x

Iklan

Syahrul Anami

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 19:26 WIB

Kontradiksi Penyelamatan Lingkungan dan Kendaraan Listrik


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kita pada dasarnya tidak benar-benar membenci perusahaan ekstraktif, melainkan tindakan melanggar hukum serta merusak alamnya. Sebab realitanya, kita turut menggunakan produk industri ekstraktif dalam mendukung perlawanan atas pelanggaran itu.”

Dini hari, seluruh barang sudah lengkap dikemas. Sisa pekerjaan yang perlu dilakukan kini hanya menunggu mobil carter yang akan membawa saya kembali ke Kolaka, Sulawesi Tenggara, kampung halaman tempat saya dibesarkan.

Saya bertolak dari Makassar menuju Kolaka setelah menyelesaikan studi sastra di salah satu universitas ternama di sana. Sebagai lulusan baru, keinginan bekerja dan memiliki penghasilan sendiri sudah pasti adanya. Berbagai informasi lowongan kerja hinggap di laman media sosial, tanpa terkecuali pembukaan smelter baru dan penerimaan tenaga kerja skala masif pertambangan nikel di kampung kecil ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penambangan nikel dan eskalasi pengadaan kendaraan listrik yang belakangan ini sedang ramai adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Proyek kendaraan ‘ramah lingkungan’ ini dianggap sebagai upaya menyelamatkan alam. Namun, pemikiran skeptis dan gambaran rill tentang kacaunya pengelolaan tambang mengantarkan saya pada sebuah pertanyaan. Apakah kendaraan listrik adalah jawaban untuk menyelamatkan tanah kita, ataukah sekedar bisnis para cecunguk yang menjadikan ibu pertiwi sebagai lacur penghasil untung?

Kacaunya Pengelolaan Industri Ekstraktif

Kemajuan zaman yang didukung oleh industri ekstraktif memang tak dapat dimunafikkan. Sederhana, perangkat elektronik seperti telepon genggam yang mengakselerasi kecepatan pertukaran informasi, dalam kenyataannya merupakan produk yang tak lepas dari peran industri ekstraktif. Sebenarnya, jika ditelaah lebih lanjut melalui pemikiran kontemplatif, kita pada dasarnya tidak benar-benar membenci perusahaan ekstraktif, melainkan tindakan melanggar hukum serta merusak alamnya. Sebab realitanya, kita turut menggunakan produk industri ekstraktif dalam mendukung perlawanan atas pelanggaran itu.

Mengenai ancaman destruktif industri ekstraktif memang benar adanya. Selama ini, saya belum pernah menemukan pengelolaan tambang yang seratus persen sempurna, terlebih perihal keselamatan kerja apalagi lingkungan. Beberapa potret kacaunya pengelolaan industri ekstraktif biasanya merujuk pada pengelolaan limbah tambang yang jauh dari kata ‘ramah’. Pencemaran tanah, air, dan udara berkontribusi terhadap perubahan fisik lingkungan dan bahkan keadaan ekonomi masyarakat, khususnya mereka dalam kategori menengah bawah.

Kacaunya pengelolaan limbah tambang di berbagai daerah sejatinya telah berulang kali diabadikan dalam dokumentasi media. Misalnya seperti perubahan fisik lingkungan pesisir di Kabupaten Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara. Dalam liputan Tirto.ID, terjadi perubahan warna air yang memerah beserta sedimentasi pesisir. Selain itu, jumlah tangkapan ikan masyarakat yang sebelumnya mencapai 1500 Kg dalam sebulan, menyusut hingga lima kali lebih kecil, 300 Kg perbulannya.

Di wilayah lainnya, Narasi Newsroom melakukan liputan serupa mengenai pencemaran lingkungan Pulau Obi khususnya di wilayah Kawasi. Dalam dokumentasinya, ore nikel menyebabkan air laut tampak memerah. Narasi kemudian melakukan pengambilan sampel air di sekitar Kawasi serta sungai Todoku. Sampel kemudian dikirim ke Jakarta untuk pengujian. Hasilnya sudah jelas tertebak; pencemaran air terjadi dengan indikasi kandungan nikel melewati ambang batas normal.

Selain pengambilan dan pengujian sampel perairan, Narasi turut melakukan pengujian terhadap biota laut berupa ikan. Hasil temuan menunjukkan adanya nekrosis sel pada insang, usus, dan otot. Temuan tim Narasi ini menjadi peringatan terhadap kesehatan konsumen ikan perairan Pulau Obi.

Tentu, kita tak dapat serta merta menuduh bahwa pencemaran air yang terjadi berasal dari aktifitas tambang. Namun, dengan adanya pengawasan dan ketatnya penjagaan terhadap peliput, pengusiran, bahkan ancaman terhadap fixer lokal justru menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang berusaha untuk disembunyikan di sana.

Di samping dokumentasi media, kerusakan alam akibat tambang juga dapat ditemui dalam berbagai penelitian. Misalnya, kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir di Kelurahan Kalumata, Kota Ternate Selatan, Provinsi Maluku Utara. Lingkungan fisik mengalami kerusakan level berat dan mendapat hadiah berupa laju erosi cukup besar di angka 1253,35 ton/ha/tahun sebagai akibat dari penambangan pasir di wilayah tersebut.

Kerusakan akibat penambangan tak hanya terjadi di wilayah Maluku, namun Kalimantan yang dikenal dengan julukan paru-paru dunia turut terkena imbas dari kegiatan ekstraktif ini.

Sangatta menjadi salah satu daerah yang mendapatkan ‘sial’ dari kegiatan pertambangan. Hutannya mengalami kerusakan, jalanan kian berlubang, penurunan kualitas kesehatan warga, serta gangguan di sektor pertanian. Selain itu, Sungai Bendili dan Sungai Pinang ikut mengalami penurunan kualitas air sebagai akibat dari kegiatan pencucian batubara. Lebih lanjut, menurunnya kualitas air di kedua sungai ini merembes hingga ke sektor kesehatan. Masyarakat sekitar sungai disambut penyakit kudis atau gatal-gatal dan diare.

Kerusakan lingkungan akibat pertambangan juga terjadi di Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Dalam salah satu artikel jurnal Gemeinschaft mengenai dampak lingkungan akibat pertambangan di  Desa Muara Lapapao, mengungkapkan hal senada dengan dokumentasi Narasi di perairan Kawasi serta penelitian penurunan kualitas air di Sangatta.

Perairan sekitar tambang ikut memerah dan biota laut berupa ikan ditemukan mati sehingga diduga mempengaruhi jumlah tangkapan ikan para nelayan. Dalam artian ringkas, pencemaran lingkungan perairan akibat aktifitas tambang berkorelasi dengan sektor ekonomi masyarakat khususnya kelas nelayan.

Penelusuran media dan penelitian di atas hanyalah sedikit dari sekian banyaknya kerusakan akibat industri ekstraktif. Pun, saya merasa bahwa liputan media dan penelitian-penelitian ini belum mampu menggambarkan kerusakan yang terjadi secara lebih komprehensif dan holistik, terlebih apabila industri ekstraktif cenderung tertutup pada media dan peneliti.

Pembangkit Listrik Adalah Jawara Emisi GRK

Kendaraan listrik, bagi saya, bukanlah skema penyelamatan lingkungan yang utama. Jika penyelamatan lingkungan kita pandang melalui skema reduksi karbon, maka yang perlu diperbaiki adalah sumber energi dari kendaraan listrik itu sendiri; pembangkit listrik.

Pada tahun 2019, emisi GRK nasional mencapai 1.866.552 Gg CO2e. Emisi tersebut merupakan akumulasi beberapa sektor dan salah satu sektor penyumbang terbesar ialah Energi dengan besaran 638.808 Gg CO2e. Lebih rinci, sumbangan emisi sektor Energi adalah gabungan dari beberapa subsektor yakni Industri Energi Produsen (43%), Manufaktur dan Konstruksi (21%), Transportasi (24%), dan sektor lain (4%).

Industri Energi Produsen menjadi subsektor paling dermawan dalam menyumbang emisi GRK. Subsektor ini menghasilkan 279.863 Gg CO2e yang 97,22% atau 272.082 Gg CO2e emisinya merupakan emisi yang berasal kategori Pembangkit Listrik. Sisa 2,78% berasal dari kategori Kilang Minyak, dan Produksi Bahan Bakar Padat dan Industri Energi Lainnya.

Sederhananya, pada tahun 2019, pembangkit listrik menjadi jawara kontributor emisi GRK subsektor Industri Energi Produsen bahkan menyumbang sekitar 14,57% dari total emisi GRK Nasional.

Sementara itu, emisi Subsektor Transportasi hanya sebesar 157.326 Gg CO2e. Subsektor transportasi terbagi menjadi lima kategori diantaranya Penerbangan Sipil, Transportasi Darat, Kereta Api, Angkutan air, dan Transportasi lainnya. Jika dirata-ratakan, setiap kategori menyumbang 31.465 Gg CO2e.

Jika diasumsikan bahwa kendaraan listrik dimasukkan dalam kategori Transportasi Darat, maka kontribusi emisi yang diberikan beranjak dari angka 31.465 Gg CO2e hingga 157.326 Gg CO2e. Tentu, kontribusi emisi rata-rata dari kategori Kendaraan Darat, bahkan Subsektor Transportasi secara keseluruhan masih kalah jauh dengan jumlah emisi kategori Pembangkit Listrik. 

Dalam artian singkat, transformasi pembangkit listrik ramah lingkungan seharusnya memperoleh perhatian utama dalam menangani isu emisi GRK dibandingkan kendaraan listrik yang terus digembar-gemborkan. Terlebih lagi, batu bara masih menjadi pemain kunci dalam bauran energi primer pembangkit listrik negara. Di tahun 2017 hingga 2021, komposisi batubara dalam bauran energi primer pembangkit listrik PLN bermain dalam rentang 58,41% hingga 66,01%. Sedangkan energi baru terbarukan? Yah begitulah...

Logika sederhananya, apa guna kendaraan listrik sebagai upaya penyelamatan lingkungan sedangkan sumber daya bagi kendaraan listrik adalah pemegang kunci dari kerusakan itu sendiri?

Fasilitas Belum Siap dan Sasaran Kurang Jelas

Transformasi menuju kendaraan listrik memancing beberapa pertanyaan. Siapa sasaran dari pengadaan kendaraan listrik? Bagaimana daya beli masyarakat kita? Bagaimana proses edukasi agar masyarakat hendak membeli kendaraan listrik untuk menyelamatkan lingkungan sementara kita sendiri masih tak tahu cara membuang sampah pada tempatnya?

Bukan hanya soal buang sampah pada tempatnya, pengelolaan sampah sebenarnya juga problematik. Berdasarkan pengalaman pribadi, saya kerap menemukan tempat sampah divergen (organik, anorganik, dan B3) yang isinya sama saja. Mau yang hijau, kuning, merah, isinya tak begitu berbeda, sampahnya tercampur. Pun jika semisalnya benar dipisah, apakah petugas pengambil sampah akan memisahkannya sesuai kategori ketika dipetik dari tiap titik sampah? Setelah itu, bagaimana setiap kategori sampah akan dikelola? Miris, apabila anggaran tempat sampah divergen dikeluarkan sedangkan sistem pengolahannya saja tak rampung.

Kendaraan listrik, entah berapapun harga jualnya nanti, bukan merupakan barang murah yang akan digunakan oleh banyak masyarakat. Belum lagi masalah bagi kota-kota kecil yang membutuhkan moda transportasi yang sanggup berjalan jauh dengan kecepatan pengisian energi yang singkat sementara jumlah charging station belum merata.

Kenyataannya masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan sebelum menawarkan moda transportasi listrik kepada masyarakat sebagai upaya penyelamatan lingkungan.

Saya paham bahwa diseminasi kendaraan listrik akan dilakukan bertahap dan mungkin akan diberikan subsidi. Namun apakah kebijakan itu benar-benar akan menyelamatkan tanah kita dan bukan sekedar upaya melancarkan bisnis kendaraan ini?

Kendaraan listrik, sekali lagi bagi saya, lebih condong pada masalah bisnis yang mencoba menggait isu lingkungan sebagai narasi penjualan. Memang benar subsektor transportasi juga menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca yang besar. Namun eskalasi jumlah kendaraan listrik juga berarti meningkatkan permintaan konsumsi listrik yang bermuara pada peningkatan produksi listrik. Apabila diseminasi kendaraan listrik telah menyeruak, namun sektor energi terkhususnya pembangkit listrik belum lepas dari dominasi batu bara, maka ini sama halnya dengan gali lubang tutup lubang. Kita mengurangi emisi pada subsektor Transportasi, namun subsektor Industri Energi Produsen justru terancam mengalami eskalasi kontribusi GRK.

Sebenarnya, alangkah lebih baik bila pengadaan kendaraan listrik diarahkan pada moda transportasi umum dibandingkan subsidi kendaraan listrik pribadi. Atau, keterjangkauan mobilitas transportasi umum lebih ditingkatkan sehingga dapat menjangkau daerah-daerah kecil atau spesifik. Mari sejenak berpikir, mengapa kendaraan pribadi lebih menguntungkan daripada transportasi umum? Jelas karena ongkos perjalanan lebih murah dan mobilitas lebih luas dibandingkan transportasi umum yang sekali naik tarifnya nyaris seharga seliter bensin. Belum lagi apabila transportasi umum tak menjangkau daerah tertentu, misalnya tak ada halte atau bahkan belum tersedia moda transportasi yang mampu masuk ke suatu wilayah. Karenanya, memperbaiki dan meningkatkan layanan transportasi umum sebenarnya merupakan opsi alternatif penurunan emisi dibandingkan harus mengeluarkan subsidi pengadaan kendaraan listrik pribadi.

Pada akhirnya, tujuan menyelamatkan bumi melalui pengadaan kendaraan listrik di negeri ini berkontradiksi dengan bagaimana transportasi tersebut dibuat dan dijalankan serta kondisi ketersediaan fasilitas. Jadi, apakah kendaraan listrik adalah jawaban dalam upaya menyelamatkan alam atau sekedar bisnis yang menjadikan ibu pertiwi sebagai pelacur demi keuntungan pribadi?

#LombaArtikelJATAMIndonesiana

 

Referensi dan Bahan Baca

Fatmawati, Budiman, dan Letizia Dyastari. 2017. Dampak Lingkungan Galian Tambang Batubara Pt. Kaltim Prima Coal Bagi Kesehatan Masyarakat Di Kecamatan Sangatta Utara Kabupaten Kutai Timur. eJournal Ilmu Pemerintahan. 6(2) hal. 553-566

Indra Rahmayanti, Bahtiar, Bakri Yusuf. 2020.  Dampak Keberadaan Pertambangan Nikel Terhadap Kondisi Lingkungan, Sosial, Ekonomi (Studi Di Desa Muara Lapapao Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka). Gemeinschaft: Jurnal Masyarakat Pesisir dan Perdesaan. 2(2). Hal 145 – 151

Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral. 2020. Inventarisasi Emisi GRK Bidang Energi 2020

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2022. Statistik Ketenagalistrikan Tahun 2021. Edisi No. 35. Sekretariat Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2020. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2020

Muhammad Fardhan. 2018. Kajian Kerusakan Lingkungan Fisik Akibat Kegiatan Penambangan Pasir Di Kelurahan Kalumata Kota Ternate Selatan, Provinsi Maluku Utara. Prosiding Nasional Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi XIII Tahun 2018 (ReTII). Hal 124-129.

Narasi Newsroom. 30 Juni 2022. Ironi Pabrik Nikel, Merusak Alam Sendiri Demi Hijaukan Kota-Kota di China.” Dapat diakses pada: https://www.youtube.com/watch?v=Oyoud99LfRs

Tirto. ID. 2021. Kutukan Mobil Listrik – Catatan Reporter. Dapat diakses pada: https://www.youtube.com/watch?v=GQN5scYt7FA

Ikuti tulisan menarik Syahrul Anami lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB