x

Iklan

Diki Rafiqi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 10:37 WIB

Energi atau energi?

kata Energi yang sering dipakai saat ini diawali dengan huruf kapital artinya termodinamika hanya sebatas infrasturktur demi memenuhi hasrat umat manusia (kapitalis). Jika transisi energi itu sendiri memakai pendekatan kata energi dengan huruf kecil pada awalnya, maka sumber energi akan dikembalikan kepada kearifan lokal yang ada. Sumber-sumber energi sebenarnya sudah tersedia di muka bumi ini, sayangnya pengetahuan soal energi berbasis kearifan lokal dibunuh dari segala lini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini saya awali dengan teori Edward Lorenz terkait butterfly effect ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Dimana perubahan kecil pada satu keadaan yang tidak linear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Bagaimana perubahan yang terjadi dengan keadaan yang linear?

Menarik teori butterfly effect dalam melihat kerusakan sosial ekologis tentunya sangat relevan. Dimana kerusakan disuatu wilayah tidak hanya akan berdampak kepada wilayah itu saja, tapi akan berdampak kepada wilayah lain. Apalagi, dihari-hari ini Indonesia walaupun sudah merdeka pada tahun 1945 lalu, tapi itunya hanya kemerdekaan fomal. Sejatinya bangsa yang besar ini masih belum bisa melepas jeratan dari namanya kolonialisme.

Negara-negara utara terus mengempur kekayaan alam di Indonesia dengan model investasi kolonial. Arah kebijakan dan anggaran publik dikontrol melalui instrumen utang luar negeri yang melahirkan ketergantungan sepanjang masa (Marut dkk:2015). Ironisnya kebijakan-kebijakan yang dihasilkan ini kata orang Minangkabau “Rancak dari labuah” atau bagus dari luar saja, akan tetapi didalam hancur atau menyengsarakan. Rakyat hanya di iming-imingi dengan kesejaterahan, tapi dibalik itu penghisapan atau perbudakan sedang berlangsung. Sedangkan masyarakat asli dikorbankan dengan namanya investasi hijau, zero carbon dan semacamnya yang terlihat akan menyelamatkan bumi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Isu transisi Energi sebagai contoh busuk para kapitalis-kapitalis mengakali dan membodohi umat manusia. Instrumen-instrumen internasional diciptakan demi angan menyelamatkan bumi. Lembaga keuangan dihadirkan untuk menyukseskan proyek yang katanya ramah lingkungan. Negara-negara dipaksa masuk dalam perangkap neokolonialisme. Dilain sisi, aktivis dan lembaga dipaksa mengemis demi mengepulnya dapur-dapur pembakaran.

Membahas isu transisi Energi tak lepas dari perbincangan global terkait net zero emission. Dalam pengertian sederhananya net zero emission merupakan gas rumah kaca yang lepas ke udara akibat manusia (industri) mesti setimpal dengan apa yang diserap oleh ekosistem bumi. Dalam kondisi kekinian tentunya gas rumah kaca yang dihasilkan oleh umat manusia sudah tidak seimbang lagi dengan apa yang diserap oleh ekosistem bumi. Tapi sebelum lanjut penulis sebenarnya kurang sepakat menitikberatkan kondisi ini kepada ulah manusia secara umum. Tapi yang pantas dipersalahkan adalah para kapitalis serakah. Karena industri-industrinya permasalahan ini bermula.

Konsep net zero emission sebenarnya sudah bermasalah sejak awal. Dimana pengrusakan yang dilakukan disuatu wilayah dapat dimaafkan jika bisa menyelamatkan daerah lain. Hal ini serupa dengan perumpamaan yang selalu di ceritakan oleh teman belajar penulis, pada kesimpulannya “Jika kita membunuh ibu teman, maka akan termaafkan jika kita menggantinya dengan merawat ibu orang lain”. Tentunya penderitaan secara batin kehilangan ibu tidak akan bisa dimaafkan walaupun diganti dengan bentuk lain. Begitupun dengan penderitaan batin dirasakan oleh masyarakat yang berada di wilayah terjadinya pengrusakan.

Salah satu upaya untuk mencapai net zero emission dimuka bumi ini, maka dikeluarkanlah rekomendasi untuk transisi Energi dari Energi kotor ke bersih katanya. Hal ini dilakukan agar emisi yang dikeluarkan dari sumber Energi yang selama ini banyak menghasilkan karbon dapat ditekan. Tapi Energi apa yang bersih? Surya? Gothermal? Angin?.

Sebelum masuk membahas apakah energi yang bersih, layaknya kita melacak kata energi terlebih dahulu. Kata energi berasal dari Aristoteles (384–322 SM). ἐνέργεια (energeia) meletakkan dasar untuk energia dari bahasa Latin, énergie di Prancis (pertama digunakan pada abad keenam belas), dan energi di Inggris (juga berasal dari pada akhir abad keenam belas). Energeia adalah kombinasi dari bahasa Yunani (en) yang berarti "di dalam" dan (ergon) artinya "bekerja". Sebelum abad kesembilan belas, referensi untuk energi memiliki sedikit kemiripan dengan inkarnasi masa depannya sebagai satu unit termodinamika, dengan satu pengecualian: kerja. Aristoteles menggunakan energeia sebagai cara untuk berbicara tentang kebahagiaan dan kebaikan; untuk Aristotle, kebaikan adalah proyek dinamis yang berkelanjutan (sedang bekerja, energeia), bukan prestasi statis (Dagget:2019). Artinya energi bagi pada awalnya diartikan untuk mencapai kebaikan bukan untuk menyengsarakan, meminggirkan, dan mendiskriminasi.

 

Energi apa yang bersih? Seluruh opsi diatas sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan. Baik angin, geothermal, dan surya seluruh melakukan pembongkaran. Proses mendapatkan energi dari pilihan diatas semuanya meninggalkan jejak pembokaran yang berdampak kepada masyarakat asli terkhusus perempuan dan disabilitas.

Seperti contoh di kepulauan Maluku, kurang lebih terdapat 120 Izin usaha Pertambangan (IUP) yang didominasi oleh nikel. Hampir seluruh wilayah Kepulauan Maluku dipenuhi oleh pembongkaran. Tapi dibalik itu semua, proyek ini diceritakan dengan elegan oleh jajaran birokrat kepada rakyat Indonesia. Dalih transisi energi dan kendaraan listrik dikampanyekan untuk menutupi kebobrokan yang ada di Kepulauan Maluku.

Selain itu, Energi yang berasal dari geothermal juga menghasilkan berdampak buruk kepada lingkungan. Di Mataloko, PLTP yang dibangun menghasilkan bencana besar kepada masyarakat asli. Penulis disaat itu melihat langsung ladang-ladang yang dahulunya subur sudah menjadi kolam lumpur panas. Atap-atap rumah menjadi korosi. Pengeluaran masyarakat membengkak. Sedangkan listrik tak kunjung didapatkan.

Proyek PLTP Gunung Talang yang disponsori oleh perusahaan Hitay Daya Energi yang berasal dari Turki tak bedanya dengan PLTP Matoloko. Di Gunung Talang, hak masyarakat asli di rampas demi menyukseskan proyek tersebut. Segala cara untuk merampas dilakukan oleh negara. Dari aturan hingga aparat diturunkan untuk mengintimidasi menghilangkan hak masyarakat asli. Penolakan demi penolakan yang dilakukan masyarakat hanya sebatas buih bagi negara ini. Pejabat negara ini hanya membutuhkan dua buah koin untuk menutup telinga dari penolakan masyarakat.

Dari persoalan diatas sebenarnya persoalannya kita mesti kembali kepada dasar. Dimana mengembalikan definisi kembali kepada asalnya untuk mencari kebahagian bukan untuk menyengsarakan. Oleh karena itu, kata Energi yang sering dipakai saat ini diawali dengan huruf kapital artinya termodinamika hanya sebatas infrasturktur demi memenuhi hasrat umat manusia (kapitalis). Jika transisi energi itu sendiri memakai pendekatan kata energi dengan huruf kecil pada awalnya, maka sumber energi akan dikembalikan kepada kearifan lokal yang ada. Sumber-sumber energi sebenarnya sudah tersedia di muka bumi ini, sayangnya pengetahuan soal energi berbasis kearifan lokal dibunuh dari segala lini.

Sesatnya terminologi energi membuat kebijakan-kebijakan transisi Energi hanya sebatas peralihan dari bisnis batu bara ke nikel saja. Di Indonesia sendiri hal ini terlihat dengan jelas, adanya upaya untuk menurunkan bisnis batu bara yang sudah mulai menipis ketersediannya. Ditambah dengan komitmen Indonesia di internasional, akan menutup PLTU batu bara pada tahun 2050. Semenjak adanya isu transisi Energi ini, ratusan IUP Nikel bermunculan lahir di Indonesia. Tentu hal ini sama saja dengan baganti cigak jo baruak artinya walau telah dilakukan pertukaran, pergantian atau perubahan namun hasilnya sama saja.

Masyarakat asli khususnya perempuan tidak akan menderita kehilangan tanah jika definisi ini dikembalikan. Perempuan secara lahir dan batin sebenarnya memiliki ikatan yang cukup kuat dengan tanah apalagi di negara yang masih patriaki. Perempuan ternyata tidak hanya melihat perampasan dan pengrusakan sumber daya alam untuk dirinya sendiri, tapi perempuan juga memikirkan generasi selanjutnya.

Eha Suhaeni

Oleh karena itu, mengembalikan kata energi ini mesti di upayakan. Meletakkan energi kepada kearifan lokal kembali merupakan jawaban dari krisis iklim saat ini. Teori awal buterfly effect yang menyatakan kerusakan kecil wilayah ekologis akan menghasilkan kerusakan besar di wilayah ekologis lain. Artinya pengrusakan yang terjadi di Maluku, Mataloko dan Gunung talang tidak akan terjadi disana saja, tapi akan berdampak kedarah-daerah lain dengan model yang sama.

Ikuti tulisan menarik Diki Rafiqi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler