulis artikel bertema Kolonialisme Industri Ekstraktif yang diselenggarakan JATAM, Indonesiana, dan Mongabay. artikel ini berbentuk opini, pertama pemaparan akibat industri ekstraksi, silang sengkarut pelaksanaannya antara para pelaku usaha, negara, dan publik. diikuti usulan supaya negara tempat penambangan menjadi negara yang lebih mandiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

TAMBANG DAN UTOPIA

Oleh: Dinar Rahayu

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah diketahui bersama bahwa industri penambangan, termasuk di dalamnya penambangan mineral logam dan minyak bumi termasuk ke dalam industri penyarian (ekstraksi). Dalam tulisan ini saya membatasi pada industri ekstraksi mineral yang bukan untuk bahan bakar sehingga batu bara dan minyak bumi tidak saya munculkan dalam pembahasan ataupun contoh.

Industri ekstraksi seperti tertulis dalam namanya, tentunya memeras dan mengambil semua senyawa yang diperlukan dan meninggalkan ampas. Kekosongan. Lubang-lubang di permukaan bumi yang menganga, Genangan lumpur berisi tanah, oksida-oksida logam berat seperti merkuri oksida, timbal oksida, arsen oksida berserakan, air tercemar garam beracun dari oksida logam berat tersebut. Kubangan membentuk rawa gersang tanpa bisa dihuni ikan atau hewan air lainnya. Gunung terpapas dan gundul, batang pohon kering tumpang tindih, tumpukan sisa-sisa tanah yang nyaris tak berguna. Belum lagi kerusakan yang tak kasat mata, jauh di bawah permukaan bumi. Lebih jauh lagi mineral tersebut dibawa jauh dari tempat asal penambangan. Biasanya ke negara-negara industri karena mineral yang sudah murni itu dipakai untuk bahan baku atau menopang kegiatan industri lainnya. Untuk badan-badan mesin, otomotif, sel baterai dan berbagai komponen perangkat elektronik.

Tanah gersang bekas pertambangan dibiarkan begitu saja. Ekosistem keseluruhan di permukaannya berubah secara drastis. Tidak melulu tanah, makhluk hidup yang ada di atasnya pun terkadang dienyahkan begitu saja. Siapa yang bisa bertahan tanpa air yang dapat dikonsumsi? Industri ekstraksi selalu menyedot jutaan liter air tanah setiap harinya untuk menembus lapisan tanah dan mengorek logam, memisahkan logam-logam tersebut satu persatu dan memurnikannya dan menyisakan air yang sudah begitu asam ataupun terlalu banyak mengandung logam berat dan senyawa berbahaya sehingga tak layak dikonsumsi, dan sifat air yang mengalir, merembes, maka zat-zat ini bisa berpindah, terdeteksi di sepanjang aliran air, sampai ke laut.

Perjalanan hidup mineral mentah sebelum mencapai bentuk murni adalah perjalanan pelipat gandaan nilai jual dan penggunaan energi yang besar. Semisal untuk membuat lembaran atau kabel tembaga untuk mengalirkan listrik, mineral yang mengandung tembaga diambil, dipekatkan, dipanggang, dimurnikan untuk melepaskan seluruh senyawa yang saling berikatan membentuk ikatan yang kompleks. Semua itu harus dikonversi ke dalam nilai mata uang. Satu tingkat kemurnian akan menaikkan harga mineral sampai sepuluh kali lipat. Betapa besar uang yang berputar di industri ekstraksi ini. Kemanakah larinya uang tersebut?

Coba dengarkan: Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, sekitar 10,89 % atau setara dengan Rp. 1.480 triliun produk domestik bruto (PDB) Indonesia disumbangkan oleh sektor sumber daya alam. Sektor pertambangan merupakan penyumbang terbesar (43 %), disusul sektor perkebunan (27 %), sektor perikanan tangkap (24 %) dan sektor kehutanan (6 %). Sektor sumber daya alam juga mampu menyerap lapangan kerja sekitar 37,31 juta orang. Data peringkat Indonesia untuk hasil tambang (seturut data Asosiasi Pertambangan Indonesia tahun 2014) Indonesia menduduki peringkat produksi emas nomor 6, produksi tembaga peringkat 10, produksi nikel peringkat 4, di dunia.

Kita tidak usah silau dengan peringkat tersebut kerena jumlah kekayaan berbagai hasil tambang itu akan terdengar ironis bila dikontraskan dengan betapa minim atau tidak adanya jumlah ekspor untuk menyuplai kebutuhan dunia dari Indonesia di bidang sarana transportasi baik berbahan bakar bensin ataupun kendaran listrik , atau alat komunikasi seperti telepon seluler, atau suplai sumber daya manusia dari Indonesia seperti dokter dan tenaga kesehatan, pengajar, atau sumber daya manusia handal lainnya. Betapa sedikitnya negara pemilik mineral tersebut mendapatkan keuntungan dari industri ekstraktif ini. Tidak sebanding dengan kerugian yang terjadi.

Angka-angka pendapatan dan jumlah kekayaan mineral itu malah membuat negara ini rentan terhadap praktik korupsi dalam pengelolaannya, seperti proses alih fungsi lahan yang menyalahi undangundang, perizinan tidak sesuai prosedur, eksplorasi secara berlebihan, eksploitasi, penjualan dan ekspor hasil produksi secara gelap, ketidakpatuhan pembayaran pajak, serta berbagai bentuk pelanggaran lainnya

Adalah benar bahwa kegiatan pertambangan yang terkonsentrasi pada daerah tertentu niscaya memberikan keuntungan pada penduduk daerah tersebut. Para pekerja tambang bermukim di dekat sumber tambang tentunya memiliki kebutuhan hidup yang pemenuhan kebutuhannya bisa dilakukan oleh penduduk sekitar sehingga terjadi kegiatan ekonomi. Tetapi ini juga bukan tanpa resiko, kejutan harga yang melambung dan kurangnya keberagaman, ketidak seimbangan antara kelompok populasi, keterbatasan keahlian penduduk dengan tuntutan pekerjaan, infrastruktur, sumber daya alam yang kualitasnya buruk (air dan udara), konflik penggunaan lahan, buruknya kesehatan, ikatan sosial yang longgar, dan setelah kegiatan penambangan selesai, hanya kekosongan yang ditinggalkan.

Kalaupun industri tambang menyumbang perkembangan sektor ekonomi yang lain, tentunya itu hanyalah secuil dari keuntungan. Mungkin saja industri tambang membiayai kursus, proyek agrikultural, pelatihan pekerja sosial tetapi tentunya pelaku industri tambang tidak akan menginvestasikan uang dari hasil pertambangan untuk pengembangan keseluruhan ekonomi lokal, tetapi untuk memperkuat organisasi mereka, pengembangkan pabrik dan anak perusahaan.

Negara sebagai penerima keuntungan dari tambang ini  dalam bentuk pajak dan royalti, diharapkan bisa mengolah penghasilan tersebut untuk membenahi administrasi negara, memenuhi kebutuhan rakyat dan seharusnya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Tetapi bukan lagi menjadi rahasia, adanya kelemahan regulasi pemerintah pusat dan daerah, dan rendahnya integritas penyelenggara negara. Selain itu ditemukan pula adanya potensi konflik kepentingan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan penataan ruang, karena keterlibatan pengusaha-politisi yang memiliki posisi di eksekutif, legislatif dan partai politik.

Tahun 2013 Badan Pemeriksa Keuangan pernah melaporkan 26 perusahaan pertambangan atas dugaan korupsi dengan memanfaatkan hutan secara ilegal. Laporan yang disampaikan ke Bareskrim Mabes Polri tersebut diduga menyebabkan kerugian negara Rp 90,6 miliar. Praktik korupsi di sektor pertambangan sungguh mengkhawatirkan. KPK mengidentifikasi, dari sekitar 11.000 izin tambang yang ada di seluruh Indonesia, 3.772 izin dinilai bermasalah dan dicurigai terjadi korupsi yang melibatkan kepala daerah sebagai pemberi izin.

 

Peraturan kewajiban terhadap pelaku penambangan untuk mengolah mineral mentah untuk dipekatkan dan dimurnikan sebelum dijual (smeltering process) tampak menjanjikan pertambahan keuntungan bagi negara pemilik sumber mineral, tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah dinilai tidak konsisten. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan para pelaku usaha tambang dan pemrosesan (smelter), serta pemerintah sendiri yang memperlambat kebijakan kewajiban smelter tersebut. Pada tahun 2020, terbit Permen ESDM no.17 yang membolehkan pengusaha tambang pemilik IUP melakukan ekspor mineral mentah (relaksasi ekspor mineral).

Relaksasi ekspor mineral berdampak pada meningkatnya laju eksploitasi sumber daya alam. Pelonggaran kembali keran ekspor mineral mentah dapat mengacaukan upaya pembenahan dan penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia. Selain itu, mengakibatkan pembukaan lahan hutan yang massif, timbulnya praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab.

Padahal dampak positif pembangunan instalasi pemekatan dan pemurnian itu secara langsung adalah penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara dan daerah tempat smelter tersebut akan meningkat. Pada pelaksanaannya ketidak konsistenan dalam kebijakan smelter membuat tak sedikit perusahaan smelter dalam negeri merugi, walau hal ini ditepis kanal resmi kementrian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Berbeda hal nya dengan negara-negara lain yang sudah memiliki teknologi yang lebih canggih tentunya biaya produksi nikel tersebut akan lebih rendah dan penurunan harga tersebut tidak begitu berpengaruh banyak. Dan sampai 2018 terdapat 2 smelter yang telah berhenti beroperasi dikarenakan teknologi yang tidak memunginkan dan bahan baku yang mahal.

Seorang antropolog yaitu Alvin W. Wolfe dalam esai tentang tambang dan revolusi Afrika berandai-andai negara-negara Afrika pemilik sumber daya mineral bersatu sehingga nilai tawar persatuan antar negara terhadap perusahaan multinasional pemilik ijin usaha pertambangan semakin besar. Syarat pertama revolusi Africa adalah bahwa negara-negara miskin bersatu untuk berjuang untuk mendapatkan bagian lebih besar di dunia produksi. Karena “kaum pekerja”, “kaum petani”, “kaum militer” tak bisa menjungkirkan kaum elit lokal. Demikian kurang-lebih kalimatnya. Sebuah utopia yang menjanjikan tetapi rasanya sulit diterapkan. Tetapi memang negara-negara pemilik sumber daya alam seperti mineral tidak akan mencapai kemerdekaan ekonomi sampai mereka benar-benar bisa bersaing, dan bukan mengemis, di pasar dunia.

Sebagai penutup, rasanya sebaiknya saya tidak membiarkan tulisan ini menganga begitu saja seperti lubang bekas galian. Bukan bermimpi utopia atau angan-angan semata, tetapi membaca ulang peraturan kementrian ESDM. Undang-undang No.4/2009 pasal 100 menyebutkan bahwa pemegang IUP (Ijin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang, kemudian jika pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui, maka menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan tersebut.

Setidaknya jika ini dilaksanakan, membenahi dari dalam,mengurangi keinginan memperkaya diri sendiri atau golongan dari uang milik bersama, membuat aturan main bersama yang menjamin kelestarian bangsa ini ke depannya dan bukan mengagungkan masa lalu ataupun sekadar berwacana bersilat lidah, mungkin kita bisa selamat.

Semoga pemegang kekuasaan, pemangku keadilan hukum bisa mengawasi usaha pertambangan dan mengambil tindakan yang sepadan jika ada yang melanggar, sambil kita bebenah di semua ranah sehingga sumber daya alam ini lebih termanfaatkan untuk kita sebagai pemiliknya, sebelum semuanya habis.

 

Ikuti tulisan menarik Dinar Rahayu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB