x

Iklan

muh yassin hamdallah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 10:31 WIB

Ekonomi-Politik Business As Usual: Problem Epistemik Transisi Energi


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ekonomi-Politik Business As Usual: Problem Epistemik Transisi Energi

Muhammad Yassin Hamdallah
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin
Tema: Kolonialisme Industri Ekstraktif – Sesat Nalar Transisi Energi

Latar Belakang

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perubahan iklim -terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan banyak orang-meskipun bukan satu-satunya masalah lingkungan, namun merupakan salah satu masalah lingkungan terpenting yang berdampak buruk pada penipisan lapisan ozon sehingga dapat mengancam kelangsungan hidup berbagai spesies, termasuk manusia (Foster dan Magdoff, 2018). Sebagian besar dari mereka yang disebut sebagai ecological economists khawatir bahwa aktivitas ekonomi -skala rumah tangga manusia- sekarang ini sudah cukup mengancam daya dukung lingkungan -kelangsungan hidup rumah tangga alam- dengan cara yang akan berdampak buruk pada generasi manusia di masa depan (Perman et al, 2003).

Fakta bahwa ekonomi dan ekologi dipandang sebagai dua disiplin ilmu yang saling terkait dengan apa yang dipandang sebagai masalah utama terkait keberlanjutan (Penayotou,1994; Makmun, 2011), menjadi ruang lingkup ilmu ekonomi lingkungan -karakteristik yang membedakan dengan ilmu ekonomi konvensional- dengan mengambil titik tolak serta prinsip pengorganisasian utamanya pada fakta bahwa sistem ekonomi merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yaitu planet bumi (Perman et al, 2003).

Hal tersebut dimulai dari pengakuan bahwa sistem ekonomi dan lingkungan saling terhubung, serta mempelajari sistem ekonomi-lingkungan secara timbal balik dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum alam dan hukum gerak ekonomi khususnya ketergantungan aktivitas ekonomi pada basis materialnya -lingkungan alam- merupakan perhatian utama dari ekonomi klasik yang menekankan pentingnya mempelajari ekonomi dengan cara yang mempertimbangkan apa yang telah ditentukan oleh hukum-hukum alam yang memengaruhi basis material aktivitas ekonomi (Perman et al, 2003).

Sejak tahun 1970-an, telah berlangsung perubahan-perubahan mendasar dalam perdagangan internasional (Basri, 1992). Aktivitas bisnis dunia bergeser dari translantik ke pasifik dan juga disertai oleh makin dominannya aktor-aktor baru, yakni Asian Newly Industrializing Countries (Korea, Hongkong, Taiwan, dan Singapura). Struktur komoditi dalam lintasan kegiatan bisnis pun berubah, antara lain disebabkan oleh perkembangan teknologi yang pesat yang beriringan dengan semakin besarnya peranan Transnasional Corporation (TNC).

Sejak saat itu kita telah hidup di era ekonomi global (economy global) yang disebut sebagai epos ekonomi dunia (Robinson, 2004). Dalam epos ekonomi dunia, setiap negara-bangsa berlomba - lomba membangun dan mengembangkan perekonomian nasionalnya dan perekonomian nasional ini kemudian bertaut satu sama lain dengan perekonomian nasional lainnya melalui pertukaran komoditi (perdagangan) dan aliran kapital (keuangan) dalam sebuah pasar internasional yang terintegrasi. Di epos ini, beragam sistem ekonomi dan corak produksi (mode of production) terartikulasi dalam sebuah formasi sosial yang luas atau sebuah sistem dunia.

Menurut Pontoh (2020), hal tersebut sungguh berbeda dengan epos ekonomi global saat ini. Dalam epos ekonomi dunia, misalkan sebuah perusahaan mobil di negara A, mobil tersebut diproduksi sepenuhnya dari awal hingga akhir di negeri A dan kemudian dilempar ke pasar nasional dan internasional. Sementara dalam epos ekonomi global, produksi mobil tersebut telah menyebar ke seluruh pelosok dunia; untuk menjadi mobil secara utuh setiap bagiannya di produksi oleh berbagai negara lalu disatukan di negara-negara pusat. Pandangan ini punya pengaruh penting dalam memahami bagaimana degradasi sosial dan lingkungan hidup dalam epos produksi global dan perkembangan kehidupan ekonomi dan politik serta institusi negara-negara yang semakin terintegrasi ke dalam pasar global, termasuk Indonesia.

Dalam proses tersebut, sistem produksi nasional mengalami fragmentasi dan terintegrasi secara eksternal ke dalam sirkuit akumulasi baru di bawah sistem pasar yang terglobalisasi (Pontoh, 2020). Namun, penting untuk tidak melihat proses tersebut terjadi secara spontan, sporadis, individual ataupun terjadi secara alamiah sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman. Oleh karena itu, dengan menelisik kembali dimensi historis bagi kemunculannya untuk menemukan apa yang menjadi akar permasalahan dari berbagai momen krisis hari ini.

Konsep Umum Business as Usual: Aktivitas Bisnis dalam Epos Produksi Global

Idiom business as usual atau bisnis seperti biasa merujuk pada corak bisnis yang bekerja ‘seperti biasa’ dengan berorientasi pada pertumbuhan, kepercayaan terhadap mekanisme pasar (self-regulating market), dan pencarian keuntungan bagi pemilik perusahaan. Tetapi istilah ini sering dipandang sebatas ide bisnis yang tidak punya kaitan dengan epos produksi (epoch production) yang berlangsung (Sutami, 2020).

Sangaji (2019) menyebutkan bahwa corak produksi merupakan konsep pokok dalam menggambarkan bagaimana sebuah masyarakat mengorganisasikan dan mereproduksi keberlanjutan dirinya. Secara umum corak produksi terdiri dari dua pengertian; (1) sebagai epos produksi, yakni produksi dalam epos sejarah tertentu, misalnya epos produksi global. (2) sebagai corak kerja, proses kerja, atau bentuk produksi, yakni organisasi kerja berbasis pada syarat-syarat teknikal pada industri tertentu atau cabang produksi tertentu, misalnya pertanian atau manufaktur.

Setiap corak produksi merupakan kombinasi antara dua aspek; tenaga produktif dan hubungan produksi. Ibarat sebuah koin, keduanya adalah dua sisi dari suatu kesatuan/totalitas yang sama sekali tidak terpisah (Sangaji, 2019). Tenaga produktif berhubungan dengan aspek paling mendasar dalam kehidupan manusia, yakni hubungan yang kompleks antara manusia dengan alam, khususnya kemampuan -teknis dan pengetahuan- manusia dalam mengubah alam.

Berdasarkan hal tersebut tenaga produktif pada dasarnya berkaitan dengan (1) tenaga kerja (labour power)-atau kemampuan/kapasitas manusia untuk bekerja-berdasarkan tingkat (kemajuan) keahliannya; (2) alat-alat/teknologi yang digunakan dalam produksi; (3) objek produksi, misalnya bahan baku atau sesuatu yang secara langsung disediakan oleh alam di tempat atau di ruang tertentu. Semua hal tersebut -manusia dengan keahliannya, alat/teknologi, dan objek produksi- diorganisasikan di dalam proses produksi, termasuk pembagian-pembagian kerjanya.

Sedangkan hubungan-hubungan produksi, juga berkenaan dengan penjelasan sebelumnya terkait kapasitas manusia dan tingkat kemajuan pengetahuanya serta teknologi yang digunakannya untuk berinteraksi dengan alam, maka hubungan-hubungan produksi lebih menekankan hubungan antar manusia dalam produksi yang terkait dengan pengoperasian atau penguasaan tenaga-tenaga produktif (Sangaji, 2019).

Callinicos dalam Sangaji (2019) menyatakan bahwa tenaga-tenaga produktif adalah proses kerja, yakni kombinasi teknikal tertentu antara tenaga kerja dan alat-alat produksi dan berlaku secara umum di berbagai epos produksi. Semakin besar tingkat tenaga – tenaga produktif beriringan dengan produktivitas yang tinggi. Bernstein (2019), melalui pendekatan ekonomi-politik memberikan empat pertanyaan kunci dalam melihat hubungan produksi yang sedang berlangsung, yaitu: (1) siapa memilik apa (struktur kepemilikan), (2) siapa melakukan apa (relasi kerja), (3) siapa mendapatkan apa (produksi nilai-lebih), dan (4) digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan (reproduksi).

Dinamika Industri Ekstraktif di Indonesia

Industri ekstraktif mulai berkembang sejak 1980an pada saat pemerintah mulai meliberalisasi perekonomian dengan mengumumkan UU No. 1/1967 tentang penanaman modal asing dalam mendukung aktivitas bisnis dan menggeser orientasi ekonomi-melalui strategi Export Oriented Industry (EOI)-menjadi lebih berorientasi pasar global yang bertopang pada keunggulan komparatif -tenaga kerja dan alam yang melimpah dengan harga yang relatif lebih murah- untuk memasok kebutuhan pasar global. Melalui upaya pembangunan dengan menggunakan strategi EOI membuat struktur perekonomian mengalami perubahan yang pada awalnya didominasi oleh sektor pertanian menuju ke sektor non-primer terutama industri dan jasa yang cenderung lebih padat modal (Pratama, 2022).

Sejak tahun 1980an dan seterusnya, pemerintah mulai meliberalisasi perekonomian dan menggeser orientasi ekonomi-melalui strategi EOI-menjadi lebih berorientasi pasar eksternal. Sejak saat itu, investasi langsung luar negeri memainkan peran kian dominan dalam proses industrialisasi. Strategi yang dilakukan untuk menarik kapital asing, pemerintah memperkenalkan serangkaian kebijakan pro ekspor sementara pada saat bersamaan menghapus berbagai penghalang impor, ketentuan joint venture juga diperlonggar dan memberi ruang lebih besar bagi kapital asing untuk menentukan mana sektor paling efisien yang ingin mereka masuki (Habibi, 2016).

Pada Mei 1994, pemerintah mencabut pembatasan modal asing yang diberlakukan pada 1974 dan mengumumkan kebijakan baru yang memungkinkan 100% kepemilikan oleh perusahaan asing (Habibi, 2016). Melalui hal tersebut, total investasi asing dalam bentuk FDI pun meningkat fantastis dari rata-rata AS$600 juta/tahun pada periode 1985-1990 menjadi rata-rata AS$4 miliar/tahun pada pertengahan 1990an (Habibi, 2016). Tidak aneh jika modal asing akhirnya menjadi tulang punggung industrialisasi pada pertengahan 1980an dan 1990an.

Sejak beberapa dekade terakhir, pola bisnis tersebut telah tumbuh dan berkembang secara drastis dan dalam skala yang besar melalui kerjasama yang dilakukan antar negara-bangsa dalam menghilangkan proteksi yang menghambat berbagai aktivitas bisnis dan untuk mempromosikan pertukaran barang dan jasa secara bebas secara internasional. Bisnis internasional juga telah membagi kerja dunia, yang mana negara-negara maju sebagai negara yang memproduksi produk industri sedangkan negara berkembang berperan sebagai negara pemasok bahan baku atau setengah jadi untuk industri negara maju (Basri, 1992).

Implikasi lain dari bisnis internasional ditandai dengan semakin berkembangnya perusahaan multinasional atau MNC (Multi National Company) di berbagai bidang (manufaktur, transportasi, telekomunikasi, pengolahan makanan, jasa, energi, dll). Oleh, sebab itu perusahaan dalam perekonomian zaman sekarang adalah lebih kepada korporasi monopolistik atau oligopolistik raksasa yang berupa konglomerasi sekaligus perusahaan multinasional (Basri, 1992). Keharusan untuk tumbuh merupakan ciri dasar perusahaan secara individual maupun dalam epos produksi kapitalis-global secara keseluruhan, yang diturunkan dari logika akumulasi kapital.

Perubahan struktur perekonomian tersebut juga diiringi dengan kegagalan dalam menata keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia melalui terbatasnya lapangan kerja di sektor pertanian, ketimpangan akses terhadap tanah, meningkatnya harga input, persaingan yang sengit dari luar negeri, pendapatan yang rendah membuat para petani akhirnya kehilangan insentif untuk melanjutkan kegiatan pertanian. Sedangkan pertumbuhan industri semakin pesat dan membutuhkan lahan yang lebih luas untuk menjalankan aktivitas produksinya. Sejak saat itu, laju deforestasi di Indonesia terus mengalami peningkatan akibat ekspansi besar-besaran perusahaan untuk memperluas skala bisnisnya di sektor migas dan non migas seperti batubara, nikel, biodiosel, perkebunan dan lain-lain yang menuntut pembukaan lebih banyak lagi lahan untuk dikonversi demi mengeruk kekayaan (Habibi, 2016).

Forest Watch Indonesia mencatat laju deforestasi hutan Indonesia pada tahun 1980an mencapai 1 juta ha per tahun kemudian meningkat sekitar 1,7 juta hektar pada awal 1990an dan pada 1996 menjadi 2 juta hektar per tahun dan pada tahun 2013-2019 angka untuk deforestasi dalam konsesi luasnya mencapai 2,81 Juta hektar. Dengan tipe konsesi antara lain; tumpah tindih antar konsesi seluas 787 ribu ha, pertambangan seluas 707 ribu hektar, perkebunan kelapa sawit seluas 586 ribu hektar, hak pengusahaan hutan seluas 400 ribu hektar, dan hutan tanaman industri sebesar 328 ribu hektar. Dari total deforestasi yang terjadi dalam konsesi, wilayah tertinggi adalah Kalimantan seluas 1,47 juta ha, selanjutnya diikuti oleh Sulawesi seluas 413 ribu ha, Sumatera seluas 341 ribu ha, dan papua seluas 320 ribu ha. (Fitriansyah, 2021). Perubahan struktur perekonomian dan pertumbuhan industri yang pesat tersebut, telah menciptakan tantangan besar bagi lingkungan  (Frieler et al, 2013; Candra, 2018).

Problem epistemik; bagaimana mengurai problem degradasi lingkungan?

Saling ketergantungan antara sistem ekonomi dan sistem alam yang memunculkan masalah keberlanjutan akibat degradasi lingkungan, paling baik dijelaskan dalam istilah yang dikenal dalam sejarah ekonomi sebagai paradoks Lauderdale. Lauderdale dalam Foster (2010) berargumen bahwa terdapat korelasi terbalik antara kekayaan publik dan kekayaan pribadi, bahwa peningkatan kekayaan pribadi sering kali mengurangi kekayaan publik.

"Kekayaan publik" tulisnya, "dapat didefinisikan secara akurat, terdiri dari semua yang diinginkan manusia yang berguna atau menyenangkan baginya." Barang-barang tersebut memiliki nilai guna dan dengan demikian merupakan kemakmuran. Tetapi kekayaan pribadi yang berlawanan dengan kemakmuran juga membutuhkan sesuatu yang lain (memiliki batasan tambahan) yang terdiri dari "segala sesuatu yang diinginkan manusia sebagai sesuatu yang berguna atau menyenangkan baginya; yang ada dalam tingkat kelangkaan" (Foster et al, 2010).

Kelangkaan dengan kata lain adalah persyaratan yang diperlukan agar sesuatu memiliki nilai tukar dan untuk menambah kekayaan pribadi. Namun, tidak demikian halnya dengan kekayaan publik, yang mencakup semua nilai yang digunakan dan dengan demikian tidak hanya mencakup apa yang langka tetapi juga apa yang berlimpah. Paradoks ini membuat Lauderdale berargumen bahwa peningkatan kelangkaan pada elemen-elemen kehidupan yang sebelumnya berlimpah namun sangat dibutuhkan seperti udara, air, dan makanan.

 jika nilai tukar dilekatkan pada elemen-elemen tersebut, akan meningkatkan kekayaan pribadi individu dan bahkan kekayaan negara -yang dipahami sebagai jumlah total kekayaan individu- tetapi tentunya dengan mengorbankan kekayaan bersama. Sebagai contoh jika seseorang dapat memonopoli air yang sebelumnya tersedia secara bebas dengan mengenakan biaya pada sumur, maka kekayaan negara yang terukur akan meningkat dengan mengorbankan rasa haus penduduk yang terus meningkat (Foster et al, 2010).

Menurut Foster dalam Clark & York (2005) bahwa dalam melihat degradasi lingkungan yang berlangsung, pentingnya untuk mendekati persoalan lingkungan melalui analisis yang berakar pada metabolisme sistem alam, yang mencakup pertimbangan hubungan antara organisme atau sistem dan lingkungannya, serta materi yang dipertukarkan dalam hubungan ini. Metabolisme -hubungan pertukaran di dalam dan di antara alam dan manusia-, yang merupakan salah satu konsep dalam ekologi, memberikan jalan untuk memahami dimensi kualitatif dan kuantitatif dari kedua hubungan tersebut dan teori keretakan metabolisme berfungsi sebagai pendekatan dalam mengkonseptualisasikan kedua hubungan tersebut, dan juga memberikan dasar dalam menganalisis kenyataan yang berlangsung antara alam dan manusia.

Foster dalam Clark & York (2005), mengilustrasikan bagaimana keretakan metabolisme berlangsung di bawah epos produksi global yang menerangi hubungan masyarakat-alam dan degradasi sosial dan lingkungan dalam beberapa cara; (1) Penurunan kesuburan alamiah tanah akibat terganggunya siklus nutrisi tanah; (2) Perkembangan teknologi, di bawah relasi yang berlangsung pada epos produksi global yang meningkatkan eksploitasi pekerja dan alam melalui proses intensifikasi dan ekstensifikasi produksi; (3) nutrisi yang ditransfer ke kota terakumulasi sebagai limbah dan menjadi masalah pada lingkungan.

Clark & York (2005) memperluas teori keretakan metabolisme ke siklus karbon dan perubahan iklim. Dalam perluasan ini, melalui sifat sifat umum tentang keretakan metabolisme, yang mengacu pada perpecahan ekologis dalam metabolisme suatu sistem, seperti proses dan siklus alami-seperti siklus nutrisi tanah-terganggu. Clark & York (2005) melalui hal tersebut secara spesifik menguraikan bagaimana perubahan iklim yang terjadi, dimana emisi CO2 terakumulasi di atmosfer dan bagaimana pola antropogenik dari pola emisi CO2 saat ini diakibatkan oleh keretakan pada siklus biosfer yang semakin memperdalam keretakan pada siklus karbon dan bukan sesuatu yang disebabkan oleh teknologi yang tidak ramah lingkungan atau tidak diterapkannya ekonomi hijau dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.

Penutup

Negara-negara berkembang seringkali berfokus untuk menciptakan kondisi bisnis yang menarik bagi investor asing dan perusahaan-perusahaan transn/multinasional. Besarnya ketergantungan akan investasi asing membuat negara berkembang lebih rentan terhadap kondisi ekonomi-politik global yang berbeda, yang seringkali mengarah pada konsekuensi negatif bagi penduduk domestik di negara-bangsa yang bergantung pada investasi (Bornschier & Chase-dunn, 1985; Chase-Dunn, 1975; Jorgenson, 2007).

Dalam epos produksi global, perindustrian diidentifikasi sebagai faktor utama di balik pemanasan global, tetapi posisi ini gagal untuk mengakui bahwa perindustrian tertanam dalam sistem ekonomi global tertentu, yang beroperasi melalui aktivitas bisnis seperti biasanya. Dengan memahami kekuatan dan operasi bisnis seperti biasanya ini, sangat penting untuk mendapatkan perspektif tentang bagaimana hubungan sosial industri berfungsi serta bagaimana pertukaran-tenaga kerja dan alam- di bawah epos produksi yang berlangsung berkontribusi terhadap peningkatan emisi yang berdampak pada perubahan iklim global.

Upaya untuk senantiasa memperbesar keuntungan melalui akumulasi modal terlibat dalam proses ekspansi tanpa henti. Bahwa aktivitas bisnis, sebaimana Schumpeter dalam Clark & York (2005) menegaskan bahwa bisnis yang tidak bergerak adalah sebuah contradiction in adjecto. Upaya untuk memperbesar keuntungan, sebagaimana Sweezy dalam Clark & York (2005), dengan mengadopsi metode dan distribusi yang baru dalam memperbesar keuntungan dan membuang metode dan distribusi yang lama yang mampu menghambat proses akumulasi modal.

Dorongan untuk akumulasi modal membuat tiap perusahaan secara berkelanjutan harus menemukan wilayah-willayah yang memungkinkan untuk menjalankan aktivitas produksinya dan menciptakan iklim yang stabil untuk menjalankan aktivitasnya. Aktivitas bisnis mesti tumbuh dengan memperbesar keuntungan, meningkatkan daya produktif dan juga skala produksi komoditas melalui perkembangan teknologi, maju ke tahap dan skala di mana eksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam membutuhkan energi yang lebih besar dalam menjalanka operasinya.

Studi yang umum dilakukan hanya mencatat bahwa masyarakat manusia telah berkontribusi terhadap akumulasi CO2, yang dapat menyebabkan perubahan iklim global. Namun, dengan memahami logika kapital dan perkembangannya, penulis mempertimbangkan bagaimana sistem sosial seperti itu berhadapan dengan sistem alam dan memengaruhi kemampuannya untuk menopang kehidupan manusia.

Dalam mempelajari perubahan iklim, keretakan metabolisme pada siklus biosfer telah menciptakan dan memperluas keretakan dalam siklus karbon yang menyebabkan perubahan iklim. Sehingga untuk menemukan apa yang menjadi akar dari persoalan krisis sosial dan lingkungan mesti ditinjau bagaimana metabolisme yang berlangsung pada siklus biosfer dan siklus karbon secara khusus di bawah epos produksi global sebagai bagian dari kekuatan utama yang berlangsung dalam mengatur metabolisme sosial.

Di bawah epos produksi yang dominan ini, melalui dorongan tanpa henti untuk berinvestasi dan mengumpulkan kekayaan -justru menciptakan krisis ekonomi dan lingkungan- yang tidak pernah berakhir (Magdoff, 2002). Oleh sebab itu, akumulasi kapital di kalangan elit ekonomi dan bagaimana kerusakan lingkungan yang sedang berlangsung berkontribusi pada perubahan iklim, serta bagaimana kondisi struktural di bawah cengkeraman kekuatan bisnis yang ada saat ini membatasi manfaat ekologis dari perkembangan teknologi sehingga alam yang seharusnya menjadi ruang penyangga kehidupan manusia dibawah pola aktivitas bisnis yang terus berjalan seperti biasanya ini, telah berubah menjadi ancaman dan kekhawatiran yang menimbulkan berbagai kerusakan dan kerugian bagi kehidupan manusia.

#LombaArtikelJATAMIndonesia

#LombaArtikelJATAMIndonesia

#LombaArtikelJATAMIndonesia

 

DAFTAR PUSTAKA

Angus, Ian. 2019. Capitalism Versus The Global Carbon Cycle. Climate&Capitalism.

Anugrah, Iqra. 2019. Persoalan Agraria dan Demokrasi di Indonesia. Jurnal Prisma Vol 38. Depak. LP3ES.

Arsyad, Lincoln. Detajanna, Arya. 1997. Pola Pengembangan Industri Manufaktur di Indonesia, 1976-1993. Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB).

Basri, H. Faisal. 1992. Perkembangan Terbaru Teori Perdagangan Internasional. Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol 40, No 3. Hal 220.

Bernstein, Henry. 2019. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Yogjakarta: INSIST Press.

Brett, Clark. York, Richard. 2005. Carbon Metabolism: Global Capitalism, Climate Change, and The Biosphoric Rift. Springer: Theory and Society.

Clausen, Rebecca. Clark, Brett & Longo, B. Stefano. 2015. Metabolic Rift and Restoration: Agricultural Crises and The Potential of Cuba’s Organic. Pluto Journal: World Review of Political Economy.

Fitriansyah, M Nur. 16 Februari 2021. Perubahan Iklim dan Bisnis Seperti Biasa. (Perubahan Iklim dan Bisnis Seperti Biasa (detik.com), diakses 3 Februari 2023).

Foster, B. John. 1997. The Crisis of The Earth: Marx's Theory of Ecological Sustainability as A Nature-imposed Necessity for Human Production. Sagepub: Organization & Environment.

Foster, B. John. Clark, B. & York, R. 2011. The Ecological Rift: Capitalism’s War on The Earth. New York. Monthly Review Press.

Foster, B. John. Clark, B. 2020. The Robbery of Nature: Capitalism and The Ecological Rift. Monthly Review Press.

Habibi, Muhtar. 2016. Suplus Pekerja di Pinggiran Indonesia: Relasi kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia Sejak 1980an. Marjin Kiri.

Jorgenson, K. Andrew. 2007. Does Foreign Investment Harm The Air We Breath and The Water We Drink? A Cross-National Study of Carbon Dioxide Emissions and Organic Water Pollution in Less Developed Countries, 1975 to 2000. Sagepub: Organization and Environment.

Jorgenson, K. Andrew. 2010. World-Economic Integration, Supply Depots, and Environmental Degradation: A Study of Ecologically Unequal Exchange, Foreign Investment Dependence, and Deforestation in Less Developed Countries. Sagepub: Critical Sociology.

Jorgenson, K. Andrew. Austin, Kelly & Dick, Cristopher. 2009. Ecologically Unequal Exchange and The Resource Consumption/Environmental Degradation Paradox: A Panel Study of Less Developed Countries 1970-2000. Internasional Journal of Comparative Study.

Jorgenson, K. Andrew. Clark, Brett. 2010. Assesing The Temporal Stability of The Population/Environtment Relationship in Comparative Perspective A Cross-National Panel Study of Carbon Dioxide Emission, 1960-2015. Springer: Population and Environtment.

Kartawinata, Budi Rustandi, et al. 2010. Bisnis Internasional. PT Karya Manunggal Lithomas.

Longo, Stefano. York, Richard. 2008. Agricultural Export and The Environtment: A Cross-National Study of Fertilizer and Pesticide Consumption. Journal of Rural Sociology Theory.

Magdoff, Fred. 2002. Capitalism’s Twin Crises: Economic and Environmental. Monthly Review, 54(4), 1-6.

Magdoff, Fred. Foster, B. John. 2018. Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. Terjemahan oleh Pius Ginting. Marjin Kiri.

Perman, Roger, et al. 2003. Natural Resource and Environtmental Economics. Pearson Education Third Edition.

Pontoh, H. Coen. 2020. Poliarki Sebagai Instrumen Politik Oligarki; Telaah Atas Pemikiran William I. Robinson. Dalam Coen Husain Pontoh & Abdil Mughis Mudhoffir (eds.) Oligarki: Teori dan Kritik. Marjin Kiri.

Sangaji, Arianto. 2019. Transisi dari Feodalisme ke Kapitalisme. Buku Saku IndoPROGRESS No 23.

Sutami. 2020. Tinjauan Kritis Atas Konsep Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Islam. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.

York, Richard. Rosa, A. Eugene. Dietz, Thomas. 2003. A Rift in Modernity? Assesing The Antrhopogenic Source Of Global Climate Change With The STIRPAT Model. International Journal of Sociology and Social Policy, Vol 23.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik muh yassin hamdallah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler