x

Perempuan Pemulung Tambang Batu Bara

Iklan

Eka Zuni Lusi Astuti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:29 WIB

Geliat Gerakan Perempuan Anti-Tambang “Wadon Wadas” dalam Bingkai Esensialisme Strategis

Artikel ini disusun untuk mengikuti Lomba Artikel Hari Anti Tambang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Geliat Gerakan Perempuan Anti-Tambang “Wadon Wadas” dalam Bingkai Esensialisme Strategis 

Industri ekstraktif di berbagai belahan dunia menuai perlawanan dari masyarakat akar rumput, khususnya petani dan masyarakat adat. Industri ekstraktif mencerabut sendi-sendi kehidupan mereka, seperti merubah model produksi yang berimplikasi pada persoalan pangan dan merusak lingkungan yang berujung pada keringnya sumber-sumber mata air dan degradasi ekosistem. Penolakan terhadap industri ekstraktif ini tentunya dihadapkan dengan dua aktor kuat, yakni negara dan perusahaan. Di Indonesia, perlawanan terhadap industri ekstraktif cukup masif. Di Jawa misalnya, penolakan masyarakat Samin terhadap tambang semen di perbukitan Kendeng, Kabupaten Pati, penolakan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) terhadap rencana penambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo, dan penolakan masyarakat Wadas terhadap rencana penambangan batu andesit di Kabupaten Purworejo. Fenomena ini menggelitik dan berujung pada pertanyaan mengapa pemerintah Indonesia gencar melakukan eksploitasi sumber daya alam, khususnya industri ekstraktif? Mari kita tengok sejauh mana kontribusi industri ekstraktif terhadap pendapatan negara. Data BPS tahun 2022 menunjukkan bahwa porsi terbesar pendapatan negara non-pajak, berasal dari pendapatan sumber daya alam, dimana sektor industri ekstraktif menyumbang 22.1%. Dengan demikian, sektor industri ekstraktif berperan penting dalam perekonomian Indonesia. 

Pantas saja apabila Indonesia disebut sebagai penganut ektraktivisme, yang mana sistem ekonomi dan model produksinya mengandalkan sektor industri ekstraktif. Merujuk pada kasus-kasus penolakan terhadap tambang, negara mensubordinasikan masyarakat akar rumput demi melakukan penambangan dengan mengatasnamakan pembangunan ekonomi. Realitas ini sejalan dengan definisi Chagnon et al. (2022) terhadap extraktivisme sebagai sebuah sistem yang menindas, penuh kekerasan, menggerogoti sumberdaya, dan non-timbal balik, mereka didukung oleh jejaring, mentalitas, dan pembagian kekuasaan yang mapan. Ekstraktivisme ini juga diwarnai dengan sentralisasi, monopoli, akumulasi kapital, dan perlawanan.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tulisan ini berusaha mengupas gerakan sosial perempuan Wadas menggunakan sudut pandang feminisme. Gerakan perempuan di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah menolak penambangan batu andesit ini menarik untuk ditelisik. Pasalnya, mereka berhasil menggunakan strategi politik yang tepat dalam memberdayakan kaum perempuan untuk meraih kesetaraan dan mandiri menyuarakan penolakannya terhadap tambang. Perjuangan mereka berawal pada tahun 2018, ketika pemerintah menetapkan 146 hektar atau hampir separuh dari tanah Wadas untuk ditambang. Rencana penambangan tersebut merupakan rangkaian dari Proyek Strategis Nasional. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menjadi landasan utamanya, yang kemudian dilegalkan oleh Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Bener.  

Kebijakan yang dinilai berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hak hidup warga Wadas ini, menuai penolakan dari masyarakat Wadas. Mereka berserikat mendirikan organisasi gerakan sosial bernama Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa). Organisasi akar rumput ini didukung oleh beberapa LSM nasional seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Gempadewa memiliki dua tuntutan utama, yakni menolak segala eksploitasi ekologi, terutama di Wadas dan menolak kekerasan terhadap pelestari lingkungan hidup, terutama lingkungan hidup di Wadas. Gerakan sosial masyarakat Wadas semakin kuat dengan dibentuknya dua organisasi perlawanan lainnya, yakni Wadon Wadas yang beranggotakan perempuan dan Kamudewa yang beranggotakan kaum muda. 

Wadon Wadas merupakan praktik baik gerakan perempuan akar rumput anti-tambang di Indonesia. Gerakan sosial anti-tambang masyarakat Wadas berbeda dengan gerakan penolakan tambang di tempat lain. Mereka mampu melahirkan gerakan sosial perempuan beserta institusinya. Pada awalnya, gerakan sosial Wadas Melawan dipelopori oleh kaum laki-laki di bawah organisasi akar rumput Gempadewa. Di dalam perjalanannya, perempuan Wadas merasa perlu turut andil secara independen untuk memperjuangkan hak-hak hidupnya yang terancam oleh rencana penambangan.  

Gerakan prempuan ini berawal dari empati beberapa perempuan terhadap perjuangan Gempadewa. Mereka mengundang perempuan Wadas lainnya untuk mendiskusikan persoalan yang dihadapi oleh Gempadewa (Wuryanto, 2021). Pada awal 2021, Wadon Wadas dibentuk. Sebagai organisasi akar rumput, Wadon Wadas menjunjung tinggi kearifan lokal. Mereka percaya bahwa kerusakan lingkungan akan merusak hubungan perempuan dengan alam, Sang Ibu Pertiwi. Jika tanah Wadas ditambang, perempuan tidak lagi bisa melakukan aktivitas keseharian mereka yang bergantung pada alam, seperti bertani dan memproduksi gula kelapa sebagai sumber penghidupan, anyaman bambu (besek), menyadap karet serta memanfaatkan sumber-sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka dari itu, Wadon Wadas dan segenap warga Wadas menolak keras rencana penambangan batu andesit karena menolak kehilangan masa depan anak-cucu, menolak kehilangan sumber mata air, menolak kehilangan mata pencaharian, menolak perampasan ruang hidup, menolak kehilangan tempat bermain, menolak terjadinya perpecahan antar warga serta menolak terancam bencana dan kerusakan lingkungan. 

Dalam gerakannya, Wadon Wadas menerapkan strategi yang cukup unik, yakni perlawanan tertutup, perlawanan terbuka, dan penampilan teatrikal. Adakalanya aksi perlawanan Wadon Wadas berkolaborasi dengan Gempadewa. Sebagai contoh, mereka bersama-sama rutin berjaga di pintu masuk desa dan hutan untuk menghadang petugas yang datang ke calon lokasi penambangan. Pada puncak aksi di bulan Februari 2022, Wadon Wadas tak gentar menjadi tameng bagi warga Wadas ketika aparat penegak hukum menggeruduk Wadas. Namun demikian, berbagai aksi perlawanan dilaksanakan secara independen. Perlawanan terbuka dilakukan melalui aksi demonstrasi atau menggelar public hearing di berbagai kantor pemerintah. Perlawanan tertutup dilakukan melalui ritual keagamaan, seperti mujahadah dan melantunkan doa-doa ketika menggelar aksi. Salah satunya merapal hasbunallah wanikmal wakil yang bermakna cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung. Mujahadah di masjid digelar secara rutin. Pada awalnya, hanya kaum laki-laki saja yang menghadiri mujahadah. Namun setelah Wadon Wadas terbentuk, kaum perempuan juga terlibat aktif dalam kegiatan doa bersama tersebut. Ini merupakan upaya Wadon Wadas menciptakan kesetaraan di dalam perlawanan anti-tambang. 

Perlawanan yang diekspresikan melalui penampilan teatrikal merupakan strategi inovatif. Contohnya, ketika menggelar aksi di kantor pemerintah atau di ruang publik, Wadon Wadas menganyam bambu (besek) untuk menunjukkan adanya simbiosis mutualisme antara mereka dengan alam. Puncak perlawanan teatrikal ketika mereka menggelar aksi Wadon Wadas Mangkubumi Pertiwi. Mereka mengenakan pakaian tradisional wanita Jawa dan pawai ke hutan. Di hutan mereka berdoa, melakukan aksi simbolis membebatkan stagen ke pepohonan dan tabur bunga. Aksi tersebut menyiratkan bahwa warga Wadas akan terus berjuang mempertahankan hak hidupnya dan melestarikan lingkungan.  

Baik perlawanan terbuka, tertutup maupun penampilan teatrikal merupakan strategi politik Wadon Wadas untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap rencana penambangan. Perlawanan secara terbuka seperti menggelar protes, pawai, mendebat aturan, dan berserikat dapat menumbuhkan  identitas, politik, sejarah, dan memori (Auston, 2017). Sedangkan perlawanan melalui pertunjukan teatrikal merupakan aspek penting yang menunjukkan upaya dekolonisasi dan melawan struktur patriarki (Shefer, 2019). Gergen dan Gergen (2019) menekankan bahwa menggunakan seni di dalam aktivisme cukup ampuh untuk mendorong perubahan politik. 

Merujuk Beckwith (2000),  Wadon Wadas pantas disebut sebagai gerakan perempuan karena mereka mengekspresikan solidaritas, akuntabilitas, diwadahi dalam organisasi perempuan dengan tema spesifik, dan memperjuangkan hak-hak perempuan, dalam hal ini hak hidup di atas tanah nenek moyang mereka. Wadon Wadas juga merupakan praktik gerakan perempuan anti tambang. Gerakan ini merupakan gerakan internasional di berbagai negara yang muncul karena industri penambangan merugikan perempuan. Lahiri-Dutt (2015) menegaskan bahwa perempuan dirugikan oleh industri penambangan karena industri ekstraktif merupakan agen akumulasi kapital, merepresentasikan maskulinitas, dan memiskinkan perempuan. Jenkins (2015) mempertegas pendapat tersebut bahwa perempuan, terutama perempuan pedesaan berpendapatan rendah menanggung dampak negatif industri ekstraktif karena mengancam perekonomian perempuan dan potensial menghadirkan kekerasan seksual dan prostitusi. Industri ekstraktif juga merusak lingkungan seperti menurunkan kualitas dan kuantitas air, menyebabkan polusi udara, dan gangguan kesehatan. Selebihnya, industri penambangan merusak model produksi ekonomi masyarakat lokal dan mengganggu dinamika politik lokal, bahkan menyebabkan disintegrasi sosial. 

Selain itu, gerakan sosial Wadon Wadas dapat dikategorikan sebagai gerakan feminisme karena mengembangkan identitas kesadaran gender, aspirasi, ide, dan menginterpretasikan perlawanannya melalui beragam aksi. Wadon Wadas mampu secara mandiri berpartisipasi dalam perjuangan anti-tambang, tidak hanya mengikuti apa yang dilakukan kaum laki-laki. Mereka berani mendirikan organisasi akar rumput sendiri, tidak hanya menjadi anggota organisasi utama yang didominasi oleh kaum laki-laki. Wadon Wadas mampu berempati terhadap perjuangan warga Wadas dan merealisasikan ide perjuangannya sendiri melalui berbagai aksi yang mewakili kepentingan perempuan.  

Strategi politik di dalam gerakan feminisme Wadon Wadas ini mengejawantahkan esensialisme strategis. Konsep yang dipopulerkan oleh Gayatri Spivak ini merupakan strategi politik yang digunakan oleh kelompok-kelompok marginal melalui identitas kolektif untuk memperjuangkan solidaritas dan kesetaraan di ruang publik. Menurut Lowe dan Tsang (2018), esensialisme strategis merupakan kolektivitas yang mempersatukan kelompok-kelompok perempuan akar rumput. Wadon Wadas mampu menemukenali rencana penambangan sebagai persoalan kolektif sehingga mereka bersolidaritas supaya dapat melakukan perlawanan. Apa yang dilakukan Wadon Wadas untuk menumbuhkan empati, solidaritas, dan identitas bersama di antara perempuan Wadas, merupakan bentuk dari pemberdayaan masyarakat. Distribusi otoritas, partisipasi, dan membangun jejaring merupakan esensi dari gerakan sosial itu sendiri. Wadon Wadas mampu memberdayakan perempuan Wadas secara sosial dan politik. Dari sisi sosial, Wadon Wadas mengoptimalkan modal sosial sebagai bara api perlawanan. Sedangkan dari sisi politik, Wadon Wadas memformulasikan bentuk perlawanan yang merepresentasikan ide, kreativitas, dan feminitas mereka. Kerja keras, kerja cerdas, dan perjuangan Wadon Wadas patut menjadi pembelajaran bagi gerakan perempuan anti-tambang lainnya. 

 

Referensi 

Auston, D. (2017) ‘Prayer, Protest, and Police Brutality: Black Muslim Spiritual Resistance in the Ferguson Era’, Transforming Anthropology, 25(1), 11-22, available: https://doi.org/10.1111/traa.12095. 

Beckwith, K. (2000) ‘Beyond compare? Women's movements in comparative perspective’, European Journal of Political Research, 37, 431–468, available: https://doi.org/10.1023/A:1007160629815. 

Chagnon, C.W., Durante, F., Gills, B.K., Hagolani-Albov, S.E., Hokkanen, S., Kangasluoma, S.M.J., Konttinen, H., Kröger, M., LaFleur, W., Ollinaho, O. & Vuola, M.P.S. (2022) ‘From extractivism to global extractivism: the evolution of an organizing concept’, The Journal of Peasant Studies, 49(4), 760-792, available: https://doi.org/10.1080/03066150.2022.2069015. 

Gergen K.J. & Gergen M (2019) ‘The Performative Movement in Social Science’ in Leavy, P., Handbook of Arts Based Research, New York: The Guildford Press, 54-67. 

Jenkins, K. (2015) ‘Unerathing Women’s Anti-Mining Activism in the Andes: Pachamama and the “Mad Old Women”’, Antipode, 47(2), 442-460, available: https://doi.org/10.1111/anti.12126. 

Lahiri-Dutt, K. (2015) ‘The feminisation of mining’, Geography Compass, 9(9), 523-542, available: https://doi.org/10.1111/gec3.12229 

Lowe, J. & Tsang E.Y. (2018). Securing Hong Kong’s identity in the colonial past: strategic essentialism and the umbrella movement. Critical Asian Studies, 50(4), 556-571, available: https://doi.org/10.1080/14672715.2018.1503550. 

Shefer, T. (2019) ‘Activist performance and performative activism towards intersectional gender and sexual justice in contemporary South Africa’, International Sociology, 34(4), 418-434, https://doi.org/10.1177/0268580919851430. 

Wuryanto, B. (2021) Wadon Wadas Menjaga Alam untuk Anak Cucu, Mahkamah News, available: https://mahkamahnews.org/2021/11/28/wadon-wadas-menjaga-alam-untuk-anak-cucu/ [accessed 5 May 2023]. 

 

 

 

 

 

 

      

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Eka Zuni Lusi Astuti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler