x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Selasa, 30 Mei 2023 14:29 WIB

Katanya Selera Itu Berbeda, kok, Masih Memaksakan Diri?

Selera tiap orang itu berbeda, jadi tidak usah dipaksakan apalagi merendahkan orang lain. Selera itu subjektif dan tidak ajeg untuk orang lain

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada orang suka makan gado-gado, ada yang suka bakso. Ada yang doyan makanan jepang, ada pula yang doyan makanan asli Indonesia, ramesan. Begitu pula, keindahan alam. Ada yang suka gunung, ada yang suka laut, Ada yang healing ke tempat ramai seperti car free day, ada yang healing-nya ke tempat sepi. Ada yang kerjanya berbuat, ada yang hobinya menuntut. Itulah yang disebut selera.

 

Selera secara sempat diartikan nafsu makan. Tapi bila diluaskan, selera berkaitan erat dengan kesukaan atau gairah akan sesuatu, dalam hal apapun. Selera setiap orang itu berbeda-beda. Saya saja punya selera bereda dengan anak saya, apalagi dengan orang lain. Setiap orang bebas menentukan seleranya masing-masing. Tapi sayangnya, tidak sedikit orang yang memaksakan seleranya kepada orang lain. Ujung-ujungnya, akibat perbedaann selera seseorang merasa boleh merendahkan orang lain. Sangat salah dalam menafsirkan selera.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Menulis dan berkiprah di taman bacaan adalah selera saya. Sementara orang lain, mungkin seleranya nongkrong di kafe, bermain sama teman-temannya. Ada orang yang seleranya berbuat baik terus-menerus setiap waktu. Ada selera orang yang berbuat jahat dari waktu ke waktu. Menjual barang yang bukan hak-nya, mencuri uang melalui m-banking. Lalu berkoar-koar cerita ke orang lain bahwa dia orang baik. Ada yang seleranya menebar hoaks dan aib orang lain, sementara ada orang yang hanya berdiam diri saja apapuyn yang terjadi. Yah begitulah, selera orang, selalu berbeda-beda. Biarkan waktu yang akan membuktikan, “selera” siapa yang baik dan tidak baik.

 

Sangat penting hari ini untuk menghargai selera masing-masing orang. Karena basisnya, persepsi dan pemahaman setiap orang memang berbeda. Jangan karena perbedaaan selera lalu menghakimi orang lain. Atau karena ada orang lain yang merasa seleranya lebih baik, mudah sekali baginya menjatuhkan harga diri orang lain. Selera atau sust pandang setiap orang itu berbeda, maka cukup tahu saja. Siapapun sama sekali tidak bisa menyeragamkan pikiran dan perbuatannya dengan orang lain. Masing-masing orang punya seleranya sendiri. Seperti keinginan dan kebutuhan tiap orang pun tak sama. Jadi, cukup hargai tiap perbedaan selera yang terjadi. Berbeda itu realitas dan manusia kok.

 

Di media sosial, di kehidupan sehari-hari. Selera banyak orang pasti berbeda. Termasuk selera terhadap capres-nya pun berbada. Lalu untuk apa mencibir atas selera pemimpin yang berbeda. Rileks saja, tidak usah gundah gulana atas perbefdaan selera. Untuk apa merendahkan orang lain karena beda selera. Nggak apa-apa kok beda selera dan beda pendapat. Yang terpenting adalah tetap berusaha saling menghargai atas perbedaaan selera.

 

Tetaplah jadi orang baik di mana pun berada. Sekalipun kita selalu buruk dalam cerita orang lain. Itu terjadi karena beda selera. Tidak masalah, karena memang tugas orang lain adalah membenci. Tugas kita cukup mencintai diri sendiri. Jangan pernah meremehkan orang lain karena beda selera. Untuk apa berdebat pada orang yang percaya dengan kebohongannya sendiri. Akibat beda selera yang ingin dipaksakannya. Seolah-olah, apapun yang diperbuat orang lain selalu salah sementara dirinya pun belum tentu benar. Selera itu subjektif dan tidak ajeg untuk orang lain.

 

Selera itu demokratis. Agar siapapun berlatih untuk hidup merdeka, tanpa paksaan dan intimidasi orang lain. Silakan pengen begini pengen begitu, asal tidak memaksakannya kepada orang lain. Karena selera tiap orang berbeda-beda. Rileks saja dalam hal apapun. Tetap santai dalam kesibukan, tetap tenang sekalipun di bawah tekanan. Tapi tetap optimis di setiap tantangan dan perbuatan. Agar tetap berpikir jernih dalam menatap masa depan yang lebih baik.

 

Katanya selera itu berbeda, kok masih memaksakan diri? Bila tidak sama, kenapa tidak boleh berbeda? Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler