x

Iklan

Raymizard Alifian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 10:35 WIB

Industri Ekstraktif: Topeng Baru Kolonialisme

Artikel ini berfokus pada siklus kolonialitas dalam industri ekstraktif di Indonesia. Serta, bagaimana kolonialisme bersembunyi dibalik industri ekstraktif dewasa ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Telah lama kepulauan Indonesia menyandang gelar “tanah surga yang dijanjikan”. Gelar yang membuat dilema, apakah ini anugerah ataukah musibah. Kekayaan yang dikandungnya, baik di bawah maupun di atas tanahnya, selalu berhasil memunculkan hasrat menguasai. Dari apa yang si Eropa lakukan, mulai dari pembantaian hingga eksploitasi perkebunan, mitos soal “tanah surga” seakan hanya bualan kolonial untuknya menjadi kaya.

Mitos “tanah surga yang dijanjikan” memang kausalitas dari logika mesianistik, sebagai dalih untuk melakukan aktivitas eksploitasi di tanah jajahannya. Aktivitas pertambangan emas hitam berupa rempah nyatanya meminggirkan masyarakat ulayat yang sebelumnya berdagang secara egaliter. Masyarakat yang semula hidup dari aktivitas perdagangan rempah, secara bertahap tidak memiliki hak apapun atas tanahnya sendiri.

Secara historis memang kolonialisme mulanya datang untuk mencari kekayaan hayati berupa rempah dan perkebunan. Seiring berjalannya waktu dan merebaknya Revolusi Industri di Eropa, rupanya berdampak pada negeri jajahan. Pemerintah kolonial yang semula hanya fokus pada komoditas hayati, dari sini bergeser pada sektor pertambangan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan banyak regulasinya, pemerintah kolonial melakukan monopoli-monopoli sistemik. Jika pada mulanya mereka melakukan monopoli politik perdagangan rempah, seiring munculnya sektor pertambangan, mereka memonopoli industri pertambangan. Motif ini selalu saja sama bahkan menjadi siklus kolonialitas, penyingkiran demi penyingkiran dilakukan tidak hanya kepada masyarakat ulayat namun juga pada lingkungan yang ingin di eksploitasi. Pada akhirnya masyarakat ulayat menjadi penonton pasif di tanahnya sendiri. 

Lain ladang, lain belalang, motif mitos “tanah yang dijanjikan” terus saja direproduksi hingga menjadi topeng baru kolonialisme dewasa ini. Ibarat bangunan, kolonialisme lama yang telah runtuh, digantikan oleh bangunan baru yang lebih kokoh dan modern. Jika kolonialisme lama menampakkan aktivitas eksploitasinya, kini topeng baru kolonialisme disembunyikan dibalik dalih kesejahteraan ekonomi, kemaslahatan bersama, dan kepentingan negara.

 

Topeng Baru Kolonialisme

 

Kedatangan bangsa Eropa di Kepulauan Indonesia dapat diidentifikasi sebagai praktik kolonialisme lama. Sejak awal mula kedatangannya, upaya monopoli dagang dan eksploitasi dilakukan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan kolonialisme membuat semua cara dilakukan, tidak terkecuali perusakan lingkungan dan pengekangan struktural. Hal ini berdampak pada pandangan masyarakat lokal tentang kehidupan, cara pandang, hingga pola berpikir. 

Pada atmosfer kolonial, tentunya membentuk semacam relasi penjajah-terjajah. Penjajah yang merasa dirinya superior, merasa memiliki tanggung jawab untuk memberadabkan tanah dan masyarakat jajahannya. Hal ini berlaku terhadap bagaimana tanah jajahan dieksploitasi dengan melakukan aktivitas pertambangan, yang notabenenya tidak dapat dilakukan secara masif oleh masyarakat terjajah. Superioritas ini membuahkan hasrat untuk melihat tanah jajahannya sebagai terra incognita (wilayah tak bertuan/dikenal). Oleh sebab itu, tidak heran jika aktivitas eksploitasi sering kali tidak memerlukan izin dari masyarakat lokal.

Pasca Perang Dunia Kedua, banyak bangsa-bangsa jajahan yang merdeka, tak terkecuali Indonesia. Sebagai negara pasca kolonial yang baru merdeka, Indonesia banyak belajar dari penjajahnya. Terutama pada memberlakukan sumber daya alam. Ditambah, efek domino Perang Dingin berdampak pada kebijakan politik soal perizinan pertambangan di Indonesia. Ombak kapitalisme Asia turut mendukung pemerintah untuk membangun infrastruktur berupa jalan tol. Cepatnya laju industri kian membutuhkan sumber daya untuk menggerakkan roda produksinya. 

Kala sentralisasi pembangunan masif di Jawa pada masa Orde Baru. Tak pelak, yang tampak di pelupuk mata hamparan hutan tropis tak tersentuh nan kaya sumber daya alam di daerah-daerah luar pulau Jawa, menjadi objek bagi mereka yang sedang cari untung. Adapun manusia yang hidup di gugusan kepulauan Indonesia, nyaris tak mendapat perhatian. 

Sama seperti ratusan tahun sebelumnya, la nueva conquistadores (para penakluk baru) merasa menemukan la nueva terra yang tak berpenghuni, suatu terra incognita, yang dapat dijarah habis-habisan. Kalaupun memang berpenghuni, mereka hanya hama pengganggu kepentingan, meski mereka menghuni ratusan tahun sebelumnya,. Sama seperti kala kolonialisme Eropa, penduduk setempat tidak akan mungkin mampu menghadapi kekuatan politik dan militer modern di belakangnya. Dan kalaupun kemudian la nueva conquistadores menilai bahwa penduduk setempat potensial, tidak lain sebagai sumber tenaga kerja murah!

Kolonialitas membentuk siklus kolonialisme, siklus ini membuat kolonialisme melampaui batas-batas temporal masa kini dan masa lalu. La nueva conquistadores sebagai bagian dari siklus kolonialitas mereproduksi kekerasan struktural serupa dengan pendahulunya. Siklus yang telah berjalan sejak abad 16 hingga saat ini juga dapat dibaca sebagai proses penyingkiran (periferalisasi). Proses penyingkiran ini didukung oleh kebijakan yang mengizinkan aktivitas eksploitasi oleh perusahaan tambang, baik negeri maupun swasta.

Pada masa kolonial Eropa, lewat UU Pertambangan Mijn Reglement tahun 1850, Kolonial Belanda berhak menguasai dan mengatur bahan mineral untuk kepentingan kolonial. Lewat Agrarische Wet tahun 1870, Perusahaan-perusahaan swasta Belanda diizinkan untuk melakukan pertambangan. Pemodal sebagai aparatus kuasa kolonial membangun kerajaan industri ekstraktifnya. Aktivitas penggusuran masyarakat lokal dan pembebasan lahan menjadi suatu hal yang lumrah. 

Tidak jauh berbeda dengan masa kolonial Eropa, bentuk baru penjajahan  tetap mengikuti siklus kuasa dari era kolonial. Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1967, negara memberi izin pada perusahaan asing untuk membangun imperium industri ekstraktifnya. Masuknya modal asing di Kepulauan Indonesia memang bukan hal baru, seperti halnya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), perusahaan asing bebas mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Jika pada abad 17 VOC dan penguasa lokal membabat habis hutan di Kepulauan Seram, di paruh akhir abad 20, perusahaan di balik regulasi mengeruk gunung untuk mencari emas. 

Pasca reformasi, harapan akan kepastian hukum pertambangan menemui jalan buntu. Disahkannya UU No.4 tahun 2009 (UU Minerba) tentang aturan perizinan pertambangan tidak menyelesaikan masalah hukum pertambangan di daerah. Alih-alih menerapkan hukum adat untuk menyelesaikan masalah tambang di kawasan hutan adat, represi terhadap masyarakat ulayat terus saja berlangsung hingga dewasa ini. Seperti bayi yang baru belajar berjalan, rupanya pemerintah melihat hukum adat sebagai “ketertinggalan”, hal yang terlampau kuno untuk dijadikan dasar hukum. 

Seperti yang terjadi di Maluku pinggiran, sudah ada sejak masa kolonial terutama saat Ekspedisi Hongi dimana JP Coen membakar puluhan ribu cengkih di Seram. Dewasa ini kerusakan alam di Maluku semakin tinggi dengan adanya pembabatan hutan adat untuk menambang emas seperti yang terjadi di Seram yang berpotensi kerusakan lingkungan. Problem pertambangan ini seharusnya bisa diselesaikan dengan pemulihan hak-hak ulayat. Permasalahan lingkungan hidup di Maluku pinggiran terutama dalam konteks laut pembalakan hutan dan pertambangan menjadi sangat sentral. Belum lagi jika melihat tantangan untuk menjaga lingkungan hidup kedepannya, terutama setelah kawasan Blok Masela.

Blok Masela yang merupakan kilang gas alam (LNG) dianggap merupakan salah satu sumber daya alam bagi industri gas yang sangat besar potensinya secara perekonomian. Hal ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan karena letak Blok Masela yang berada dalam kawasan Maluku Pinggiran, secara ekologis tentu aktivitas industri gas ini akan berdampak langsung bagi masyarakat Maluku Pinggiran dan lingkungan hidup. Kasus serupa terjadi di Maluku Tengah tepatnya di hutan adat milik Suku Sabuai, Seram Bagian Timur. Pembalakan liar yang dilakukan oleh CV. SBM mengakibatkan kerusakan dan bencana alam berupa banjir. Pembalakan ini dilakukan dengan dalih pembukaan lahan untuk perkebunan pala. Kasus ini berujung kepada divonisnya dua warga dengan hukuman percobaan. Disini pada akhirnya kekuatan dominan berkuasa atas ulayat yang berarti bebas mengeksploitasi. Padahal pembalakan liar sangat bertentangan dengan norma adat Suku Sabuai yang menganggap pohon adalah pelindung kehidupan.

Selain Blok Masela, eksplorasi minyak dan mineral lain masih dilakukan di perairan Laut Arafura dan Laut Banda; eksplorasi mangaan di Pulau Doi; eksplorasi belerang di Pulau-pulau TNS (Teun, Nila, dan Serua); eksplorasi emas dan tembaga di Pulau Lease; dan eksplorasi nikel di Pulau Gebe. Beda waktu, sama ruang, jika dahulu kepulauan ini terus direpresi oleh kebijakan VOC lewat Pelayaran Hongi, kini kepulauan ini mendapat represi serupa lewat industri ekstraktif. Jika membicarakan dampak kelaparan, dahulu masyarakat Hoamoal di Seram mengalami kelaparan akibat pembebasan lahan cengkih, kini Suku Mause Ane  kelaparan akibat pembebasan lahan pertambangan. 

Masifnya pertambangan dilakukan pada wilayah-wilayah pinggiran yang berjarak dari pusat kekuasaan. Pasca disahkannya regulasi mengenai penanaman modal asing di tahun 1967, PT. Freeport didirikan untuk mengeruk gunung-gunung emas di Papua. Investasi senilai miliaran dolar untuk pertambangan bawah tanah, namun masyarakat sekitar hanya diberi uang kompensasi berlumuran limbah tambang yang tidak diurus dengan baik.

Seperti halnya di Papua, hal serupa terjadi di Kalimantan, Sumatera, atau bahkan Jawa pinggiran. Topeng baru kolonialisme terus akan bekerja, mereka akan terus mencari topeng-topeng baru untuk menyembunyikan kedoknya. Baru-baru ini, kolonialisme baru bersembunyi dalam konsep ramah lingkungan yang sebetulnya tidak ramah. Wacana sesat kendaraan listrik memang mengundang antusias. Namun, relasi kuasa pengetahuan akan energi ramah lingkungan seperti disetir. Tak banyak yang menyangka, dari setiap kendaraan listrik yang diproduksi, akan banyak tambang-tambang nikel baru. 

Industri ekstraktif dewasa ini dapat diartikan sebagai bagian dari kolonialisme baru. Siklus kuasa kolonialitas yang lahir pasca runtuhnya kolonialisme lama dan pasca Perang Dingin, membuat kegiatan industrial yang semua terpusat pada imperium, seketika menyebar di seluruh pinggiran imperium. Provinsialisasi Negara Dunia Ketiga juga menjadi faktor tumbuh berkembangnya industri ekstraktif ini. Sikap dan tindakan sebuah negara bangsa disini menjadi sentral, dalam menciptakan suatu regulasi atau bahkan mengadvokasi penyintas tambang. Namun nyatanya, si pembuat regulasi lebih memilih tutup mata dan membuka tangan untuk industri ekstraktif. Baik la conquistadores dan la nueva conquistadores, selalu menyembunyikan kedok kolonialismenya di balik kesejahteraan bersama.

Ikuti tulisan menarik Raymizard Alifian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler