x

Gambar oleh jplenio dari Pixabay

Iklan

Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Jumat, 26 Mei 2023 13:00 WIB

Permasalahan Deforestasi di Indonesia dan Perkembangan Sejarah Reboisasi Hutan menurut Peraturan Undang-Undang Kehutanan

Faktor pendorong deforestasi dan degradasi lahan menjadi semakin kompleks dan mencakup berbagai aspek. Ada dua macam faktor pendorong yang menyebabkan deforestasi, yaitu faktor pendorong secara langsung dan faktor pendorong tidak langsung. Penyebab langsung adalah kegiatan penebangan hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan yang tidak dapat dikendalikan dan sering terjadi, terutama pada musim kemarau yang panjang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perubahan yang dinamis dalam pengelolaan hutan berdampak pada deforestasi dan degradasi lahan, serta program rehabilitasi terkait yang dilaksanakan pada masa lalu dan masa sekarang ini. Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia selama lima puluh tahun terakhir termasuk dalam empat periode utama dengan prioritasnya masing-masing. Selama tahun 1950-an hingga tahun 1975 perhatian utama tertuju pada perluasan pertanian, sedangkan penerbitan ijin hak pengusahaan hutan menjadi prioritas utama dari tahun 1975 sampai tahun 1990- an, sementara awal tahun 1990-an hingga 1997 terfokus pada pengelolaan hutan di luar kawasan hutan.
 
Pada periode terakhir dari tahun 1998 sampai sekarang, Indonesia mengalami perubahan besar di bidang politik dengan pergantian dari Orde Baru ke Era Reformasi. Perubahan dalam kebijakan pengelolaan hutan selalu sejalan dengan tujuan perbaikan kondisi perekonomian nasional. Perubahan yang dinamis tersebut juga berdampak pada peningkatan laju deforestasi, pada aspek ekologi dan penghidupan masyarakat, dan pada program rehabilitasi yang dilaksanakan pada masa lalu dan masa sekarang ini.
 
Faktor pendorong deforestasi dan degradasi lahan menjadi semakin kompleks dan mencakup berbagai aspek. Ada dua macam faktor pendorong yang menyebabkan deforestasi, yaitu faktor pendorong secara langsung dan faktor pendorong tidak langsung. Penyebab langsung adalah kegiatan penebangan hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan yang tidak dapat dikendalikan dan sering terjadi, terutama pada musim kemarau yang panjang.
 
Penyebab tidak langsung, antara lain, adalah kegagalan pasar (misalnya penetapan harga kayu yang terlalu rendah), kegagalan kebijakan (misalnya pemberian ijin HPH selama 20 tahun yang tidak menjadi insentif untuk melakukan penanaman pengkayaan), serta persoalan sosial-ekonomi dan politik lainnya secara umum.
 
Sejak pertengahan tahun 1990-an hingga sekarang, selain dari kebakaran hutan yang terus terjadi, dan kesalahan dalam pengelolaan areal konsesi hutan, masalah yang kompleks lainnya termasuk periode transisi dari sistem pemerintahan yang sentralistik ke sistem desentralistik, konversi hutan untuk penggunaan lain (misalnya perkebunan kelapa sawit), penebangan liar, dan perambahan hutan secara besar-besaran, biasanya dengan tujuan konversi hutan, terutama untuk pengembangan pertanian dan perkebunan.
 
Kebijakan dan Program di masa lalu dan sekarang yang mempengaruhi rehabilitasi Hutan
 
Dari tahun 1950-an sampai tahun 1970-an pendekatan yang digunakan dalam kebijakan rehabilitasi hutan umumnya bersifat top-down, yang kemudian menjelang akhir tahun 1990-an secara konseptual menjadi lebih partisipatif. Antara tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an, kegiatan rehabilitasi berada dalam masa transisi. Rehabilitasi mulai dikelola secara intensif setelah Departemen Kehutanan menjadi departemen yang independen pada tahun 1983 (dipisahkan dari Departemen Pertanian). Pemerintah membagi usaha rehabilitasi ke dalam dua kategori, yaitu reboisasi di dalam kawasan hutan dan penghijauan di lahan masyarakat di luar kawasan hutan. Sejak Reformasi pada tahun 1998, pergeseran dari pengelolaan hutan yang berbasis perusahaan dan berskala besar menjadi pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berskala lebih kecil mulai mendapatkan momentum.
 
Sistem klasifikasi lahan hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), yang disusun pada tahun 1984, bertujuan agar rehabilitasi di dalam kawasan hutan menjadi lebih tepat sasaran, namun, konflik batas wilayah telah menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Pada tahun 1990, TGHK ditumpangtindihkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). Kedua hal tersebut menjadi dasar dalam perencanaan dan pengendalian pengembangan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan. Dengan mengurangi tingkat konversi hutan alam, diharapkan bahwa dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalkan.
 
Pengembangan HTI dengan tujuan merehabilitasi areal bekas penebangan menyebabkan degradasi dan luas wilayah untuk direhabilitasi semakin bertambah. Pada tahun 1988, pengembangan HTI yang menggunakan jenis tanaman cepat tumbuh berotasi pendek menjadi pendekatan utama dalam program rehabilitasi. Namun, tingkat keberhasilannya sangat kecil, dan program tersebut bahkan mengakibatkan degradasi hutan yang lebih luas lagi. Tingkat realisasi penanaman HTI sangat rendah dan pendekatan tersebut ternyata sama sekali tidak tepat untuk merehabilitasi areal bekas penebangan. Sebagian besar perusahaan memperoleh HTI bukan untuk mengembangkan hutan, melainkan untuk menebang habis tegakan hutan yang masih tersisa. Setelah ditebang, pengelolaan areal tersebut tidak dilanjutkan.
 
Kebijakan yang mengakibatkan resiko lebih tinggi karena areal bekas penebangan menjadi‘tanah tidak bertuan: Ketidakjelasan status hutan di areal konsesi yang dibatalkan. Guna memastikan supaya para pemegang HPH mematuhi prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan, mereka terikat dalam kontrak untuk menjalankan sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI) yang diperkenalkan pada tahun 1989 dan menggantikan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI). TPTI kemudian diganti lagi dengan sistem Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) untuk hutan dataran rendah. Para pemegang HPH diwajibkan untuk melakukan reboisasi dan regenerasi secara komprehensif. Namun, karena kurangnya pengawasan, dan tidak konsistennya penerapan aturan yang ada, maka banyak HPH yang dicabut hak konsesinya, sehingga banyak areal bekas penebangan menjadi tanah tidak bertuan dan areal hutan terdegradasi bertambah luas.
 
Areal hutan dengan tingkat degradasi yang sangat parah seringkali merupakan akibat dari kebijakan yang tidak konsisten, seperti yang terjadi pada kasus program rehabilitasi yang diserahkan pada badan usaha milik negara. Hal ini tercermin pada pembatalan kebijakan program rehabilitasi yang diserahkan kepada badan usaha milik negara (Inhutani I-V). Setelah baru berjalan selama tiga tahun, program tersebut ditangguhkan tanpa kelanjutan yang jelas. Departemen Kehutanan kemudian menyerahkan sekitar 5,5 juta ha lahan bekas penebangan kepada pemerintah propinsi tanpa disertai alokasi anggaran. Sebagai akibat dari kurangnya dana dan sumberdaya manusia, maka areal tersebut cepat menjadi tidak bertuan dan rawan penebangan liar.
 
Kegiatan rehabilitasi pada tingkat nasional setelah Era Reformasi. Sejak tahun 1999, program rehabilitasi yang dilaksanakan di bawah kebijakan otonomi daerah dihadapkan pada tekanan yang lebih berat terhadap areal dan hutan yang telah direhabilitasi, misalnya perambahan hutan. Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP RHL) dikembangkan pada tahun 2000 dan digunakan sebagai dasar perencanaan. Pada tahun 2003, Dephut mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) untuk menanggapi perlunya rehabilitasi atas wilayah terdegradasi yang bertambah luas.
 
Pendanaan GN-RHL/Gerhan berasal dari bagian DR pemerintah pusat. Namun, prosedur pengajuan dana untuk kegiatan rehabilitasi setiap tahun cukup rumit. Rencana kerja yang disusun oleh Departemen Kehutanan untuk program ini harus dibahas dalam serangkaian pertemuan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Departemen Keuangan. Keseluruhan proses tersebut memakan waktu sekitar satu tahun, sehingga tenggang waktu antara realisasi anggaran dan pelaksanaan menjadi terlalu singkat untuk melakukan persiapan yang memadai.
 
Pengelolaan Dana Reboisasi. Peraturan pemerintah yang berlaku mengenai Dana Reboisasi (DR) adalah PP No. 35 yang ditetapkan pada tahun 2002 untuk menggantikan PP No. 6/1999. Peraturan tersebut menetapkan bahwa empat puluh persen dari DR dialokasikan kembali kepada propinsi yang telah menyumbang pada Dana Reboisasi pemerintah pusat (disebut propinsi penghasil). Program yang ditetapkan di bawah sistem pendanaan ini disebut Dana Alokasi Khusus atau Dana Reboisasi (DAK-DR). Program tersebut telah berjalan sejak tahun 2001 di bawah koordinasi pemerintah kabupaten. Tujuan program tersebut adalah: memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dengan menyediakan bantuan untuk merancang kegiatan, mengembangkan kelembagaan masyarakat dan menyediakan bantuan teknis dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan. Data mengenai realisasi luas wilayah yang telah direhabilitasi melalui program ini tidak tercatat dengan baik.
 
Sumber Referensi
 
Ditjen RLPS (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Perhutanan Sosial). 2003. Rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial: Dari masa ke masa. Departemen Kehutanan. Jakarta.
 
Mursidin, Priyo, T., Achlil, R., Yuliarsana, N., Soewondho, Wartam, Basuki, B. dan Sudarto (Ed). 1997. 35 tahun penghijauan di Indonesia. Presidium Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi LahanDepartemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. Jakarta.

Ikuti tulisan menarik Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler