x

Di tengah setling pond, tersisa bangunan sekolah yang terdampak penggusuran Desa Wonorejo

Iklan

M Jefry Raharja

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:35 WIB

Kolonialisme Tambang di Kalimantan Selatan, Batu Bara Hilangkan Desa dan Dibayar Nyawa

Eksploitasi tambang yang masif di Kalimantan Selatan, selain merusak lingkungan, menggusur dan menghilangkan sebuah desa. Batu bara juga melanggengkan monopoli kekuasaan dan memperlebar jarak ketimpangan struktur sosial di masyarakat. Sebuah praktik kolonialisme yang hanya berganti wajah menjadi industri ekstraktif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak tahun 1990, Kalimantan Selatan memilih batu bara sebagai komoditas pengganti produk sektor hutan yang dulu terkenal dengan kayunya. Sebenarnya keduanya punya dua kesamaan. Pertama, sama-sama menguntungkan. Kedua, sama-sama memberi dampak kerusakan lingkungan.

Industri berbasis bentang alam ini tentu memerlukan banyak ruang untuk diubah menjadi pundi-pundi laba. Ketika itu merupakan salah satu syarat utama, maka ada banyak lahan yang mesti ditukar bahkan dirampas baik dari juragan hingga rakyat jelata.

Kalimantan Selatan dengan luas 3,7 juta hektar ini tentu saja tidak ingin menjadi yang tertinggal dalam pusaran bisnis batu bara. Dari semenjak era perizinan dengan istilah Kuasa Pertambangan (KP) hingga Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) perizinan ini terus dilanggengkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Pemerintah melalui Gubernur dan Bupati diberi kewenangan memberikan perizinan dengan transparansi yang sangat terbatas. Sehingga ada banyak perizinan yang terbit dan tumpang tindih.

Menurut catatan Walhi Kalimantan Selatan, hingga Tahun 2021 ada seluas 599 ribu hektar lahan di Kalimantan Selatan dibebani izin pertambangan mineral dan batu bara. Artinya 9 kali luas Ibu Kota Jakarta yang dibebani izin tambang di Kalimantan Selatan. Bayangkan saja ada berapa ribu kepala keluarga yang dapat memulai usaha berbasis lahan, jika pengelolaannya diserahkan kepada rakyat.

Namun, kenyataan tidak seindah ekspektasi. Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Selatan pada Agustus 2019 mencatat luas peruntukan perizinan tersebut dikuasai oleh 222 Perusahaan dengan badan usaha dan skema perizinan yang beragam.

Selain memperburuk kondisi lingkungan hidup, fakta ini juga telah memperlebar jarak ketimpangan penguasaan ruang di Kalimantan Selatan. Padahal, jika dibandingkan dengan pulau Jawa, Kalimantan Selatan cenderung lebih banyak ruang dibandingkan Pulau Jawa yang terkonsentrasi penduduknya di Kota-kota metropolitan. Harusnya monopoli penguasaan ruang dan perampasan  seperti yang jamak terjadi di Pulau Jawa dapat dihindari di Kalimantan Selatan.

Akan tetapi bukan malah rasa aman yang didapat, justru intimidasi dan kriminalisasi kerap menjadi pilihan cara yang dipakai untuk menguasai ruang. Wilayah rentan terjadinya intimidasi dan perampasan ruang ini sering terjadi di daerah transmigrasi. Dengan iming-iming uang pembebasan lahan, warga dipengaruhi satu persatu. Jika ada yang menolak dengan alasan harga tidak sesuai maupun memang memertahankan lahan untuk anak cucu, maka kemudian tidak berlangsung lama bermunculan calo-calo tanah yang menawarkan harga beserta sedikit ancaman serupa preman.

Salah satu kisah pilu itu dialami warga Desa Wonorejo, Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan. Liputan yang juga dimuat di majalah Jurnal Kalimantan ini menggambarkan warga yang awalnya hidup menuju sejahtera malah berujung menuju petaka akibat batu bara. Desa yang mayoritas warganya berasal dari Jawa Timur ini merupakan gabungan dari tiga Dusun transmigran sejak Tahun 1989 hingga 1991 awalnya berjumlah 300 Kepala Keluarga.

Dari Pemerintah, warga diberikan sebuah bangunan rumah kayu berukuran 30 meter persegi, lahan pekarangan 0,25 hektar, 0,75 hektar lahan pertanian dan plasma kebun karet 2 hektar yang jika ditotal keseluruhan sekitar 3 hektar untuk setiap Kepala Keluarga.

Sejak 1989 warga berjuang sendiri memanfaatkan lahan dengan sulitnya akses infrastruktur terutama jalan dan pendidikan. Di tengah keterbatasan itu, sebagian warga juga telah berhasil memberikan pendidikan yang layak dari hasil kebun mereka untuk anak-anaknya bahkan hingga sarjana.

Kebahagiaan itu ternyata disertai oleh ‘hantu’ neokolonialisme. Pada Tahun 1991, pada waktu yang beriringan tersebut terdapat perusahaan transnasional yang juga beroperasi di wilayah konsesi mereka yang cukup luas sekitar 358 kilometer persegi.

Wilayah konsesi Perusahaan tersebut ternyata juga membebani Desa Wonorejo. Perlahan mimpi buruk semakin menjadi kenyataan, jarak aktivitas tambang batu bara dengan Desa Wonorejo hanya sekitar 5 kilometer.

Satu dekade berlalu, dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur nomor 0188 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tiga Desa Baru Sebagai Desa Definitif, menjadikan Desa Wonorejo resmi sebagai desa definitif.

Namun, apa arti perlakuan administratif seperti SK jika tidak mampu menolong warga yang dirampas ruang hidupnya. Teror dari ekspansi tambang batu bara malah semakin menjadi. Sebut saja mafia lokal atau calo tanah yang serupa preman itu terus memberikan tawaran dan tekanan agar warga menjual tanah meski dengan terpaksa.

Empat tahun berlalu, yang pada awalnya Desa Wonorejo masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Hulu Sungai Utara. Pada Tahun 2003 setelah diterbitkannya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan di Provinsi Kalimantan Selatan. Desa Wonorejo masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Balangan.

Berubahnya kebijakan itu juga membuat nasib Desa Wonorejo semakin terpuruk tidak begitu jelas. Salah satu yang menohok adalah ekspansi tambang batu bara ini sangat berdampak pada perempuan, terutama perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu berinisial K salah satunya, dia dapat memberikan pendidikan layak pada anak-anaknya dari hasil berkebun dan bertani. Lalu dengan mudahnya dirampas oleh perusahaan tanpa pembelaan oleh negara.

Tahun 2009 konflik sengketa semakin jelas, ekspansi tambang semakin tidak terhindarkan. Pola intimidasi pun selalu menjadi cara yang perusahaan pakai untuk mengusir tuan dari tanahnya sendiri.

Seolah ada berita segar, Tahun yang sama pada 2009. Bupati Balangan mengeluarkan Surat Keputusan nomor 188.45/202/Kum Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Relokasi Desa Wonorejo. Warga mulai mengurangi tensi penolakan karena berharap dengan SK ini, meski dalam SK tersebut juga melibatkan perusahaan sebagai bagian dari tim relokasi.

Calo tanah semakin massif mengambil peran sebagai aktor utama yang membebaskan lahan di Desa Wonorejo. Pada akhirnya penjualan lahan terjadi. Banyak warga yang pasrah meski masih menolak. Bahkan juga akhirnya harga per meter tanah hanya dihargai 2.500 – 3.500 rupiah per meternya tanpa menghitung tanam tumbuh seperti kebun karet milik warga.  

Dua dekade pun berlalu hingga liputan yang dilakukan Project Multatuli terbit di halaman web mereka pada April 2022 lalu. Meski telah lama, kisahnya masih begitu segar. Mengingat ini adalah catatan sejarah yang buruk tentang sengkarut pengelolaan sumber daya alam. Akibat dari rakusnya ekspansi batu bara, Desa Wonorejo mendapat julukan baru yaitu Desa ‘Siluman’.

Bukan tanpa alasan, Desa Wonorejo sebagai aset negara kenapa harus kalah dan tunduk pada perlakuan perusahaan. Setelah konflik lahan berkepanjangan itu, semuanya sangat berdampak pada situasi sosial politik di masyarakat. Tidak hanya warga, kantor Desa Wonorejo sebagai pusat pelayanan juga harus rela direlokasi ke wilayah desa lain yaitu Desa Sumber Rejeki hanya karena perusahaan transnasional itu.

Jenakanya, masih ada 57 kepala keluarga atau 114 jiwa tercatat di kantor Desa Wonorejo yang sekarang hanya punya sepetak lahan hasil relokasi ke Desa Sumber Rejeki. Anggaran operasional juga tetap tersalur meski penyaluran dana desa berhenti pada 2017.

Betapa sia-sianya infrastruktur yang telah dibangun sebelum ekspansi batu bara. Tak terhitung nilai kerugian lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat yang telah terbentuk pada proyek bernilai besar negara yaitu proyek transmigrasi ini.

Di samping itu, semakin hari kriminalisasi dan intimidasi terhadap rakyat semakin massif. Bukan hanya menyasar masyarakat sipil tetapi juga menyasar jurnalis dan advokat. Ada beberapa catatan penting yang harus kita tolak untuk dilupakan.

Pada medio 2020, Diananta Putera Sumedi divonis 3 bulan 15 hari penjara karena salah satu karya jurnalistiknya yang dianggap memuat sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Bermula dari berita yang ditayangkan di medianya pada November 2019. Perusahaan yang pemiliknya juga ada di pusaran bisnis tambang batu bara itu melaporkannya dan mengarahkannya pada ranah pidana. Padahal, Diananta juga banyak membuat liputan mendalam dan investigasi berbagai kasus untuk koran nasional.

Meskipun beberapa pihak menganggap kasus ini mestinya diselesaikan di Dewan Pers, tetapi proses hukum tetap dilanjutkan dengan menggunakan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus mengerikan lainnya terjadi pada advokat Bernama Jurkani. Beliau merupakan kuasa hukum salah satu perusahaan batu bara yang ada di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Kasus yang sedang beliau tangani merupakan kasus tambang illegal yang beroperasi di wilayah perusahaan yang ia dampingi.

Namun nahas, belum sempat menyelesaikan kasus pertambangan illegal, beliau tewas dibacok saat melakukan advokasi di lapangan pada 22 Oktober 2021 lalu. Beliau sempat dirawat di rumah sakit selama 13 hari hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia.

Seperti kasus lain yang serupa, aparat penegak hukum hanya menetapkan dua orang terpidana dalam kasus ini. Padahal keterangan yang disampaikan oleh tim advokasi Jurkani memperkirakan pelaku ada sekitar 20 hingga 30 orang. Hal yang menambah kekecewaan bagi tim advokasi Jurkani adalah motif pelaku adalah kesalahpahaman dan bukan aktor intelektual yang divonis. Hanya dua orang yang divonis dalam kasus ini dengan masing-masing hukuman 10 tahun dan 8 tahun penjara.

Selanjutnya pada 29 Maret 2023 Sabriansyah (63), korban dari brutalnya intimidasi preman tambang batu bara di Desa Mangkauk Kecamatan Pengaron Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Kasus yang awalnya sengketa lahan dengan perusahaan tambang batu bara ini berujung menjadi kasus penganiayaan dan pembunuhan sadis.

Sabriansyah dibacok, ditembak dan digorok lehernya dengan sadis. Dalam kasus pembunuhan ini aparat penegak hukum telah menetapkan delapan orang tersangka termasuk humas dari perusahaan batu bara yang bersengketa tersebut. Pistol yang digunakan untuk membunuh korban belum ditemukan. Hingga artikel ini ditulis, kasus pembunuhan di pusaran tambang ini masih dalam proses pemeriksaan.

Lemahnya upaya kontrol dan pengawasan oleh negara terhadap aktivitas industri ekstraktif juga berarti melanggengkan potensi konflik antar masyarakat seperti yang terjadi di atas. Kebijakan yang harusnya mempermudah dan berpihak pada rakyat malah memperburuk keadaan. Lebih parah, jika fungsi legislatif dan penegakan hukum dikuasai oleh oknum pengusaha di sektor tambang batu bara. Biasanya dikenal dengan istilah usaha sampingan.

Momentum 25 Tahun reformasi harusnya menjadi refleksi bersama untuk terus menularkan nilai-nilai luhur dan prinsip keadilan ekologis lintas generasi pada kaum muda. Bukan malah ikut larut dalam pesta demokrasi semu yang dilakukan aktor-aktor pergerakan lama yang hanya menjadi ‘kanker’ dalam gerakan masa kini. Bahkan beberapa di antaranya adalah aktor neokolonialisme dan pesakitan korupsi di negeri ini.

 

#LombaArtikelJATAMIndonesiana

Ikuti tulisan menarik M Jefry Raharja lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler