x

Kapal tongkang bermuatan batubara melintasi Sungai Musi Palembang, Selasa (23/05/23). (Palembang/Yulia Savitri)

Iklan

Nisya Mukti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 10:59 WIB

Kapal Tongkang Batubara Mengantar ke Jurang Autisme

Pencemaran yang dihasilkan oleh tambang bukan lagi hanya permasalahan daerah penggalian tambang. Air dan sumber pangan di dalamnya yang tercemar dapat mencapai seluruh seluk beluk pulau, misalnya Kalimantan Timur. Meskipun tambang tidak dilakukan di seluruh tanah pulau Kalimantan, hasil tambangnya disalurkan melalui sungai. Sungai Mahakam tak pernah sepi dari kapal tongkang pembawa batubara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pencemaran yang dihasilkan oleh tambang bukan lagi hanya permasalahan daerah penggalian tambang. Air dan sumber pangan di dalamnya yang tercemar dapat mencapai seluruh seluk beluk pulau, misalnya Kalimantan Timur. Meskipun tambang tidak dilakukan di seluruh tanah pulau Kalimantan, hasil tambangnya disalurkan melalui sungai. Sungai Mahakam tak pernah sepi dari kapal tongkang pembawa batubara. Banyaknya kapal tongkang di Sungai Mahakam akan terus meningkat kian tahunnya. Pada tahun 2021 saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan keputusan untuk meningkatkan target produksi batubara dari 550 juta ton menjadi 625 juta ton. Hal ini tentu akan berdampak terhadap kondisi perairan Sungai Mahakam yang akan semakin terkontaminasi oleh logam berat akibat aktivitas distribusi batubara ini.

Sungai Mahakam tentu tidak sendiri. Banyak sungai-sungai di Indonesia yang berperan besar sebagai lalu lintas kapal tongkang, misalnya Sungai Barito, Sungai Kapuas, Sungai Musi, dan Sungai Batanghari. Sama halnya dengan Sungai Mahakam, sungai-sungai ini juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat setempat. Bukan hanya sebagai jalur transportasi, sungai juga mengandung sumber pangan bagi warga di sekitarnya. Salah satu masakan yang banyak di sekitar sungai adalah masakan dengan menu utama ikan. Contohnya masyarakat Samarinda, meskipun ikan laut mudah didapat, olahan yang familiar di lidah masyarakat adalah olahan ikan air tawar. Menu dengan hewan-hewan air tawar lebih memberikan cita rasa yang gurih bagi masyarakat pesisir sungai.

Kebiasaan untuk memakan ikan di masyarakat pesisir sungai menjadikan ikan masih menjadi makanan yang banyak dikonsumsi. Selain itu, tentu saja narasi “makan ikan bisa bikin pintar” sudah tidak asing lagi. Berdasarkan banyak penelitian, ikan banyak mengandung omega-3 yang apabila dikonsumsi secara rutin dapat meningkatkan skor IQ. Karenanya, tidak heran banyak orang tua yang mengusahakan anak-anaknya untuk mengonsumsi ikan walaupun harganya kian mahal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akan tetapi, angan-angan orang tua yang berharap anak mendapatkan nutrisi terbaik dengan memakan ikan harus kandas apabila ikan tersebut bersumber dari sungai yang dilalui kapal-kapal tongkang batubara ini. Baru-baru ini terdapat penelitian yang menemukan ikan dan kerang yang berasal dari Sungai Mahakam mengandung sejumlah logam berat yang tinggi. Kenyataan bahwa Sungai Mahakam mengandung sejumlah logam berat yang tinggi sudah tidak dapat dielakkan. Banyak penelitian sudah marak memaparkan jumlah kandungan logam berat yang tinggi dalam air Sungai Mahakam. Kontaminasi logam berat yang ikut terjatuh saat melalui Sungai, terus terakumulasi bertahun-tahun dan menciptakan ekosistem yang beracun untuk dijadikan sumber pangan. Dengan ini, industri batubara tidak lagi hanya mencemari udara sekitar lokasi galian tambang tetapi juga mencemari air melalui kapal-kapal tongkangnya.

Logam berat yang dikonsumsi oleh manusia dapat berbahaya bagi kesehatan. Beberapa logam berat yang sangat berbahaya bagi manusia antara lain timbal, tembaga, merkuri, kadmium, dan krom. Salah satu dampak yang jarang dibicarakan adalah logam berat dapat menjadi salah satu faktor penyebabnya terjadinya autisme. Akan tetapi, faktor penyebab autisme yang lebih sering dibicarakan adalah faktor genetik sehingga tak jarang penyebab autisme selalu dititikberatkan kepada orang tua. Padahal faktor genetik tidak menjadi satu-satunya penyebab seseorang menderita autisme. Ada faktor lingkungan dan diet yang turut berkontribusi dalam prosesnya tersebut.

Sejak bertahun-tahun yang lalu, banyak ditemukan anak-anak penyandang autisme merupakan penduduk sekitar tambang. Saat itu belum banyak bukti yang mendukung bahwa logam berat akibat pencemaran tambang adalah salah satu penyebabnya. Namun, baru-baru ini, penelitian yang dilakukan di Samarinda dan Bontang oleh dr. Andi Sofyan Hasdam menemukan bahwa kandungan logam berat yang tinggi ditemukan pada tubuh anak-anak dengan autisme di Samarinda dan Bontang. Logam berat tersebut adalah logam yang sama dalam air sungai, ikan, kerang, sayuran, dan tanah di sekitar tambang.

Meskipun penelitian terkait hubungan autisme dan industri ini masih sangat minim, hal tersebut tidak memungkiri bahwa industri ini juga terlibat dalam hubungannya. Penelitian yang dengan kualitas lebih baik tentu harus terus dilakukan untuk menemukan bukti yang tidak terbantahkan. Akan tetapi, hal tersebut juga perlu kesadaran yang mumpuni dari masyarakat agar dampak ini turut diperhatikan. Memang, autisme terbilang cukup junior dalam hal permasalahan kesehatan yang terus dituntut oleh pihak-pihak yang terdampak oleh tambang. Pun, jika suatu saat nanti, ada kemungkinan industri ini memberikan pertanggungjawaban yang layak, autisme mungkin menjadi urutan kesekian setelah ISPA, dermatitis, kanker, dan bahkan kematian. Oleh karena itu, kemajuan dalam pertanggungjawaban terhadap dampak kesehatan sangat bergantung dengan setiap permasalahan yang ada.

Pertanggungjawaban yang layak ini memerlukan biaya yang banyak. Namun, peningkatan target produksi tidak serta merta meningkatkan anggaran Corporate Social Responsibility (CSR). Bisa dibilang target produksi terus meningkat seiring penderitaan warga sekitar. Itikad perusahaan tambang untuk bertanggung jawab semakin tidak tampak hilalnya. Tidak sedikit warga yang akhirnya berobat menggunakan ongkos sendiri. Hal tersebut tentu juga dialami oleh penyandang-penyandang autisme di pulau lokasi tambang. Pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur tidak memiliki banyak pusat rehabilitasi sehingga penyandang autisme tidak semuanya mendapatkan penanganan yang komprehensif. Pertambangan yang mengeruk kekayaan di tempat tinggal penyandang-penyandang ini harusnya tahu diri untuk setidaknya membangun fasilitas-fasilitas yang dapat membuat kehidupan mereka sedikit lebih baik. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah ada dalam perencanaan industri ini berjalan.

Penyandang autisme adalah salah satu contoh hidup bahwa masa depan dapat berubah secara signifikan akibat tambang. Tidak sedikit penyandang autisme yang bahkan tidak memiliki masa depan. Autisme bukan kondisi yang sama persis antara satu penyandang dengan penyandang lainnya. Autisme merupakan spektrum yang artinya masing-masing penyandang belum tentu memiliki kondisi yang sama. Beberapa dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya tetapi beberapa juga sulit untuk beradaptasi. Keluarga yang sebelumnya selalu disalahkan sebagai penyebab autisme, justru merupakan tongkat pemandu bagi para penyandang autisme. Oleh karena itu, tujuan rehabilitasi autisme tidak pernah muluk-muluk hingga sembuh, tetapi cukup menjadikan mereka mandiri menjalani kehidupan sehari-hari. Keluarga tidak mungkin dapat hadir pada setiap waktu kehidupan mereka. Suatu fasilitas perlu menemani kehidupan mereka agar mereka hidup dalam kondisi yang layak. Demikian itikad baik pihak industri tambang sangat diperlukan.

Pencegahan agar dampak-dampak kesehatan termasuk peningkatan penyandang autisme tentu sangat bergantung dengan kegiatan pasca operasi yang aman bagi lingkungan atau pemberhentian industri tambang. Namun, industri ini jelas tidak mungkin berhenti dalam lima atau sepuluh tahun ke depan. Oleh karena itu, peran negara dapat membantu agar industri ini tidak kunjung lama dan memberikan dampak yang meracuni masyarakat. Akan tetapi, entah tergiur dengan pundi-pundi uang yang dihasilkan industri ini, negara tampak ogah-ogahan melepaskan kecanduannya terhadap industri tambang. Kecanduan tersebut adalah manifestasi dari kondisi yang terus terjajah. Sama seperti halnya kecanduan narkoba, upaya melepaskan kecanduan tersebut bukan berhenti tiba-tiba tetapi dengan memperbaiki tubuh melalui rehabilitasi. Ketergantungan terhadap sesuatu bukan hal mudah untuk dilepaskan apalagi hal tersebut terkait sejumlah kepentingan. Karenanya, upaya-upaya pertanggungjawaban merupakan langkah awal yang dibutuhkan untuk berhenti terjajah.

Ikuti tulisan menarik Nisya Mukti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler