x

Iklan

Muhammad Oza Krisnawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 11:06 WIB

Tidak Hanya Terbarukan, Tetapi Juga Berkeadilan: Sebuah Catatan untuk Transisi Energi di Indonesia

Dewasa ini, narasi transisi energi kian ramai digaungkan di berbagai belahan dunia seiring meningkatnya ancaman perubahan iklim akibat konsentrasi emisi karbon dioksida (CO2) di lapisan atmosfer. Namun, semangat perbaikan kualitas lingkungan hidup, iklim, dan kesejahteraan melalui transisi energi seringkali dicederai oleh pihak-pihak tertentu yang seharusnya menjadi aktor kunci dekarbonisasi. Energi terbarukan memang menjanjikan, namun tetap saja ada resiko yang harus diminimalisasi dalam pengembangannya. Jangan sampai transisi energi hanya jadi “tunggangan” segelintir elit untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan menjustifikasi opresi terhadap masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Berdasarkan data dari Climate.org, tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer global telah mencapai rata-rata 417,06 part per million (ppm) pada 2022. Angka ini menunjukkan bagaimana konsentrasi CO2 di atmosfer sudah meningkat sekitar 50% dibanding awal era revolusi industri. Bahkan, secara keseluruhan, peningkatan konsentrasi CO2 ini terjadi secara konsisten tiap tahun sehingga tidak menutup kemungkinan di masa mendatang juga akan demikian. 

Jika peningkatan CO2 ini terus berlanjut, keselamatan umat manusia di muka bumi berpotensi berada dalam bahaya. Sebab, umat manusia akan menghadapi berbagai macam bencana yang berintensitas tinggi, tidak terprediksi, dan bengis dalam melahap nyawa manusia. Dengan kata lain, bencana yang datang melanda cenderung ekstrem sehingga umat manusia tidak akan siap untuk melawannya. Sebut saja suhu yang lebih panas, badai yang lebih hebat, meningkatnya kekeringan, punahnya berbagai spesies makhluk hidup, kekurangan makanan, kemiskinan, munculnya berbagai penyakit langka, dan lain sebagainya. Gambaran terburuknya, semua bencana tersebut terjadi dalam satu waktu yang sama. Oleh karena itu, selagi kata “terlambat” belum jelas mencuat ke permukaan dan penyesalan dirasa belum datang belakangan, upaya untuk berbenah menjadi satu agenda utama bagi semua manusia dalam rangka menyelamatkan diri, keluarga, teman, sahabat, dan seluruh makhluk yang menempati bumi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Agenda berbenah dapat dimulai dari mencegat sumber ancaman utama, yakni peningkatan berkelanjutan emisi CO2 di atmosfer yang melewati ambang batas. Jika ditelaah lebih dalam, aktor utama dari peningkatan emisi ini tidak terlepas dari pembakaran fosil yang digunakan sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini sebagaimana yang dimuat dalam laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change bertajuk Carbon Dioxide Capture and Storage bahwa sebagian besar emisi CO2 di atmosfer berasal dari pembakaran bakar fosil. Terlebih, merujuk pada ClientEarth Communication, pembakaran fosil yang berupa batubara, minyak, dan gas ini menyumbang sekitar 80% dari total energi. Dengan kata lain, selagi kebutuhan akan sumber energi yang bergantung pada pembakaran fosil masih tinggi, emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakarannya pun juga tinggi. Maka dari itu, tidaklah mengherankan manakala pembakaran fosil mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan kemungkinan akan terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Untuk lebih jelasnya, tren peningkatan tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Kondisi ini nampaknya menjadi sebuah dilema bak simalakama tatkala melihat adanya dua sisi yang saling bertentangan (kontradiktif), yakni tetap menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi dan hanya menunggu waktu sampai kiamat iklim terjadi atau meninggalkan bahan bakar fosil dan menyelamatkan bumi dari bahaya meskipun nampaknya kebutuhan akan energi tidak terpenuhi. Analogi sederhananya barangkali ibarat sebuah makanan yang kotor dan tidak sehat. Jika makanan itu dimakan, hanya menunggu waktu hingga berbagai macam penyakit datang menyerang tubuh. Sebaliknya, jika makanan itu tidak dimakan, kebutuhan akan rasa kenyang di perut tidak akan terpenuhi. Meskipun begitu, benarkah tidak ada jalan lain yang lebih oportunistik seperti meninggalkan bahan bakar fosil tanpa mengurangi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan akan energi sembari menyelamatkan bumi dari bahaya?

Menanggapi dilema simalakama ini, sekitar 55 negara di dunia menandatangani Paris Agreement, termasuk Indonesia, pada 2016 silam. Paris Agreement merupakan sebuah perjanjian antarnegara yang berfokus pada penanggulangan iklim global. Lebih khusus, perjanjian ini merupakan bentuk komitmen bersama untuk mengurangi emisi CO2 yang ditengarai menjadi aktor utama dari terjadinya perubahan iklim. Maka dari itu, tidaklah mengherankan manakala salah satu isi dari perjanjian ini mengharuskan setiap negara anggota untuk memiliki dan menetapkan target pengurangan emisi CO2 yang ditinjau setiap lima tahun sekali demi menjaga komitmen bersama dalam mencegah perubahan iklim, tidak terkecuali Indonesia.

Sebagai bagian dari Paris Agreement, dilansir dari The Conversation, pemerintah Indonesia menargetkan pengurangan emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% atau 43,2% dengan bantuan internasional (conditional). Terkhusus dalam sektor energi yang menjadi penyumbang terbesar emisi CO2, pemerintah meningkatkan target pengurangan emisi sebesar 358 juta ton setara karbon dioksida (MTCO2e) atau 12,5% dari total target pengurangan emisi nasional pada 2030. Untuk itu, transisi energi atau peralihan dari penggunaan sumber energi berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan menjadi penggunaan energi baru terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan, seperti panel surya; air; panas bumi; dan lain sebagainya, menjadi salah satu terobosan yang harus digalakkan pemerintah. Dengan kata lain, transisi energi sangat berpotensi untuk menurunkan emisi CO2 di Indonesia.

Sayangnya, besarnya potensi transisi energi ini tidak dibarengi dengan komitmen dan ikhtiar yang serius dari pemerintah. Hal ini terlihat dari minimnya pemanfaatan energi baru terbarukan. International Renewable Energy Agency melaporkan bahwa Indonesia baru memanfaatkan 0,3 % atau sekitar 12,4 GigaWatt (GW) dari total potensi energi terbarukan yang dimiliki. Selain itu, target bauran energi yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tampaknya hanya menjadi angan-angan belaka. Dalam RUEN tersebut, Indonesia seharusnya memaksimalkan penggunaan energi terbarukan sehingga porsi EBT paling sedikit 23% pada tahun 2025 dan paling sedikit 31% pada tahun 2050. Namun, hingga saat ini, realisasinya hanya berkisar pada 14,11% sehingga masih jauh dari target yang ditetapkan. Padahal, waktu yang tersisa untuk merealisasikan sesuai target hanya tiga tahun. Ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan target bauran EBT memperlihatkan ketidakseriusannya dalam mewujudkan transisi energi. Hal ini diperparah dengan masih kokohnya batubara di puncak klasemen bauran energi. Bahkan, dilansir dari CNBC News, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batu bara dengan persentase sebesar 67,21% pada 2022. 

(Ternyata) Tidak Semua Energi Terbarukan “Ramah” Lingkungan

Sebagaimana yang kita ketahui, transisi energi menjadi solusi utama dalam menyelamatkan bumi dari ancaman krisis iklim karena sumber dayanya yang tak terbatas, tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca, dan dapat minimalisasi perusakan lingkungan yang disebabkan oleh ekstraksi sumber energi fosil. Namun demikian, terdapat beberapa potensi permasalahan yang akan timbul dalam pengembangan energi terbarukan. Kekurangan tersebut diharapkan dapat menjadi catatan penting yang harus menjadi perhatian utama stakeholder sebelum memasifkan kebijakan transisi energi. 

Unsur keberlanjutan lingkungan hidup (environmental sustainablity) dalam transisi energi bijaknya tidak hanya dilihat dari proses konversi sumber energi menjadi energi, tetapi hulu hingga hilir proses pemanfaatan sumber dayanya. Jika kita lihat line up sumber energi terbarukan yang ingin ditingkatkan oleh pemerintah dalam bauran energi terbarukan melalui RUU EBET, seperti energi bayu (angin), panas matahari, air, biomasa, panas bumi, dan lain sebagainya, semuanya memiliki kesamaan yang terletak pada tidak adanya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dalam proses pengonversian sumber energi tersebut. Menurut kami, cakupan pemahaman akan aspek keberlanjutan lingkungan hidup dalam pengelolaan energi yang hanya menitikberatkan pada tingkat emisi yang dihasilkan rasanya perlu diperluas daripada sekedar itu.

Dalam prosesnya pengelelolaan dan pemanfaatannya, sumber energi terbarukan ternyata berpotensi menimbulkan dampak buruk pada lingkungan hidup apabila tidak dimitigasi secara seruys. Berikut penulis jabarkan beberapa permasalahan lingkungan yang berpotensi timbul dalam pengembangan energi terbarukan. Pertama, pengembangan bioenergi (energi yang dihasilkan melalui co-firing dari sumber daya biologis seperti biomassa, biofuel, dan biogas) sering dikaitkan dengan potensi meningkatnya angka deforestasi di Indonesia. Menurut Trend Asia, hal ini dikarenakan  8 juta ton dari total kebutuhan 10,2 juta ton biomassa untuk co-firing tersebut berasal dari hutan tanaman energi (HTE). Tentu saja tingginya kebutuhan akan bioenergi guna mencapai target transisi energi dikhawatirkan memaksa adanya pembukaan lahan baru sebagai hutan tanaman energi yang saat ini didominasi oleh sawit dengan program B50-nya. Sawit sendiri selain menjadi komoditas perkebunan yang paling dapat diandalkan dalam membangun perekonomian nasional, kerap kali menjadi biang permasalahan lingkungan seperti deforestasi, menurunnya biodiversitas, hingga kelangkaan sumber daya air pada kawasan sekitar perkebunannya. Hal ini ditambah dengan proses pengangkutannya yang menggunakan kendaraan-kendaraan besar yang kerap menghasilkan emisi yang besar. 

Kedua, pengembangan panas bumi/geotermal juga memiliki dampak lingkungan yang masif. Proses pengembangan panas bumi memerlukan akses terhadap sumber air untuk memasok fluida panas ke permukaan. Penggunaan air ini dapat mempengaruhi ketersediaan dan kualitas air di sekitar lokasi pengembangan.  Jika pengambilan air panas bumi tidak diatur dengan baik, dapat mengurangi pasokan air permukaan dan mengganggu ekosistem air tanah. Hal ini harus menjadi perhatian khusus mengingat banyaknya proyek panas bumi yang berada di sekitar masyarakat. Selain berpengaruh pada sumber air, resiko yang ditimbulkan dari pengelolaan panas bumi juga sangat berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan sekitar.  Salah satu kecelakaan yang mungkin terjadi adalah kebocoran fluida panas bumi dari sumur geotermal. Kebocoran ini dapat terjadi akibat kegagalan peralatan, tekanan yang tinggi, atau kerusakan pada sumur. Kebocoran fluida panas bumi dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan sekitarnya, termasuk tanah, air tanah, dan vegetasi. Kemudian, Energi panas bumi seringkali disertai dengan pelepasan gas beracun seperti belerang dioksida (SO2) atau hidrogen sulfida (H2S). Jika tidak dikelola dengan benar, kebocoran gas-gas ini dapat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan sekitar. Hal ini sempat menjadi sorotan di Indonesia ketika terjadinya mal operasional panas bumi pada PLTP Sorik Marapi di Sumatera Utara pada tahun 2021 silam yang menyebabkan timbulnya korban sebanyak 51 orang, di mana 5 di antarnya meninggal dunia. 

Terakhir, proyek energi terbarukan yang berpotensi merusak lingkungan terdapat pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Saat ini PLTA menjadi sumber energi terbarukan dengan pemanfaatan yang paling besar di Indonesia. Namun, beberapa proyek PLTA di Indonesia kerap disorot akiibat dari permasalahan lingkungannya, seperti yang terjadi di PLTA Batang Toru. Proyek PLTA berdampak pada kian terfragmentasinya kawasan ekosistem orangutan di Batang Toru. Selain itu PLTA memiliki dampak perubahan hidrologi yang dapat mempengaruhi ekosistem air sungai, termasuk perubahan aliran air, kualitas air, dan hidrologi lokal. Hal ini dapat mempengaruhi keberlanjutan ekosistem air dan organisme yang bergantung pada habitat sungai. Terakhir, meskipun proses pengonversian energi melalui tenaga air tidak menimbulkan emisi, PLTA kerap emisi gas rumah kaca akibat tanaman yang mati terperangkap di dalam waduk. 

Potensi Dampak Kolateral Proyek Transisi Energi di Masyarakat

Setelah permasalahan energi terbarukan yang berkaitan dengan lingkungan, potensi dampak kolateral dari transisi energi terhadap masyarakat. Target percepatan transisi energi dengan membangun secara masif proyek energi terbarukan beberapa kali mendapat penolakan dari masyarakat dengan berbagai alasan, mulai dari permasalahan lingkungan, ekonomi, hingga permasalahan sosial-tenurial. Tentu saja, kita menginginkan transisi energi yang tidak hanya sekedar memenuhi target penurunan emisi atau bauran energi, tetapi juga memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat tanpa mengorbankan siapapun dalam prosesnya. Sayangnya, berkaca dari beberapa proyek energi terbarukan di Indonesia, banyak praktik-praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam pembangunannya.

Salah satu tantangan dalam transisi energi di Indonesia yang berpotensi bersinggungan dengan masyarakat ialah dalam hal keruangan. Beberapa sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, membutuhkan lahan yang luas untuk membangun fasilitas penghasil energi yang efektif. Misalnya, pemasangan tenaga surya untuk memenuhi target Indonesia untuk mencapai 1,500 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya pada 2050 akan membutuhkan setidaknya 8.000 kilometer persegi atau sekitar 0,4% lahan Selain itu, beberapa sumber energi terbarukan memiliki sifat site specific, artinya, sumbernya hanya terdapat atau efektif di kawasan-kawasan tertentu, seperti PLTPB (panas bumi) dan PLTA (air). Adanya komitmen transisi energi tentu saja membutuhkan penyediaan ruang baru bagi proyek-proyek energi terbarukan. Kebutuhan atas lahan ini seringkali bersinggungan dengan masyarakat dan rawan menyebabkan konflik tenurial antara pemerintah dan badan usaha penyedia energi dengan masyarakat setempat. Hal ini yang terjadi pada masyarakat di sekitar PLTB (angin) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Proyek ini menghabiskan lahan sekitar 50 hektare yang mencakup delapan desa di empat kecamatan. Berdasarkan data dari The Conversation, sebanyak 500 pemili lahan dan 100 petani penggarap kehilangan akses ke tidak lebih 10% dari total kepemilikan lahan mereka yang menyebabkan hampir sepertiga dari pemilik lahan dan petani penggarap ini berada dalam posisis rentan akibat tidak adanya pendapatan setelah lahannya dipakai. Selain yang yang terjadi di Tolo, tentu saja masih hangat bagaimana masyarakat Wadas harus berkonflik dengan negara akibat dipaksa merelakan lahan-lahan mereka yang akan dieksploitasi sebagai pertambangan andesit untuk kebutuhan bahan baku Proyek Strategis Nasional  PLTA dengan besaran 6 Megawatt pada Bendungan Bener. Permasalahan pelepasan lahan untuk proyek energi terbarukan tidak seharusnya mengorbankan lahan masyarakat secara sepihak tanpa memperhatikan hak asasi manusia.

Selain permasalahan tenurial, transisi energi dikhawatirkan menyebabkan tingginya angka pengangguran akibat penutupan pembangkit-pembangkit listrik tenaga fosil. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya saat ini industri batu bara menyerap banyak tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan data ESDM, pada tahun 2020 lalu, industri batu bara menyerap tenaga kerja hingga 150.000 pada tahun 2019. Komposisi tenaga kerja asing sebanyak 0,1%. Adanya wacana early retirement tentu saja membuat pemerintah juga harus berisap-siap membuka lapangan kerja baru untuk ratusan ribu tenaga kerja RI yang kehilangan pekerjaannya. Di satu sisi, transisi energi akan membuka lapangan pekerjaan baru untuk jutaan orang, namun di sisi lain hal ini dapat menjadi pekerjaan yang berat jika tidak diimbangi dengan pemberian kepastian bagi pekerja batu bara yang sudah dipensiunkan, apakah mereka akan dialihkan ke sektor energi terbarukan dengan kompetensi yang belum mumpuni atau diberikan jaminan pensiun saja?

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Oza Krisnawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler